Selasa, 26 Juni 2012

CBSA


BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Penyelenggaraan pembelajaran merupakan salah satu tugas utama guru, dimana pembelajaran dapat diartikan sebagai kegiatan yang ditunjukan untuk membelajarkan siswa. Untuk dapat membelajarkan siswa nya, salah satu cara yang dapat ditempuh oleh guru ialah dengan menerapkan CBSA dalam proses pembelajaran. Baik CBSA maupun PKP merupakan pendekatan Pembelajaran yang tersurat dan tersirat dalam kurikulum yang berlaku
              Anda sebagai calon guru, tentu nya berkepentingan untuk mengetahui apa dan bagaimana cara belajar siswa aktif itu serta apa dan bagaimana pula PKP. Sebagai calon tenaga professional, Anda tentu bertanya apa mengapa CBSA dan PKP.
CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) dan PKP menuntut keterlibatan mental siswa terhadap bahan yang dipelajari. CBSA dan PKP menuntut keterlibatan mental yang tinggi sehingga terjadi proses-proses mental yang berhubungan dengan aspek-aspek kognitif, afektif dan psikomolorik. Melalui proses kognitif pembelajaran akan memiliki penguasaan konsep dan prinsip. Akan tetapi dengan CBSA para pembelajar dapat melatih diri menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan kepada mereka. Tidak untuk dikerjakan di rumah tetapi dikerjakan dikelas secara bersama-sama.
B.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, maka disusun rumusan masalah sebagai berikut :
1.     Apakah Pengertian CBSA dalam Belajar dan pembelajaran ?
2.     Apa Saja Dasar-Dasar Pemikiran Pendekatan CBSA ?
3.     Bagaimanakah Hakikat Pendekatan CBSA ?
4.     Bagaimanakah Rasionalisasi CBSA dalam Pembelajaran ?
5.     Bagaimanakah Kadar CBSA dalam Pembelajaran ?
6.     Bagaimanakah Rambu-Rambu Penyelenggaraan CBSA ?
7.     Apa Saja Prinsip-Prinsip Pendekatan CBSA ?
8.     Bagaimanakah Penerapan CBSA ?
9.     Bagaimanakah Pendekatan Keterampilan Proses sebagai Bagian dari CBSA ?

C.Tujuan dan Manfaat
Adapun tujuan dan Manfaat dari makalah yang kami sajikan berikut ini yaitu :

1)    Bagi siswa :
1.     Diharapkan siswa dapat aktif baik dalam mengajukan pertanyaan maupun dalam mencari bahan-bahan pelajaran yang mendukung apa yang tengah dipelajari.
2.     Bisa bekerjasama dengan membuat kelompok-kelompok belajar.
3.     Bersifat demokratis, berani menyampaikan gagasan, mempertahankan gagasan dan sekaligus berani pula menerima gagasan orang lain.
2)    Bagi guru :
1.     Harus lebih aktif, khususnya dalam mempersiapkan bahan pelajaran.
2.     Merencanakan proses yang akan dilaksanakan, mempersiapkan evaluasi dan tindak lanjut.





BAB II
PEMBAHASAN TEORI
A.Pengertian Pendekatan CBSA
Pada umumnya metode lebih cenderung disebut sebuah pendekatan. Dalam bahasa Inggris dikenal dengan*kata “approach” yang dimaksudnya juga “pendekatan”. Di dalam kata pendekatan ada unsur psikhis seperti halnya yang ada pada proses belajar mengajar. Semua guru profesional dituntut terampil mengajar tidak semata-mata hanya menyajikan materi ajar. lapun dituntut memiliki pendekatan mengajar sesuai dengan tujuan instruksional.
     Sejak dulu selalu dibicarakan masalah cara mengajar guru di kelas. Cara mengajar dipakainya dengan istilah metode mengajar. Metode diartikan cara. Jika diperhatikan berbagai metode yang dikenal dalam dunia pendidikan atau pembelajaran dan jumlahnya makin mengembang, maka dipertanyakan apakah metode itu. Ada beberapa jawaban untuk itu di antaranya, “Cara-cara penyajian bahan pembelajaran”. Dalam bahasa Inggris disebut “method”. Dalam kata metode tercakup beberapa faktor seperti, penentuan urutan bahan, penentuan tingkat kesukaran bahan, dan suatu sistem tertentu untuk mencapai tujuan tertentu. Di samping istilah metode yang diartikan sebuah “cara” ; bahkan ada yang menggunakan istilah “model”.

                 Akan diajarkan. Piaget dan Chomsky berbeda pendapat dalam hal hakikat manusia. Piaget memandang anak-akalnya-sebagai agen yang aktif dan konstruktif yang secara perlahan-lahan maju dalam kegiatan usaha sendiri yang terus-menerus. Keduanya tidak menyukai pendekatan-pendekatan psikologis yang lebih awal. Pendekatan CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) menuntut keterlibatan mental siswa terhadap bahan yang dipelajari. Pendekatan CBSA menuntut keterlibatan mental vang tinggi sehmgga terjadi proses-proses mental yang berhubungan dengan aspek-aspek kognitif, afektif dan psikomolorik. Melalui proses kognitif pembelajar akan memiliki penguasaan konsep dan prinsip.
Apakah sebenarnya yang dimaksud dengan CBSA ? Konsep CBSA yang dalam bahasa Inggris disebut Student Active Learning (SAL) dapat membantu pengajar meningkatkan daya kognitif pembelajar. Kadar aktivitas pembelajar masih rendah dan belum terpogram. Akan tetapi dengan CBSA para pembelajar dapat melatih diri menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan kepada mereka. Tidak untuk dikerjakan di rumah tetapi dikerjakan dikelas secara bersama-sama.

 Pada umumnya metode lebih cenderung disebut sebuah pendekatan. Dalam bahasa Inggris dikenal dengan kata “approach” yang dimaksudnya juga “pendekatan”. Di dalam kata pendekatan ada unsur psikhis seperti halnya yang ada pada proses belajar mengajar. Piaget dan Chomsky berbeda pendapat dalam hal hakikat manusia. Piaget memandang anak-akalnya-sebagai agen yang aktif dan konstruktif yang secara perlahan-lahan maju dalam kegiatan usaha sendiri yang terus-menerus. Konsep CBSA yang dalam bahasa Inggris disebut Student Active Learning (SAL) dapat membantu pengajar meningkatkan daya kognitif pembelajar. Kadar aktivitas pembelajar masih rendah dan belum terpogram. Setiap proses pembelajaran pasti menampakan keaktifan orangyang belajar atau siswa. Pernyatan ini tidak bisa kita bantah atau kita tolak kebenaran nya. Adanya kenyataan in, menyebabkan sulitnya mendefinisikan pengertian pendekatan CBSA secara tepat.
Kepastian adanya keaktifan siswa dalam setiap proses pembelajaran, memberikan kepastian kepada kita bahwa pendekatan CBSA bukan lah suatu hal yang di kotomis. Hal ini berarti, setiap peristiwa pembelajaran yang di selenggrakan oleh guru dapat di pastikan adanya penerapan pendekatan CBSA dan tidak mungkin tidak terjadi penerapan pendekatan CBSA dalam peristiwa pembelajaran.
 Keaktifan siswa dalam peristiwa pembelajaran mengambil beraneka bentuk kegiatan, dari kegiatan fisik yang mudah diamati. Kegiatan fisik yang dapat diamati sampai kegiatan psikis yang sulit diamati diantara nya dalam kegiatan membaca, mendengarkan, menulis, meragakan, dan mengukur. Namun demikian, semua kegiatan tersebut harus dipulangkan kepada suatu karekteristik, yaitu keterlibatan intelektual-emosional siswa dalam pembelajaran.
 Berdasarkan dari alinea sebelumnya. Dapatlah di simpulkan mengenia pertain CBSA. Dimana pendekatan CBSA dapat diertikan sebagai anutan pembelajaran yang mengarah kepada pengoptimalisasian keterlibatan intelektual-emosional siswa dalam proses pembelajaran, dalam pelibatan fisik siswa apabila diperlukan. Pelibatan intelektual-emosional/fisik siswa serta oftimalisasi dalam pembelajaran, diarahkan untuk membelajarkan siswa bagaimana belajar memperoleh dan memproses perolehan belajar tentang pengetahuan, keterampilan,sikap, dan nilai



B. Dasar-Dasar Pemikiran Pendekatan CBSA
Usaha penerapan dan peningkatan CBSA dalam kegiatan Belajar Mengajar (KBM) merupakan usaha “proses pembangkitan kembali” atau proses pemantapan konsep CBSA yang telah ada. Untuk itu perlu dikaji alasan-alasan kebangkitan kembali dan usaha peningkatan CBSA dasar dan alasan usaha peningkatan CBSA secara rasional adalah sebagai berikut:
1.     Rasional atau dasar pemikiran dan alasan usaha peningkatan CBSA dapat ditinjau kembali pada hakikat CBSA dan tujuan pendekatan itu sendiri. Dengan cara demikian pembelajar dapat diketahui potensi, tendensi dan terbentuknya pengetahuan, keterampilan dan sikap yang dimilikinya. Pada dasarnya dapat diketahui bahwa baik pembelajar. materi pelajaran, cara penyajian atau disebut juga pendekatan-pendekatan berkembang. Jadi hampir semua komponen proses belajar mengajar mengalami perubahan. Perubahan ini mengarah ke segi-segi positif yang harus didukung oleh tindakan secara intelektual, oleh kemauan, kebiasaan belajar yang teratur, mempersenang diri pada waktu belajar hendaknya tercipta baik di sekolah maupun di rumah. Bukankah materi pelajaran itu banyak, bervariasi dan ini akan memotivasi pembelajar memiliki kebiasaan belalar. Dalam hubungannya dengan CBSA salah satu kompetensi yang dituntut ialah memiliki kemampuan profesional, mampu memiliki strategi dengan pendekatan yang tepat.
2.     Implikasi mental-intelektual-emosional yang semaksimal mungkin dalam kegiatan belajar mengajar akan mampu menimbulkan nilai yang berharga dan gairah belajar menjadi makin meningkat. Komunikasi dua arah (seperti halnya pada teori pusaran atau kumparan elektronik) menantang pembelajar berkomunikasi searah yang kurang bisa membantu meningkatkan konsentrasi. Sifat melit yang disebut juga ingin tahu (curionsity) pembelajar dimotivasi oleh aktivitas yang telah dilakukan. Pengalaman belajar akan memberi kesempatan untuk rnelakukan proses belajar berikutnya dan akan menimbulkan kreativitas sesuai dengan isi materi pelajaran.
3.     Upaya memperbanyak arah komunikasi dan menerapkan banyak metode, media secara bervariasi dapat berdampak positif. Cara seperti itu juga akan memberi peluang memperoleh balikan untuk menilai efektivitas pembelajar itu. Ini dimaksud balikan tidak ditunggu sampai ujian akhir tetapi dapat diperoleh pembelajar dengan segera. Dengan demikian kesalahan-kesalahan dan kekeliruan dapat segera diperbaiki. Jadi, CBSA memberi alasan untuk dilaksanakan penilaian secara efektif, secara terus-menerus melalui tes akhir tatap muka, tes formatif dan tes sumatif.
4.     Dilihat dari segi pemenuhan meningkatkan mutu pendidikan di LP’TK (Lembaga Pendidikan Tenaga Pendidik) maka strategi dengan pendekatan CBSA layak mendapat prioritas utama. Dengan wawasan pendidikan sebagai proses belajar mengajar menggarisbawahi betapa pentingnya proses belajar mengajar yang tanggung jawabnya diserahkan sepenuhnya kepada pembelajar. Dalam hal ini materi pembelajar harus benar-benar dibuat sesuai dengan kemampuan berpikir mandiri, pembentukan kemauan si pembelajar. Situasi pembelajar mampu menumbuhkan kemampuan dalam memecahkan masalah secara abstrak, dan juga mencari pemecahan secara praktik.

C. Hakikat Pendekatan CBSA
Siswa pada hakekatnya memiliki potensi atau kemampuan yang belum terbentuk secara jelas, maka kewajiban gurulah untuk merangsang agar mereka mampu menampilkan potensi itu. Para guru dapat menumbuhkan keterampilan-keterampilan pada siswa sesuai dengan taraf perkembangannya, sehingga mereka memperoleh konsep. Dengan mengembangkan keterampilan-keterampilan memproses perolehan, siswa akan mampu menemukan dan mengembangkan sendiri fakta dan konsep serta mengembangkan sikap nilai yang dituntut. Proses belajar-mengajar seperti inilah yang dapat menciptakan siswa belajar aktif.
Hakekat dari CBSA adalah proses keterlibatan intelektual-emosional siswa dalam kegiatan belajar mengajar yang memungkinkan terjadinya:
  • Proses asimilasi / pengalaman kognitif, yaitu: yang memungkinkan terbentuknya pengetahuan.
  • Proses perbuatan / pengalaman langsung, yaitu: yang memungkinkan terbentuknya keterampilan.
  • Proses penghayatan dan internalisasi nilai, yaitu: yang memungkinkan terbentuknya nilai dan sikap.
Walaupun demikian, hakekat CBSA tidak saja terletak pada tingkat keterlibatan intelektual-emosional, tetapi terutama juga terletak pada diri siswa yang memiliki potensi, tendensi atau kemungkinan yang menyebabkan siswa itu selalu aktif dan dinamis. Oleh sebab itu guru diharapkan mempunyai kemampuan profesional sehingga ia dapat menganalisis situasi instruksional kemudian mampu merencanakan sistem pengajaran yang efektif dan efesien. Dalam menerapkan konsep CBSA, hakekat CBSA perlu dijabarkan menjadi bagian-bagian kecil yang dapat kita sebut sebagai prinsip-prinsip CBSA sebagai suatu tingkah laku konkret yang dapat diamati. Dengan demikian dapat kita lihat tingkah laku siswa yang muncul dalam suatu kegiatan belajar mengajar.
Dasar dan Hakikat CBSA
Usaha penerapan dan peningkatan CBSA dalam kegiatan Belajar Mengajar (KBM) merupakan usaha “proses pembangkitan kembali” atau proses pemantapan konsep CBSA yang telah ada. Untuk itu perlu dikaji alasan-alasan kebangkitan kembali dan usaha peningkatan CBSA dasar dan alasan usaha peningkatan CBSA secara rasional adalah sebagai berikut:
ü Rasional atau dasar pemikiran dan alasan usaha peningkatan CBSA dapat ditinjau kembali pada hakikat CBSA dan tujuan pendekatan itu sendiri. Dengan cara demikian pembelajar dapat diketahui potensi, tendensi dan terbentuknya pengetahuan, keterampilan dan sikap yang dimilikinya. Pada dasarnya dapat diketahui bahwa baik pembelajar. materi pelajaran, cara penyajian atau disebut juga pendekatan-pendekatan berkembang. Jadi hampir semua komponen proses belajar mengajar mengalami perubahan.
Perubahan ini mengarah ke segi-segi positif yang harus didukung oleh tindakan secara intelektual, oleh kemauan, kebiasaan belajar yang teratur, mempersenang diri pada waktu belajar hendaknya tercipta baik di sekolah maupun di rumah. Bukankah materi pelajaran itu banyak, bervariasi dan ini akan memotivasi pembelajar memiliki kebiasaan belalar. Dalam hubungannya dengan CBSA salah satu kompetensi yang dituntut ialah memiliki kemampuan profesional, mampu memiliki strategi dengan pendekatan yang tepat.
ü Implikasi mental-intelektual-emosional yang semaksimal mungkin dalam kegiatan belajar mengajar akan mampu menimbulkan nilai yang berharga dan gairah belajar menjadi makin meningkat. Komunikasi dua arah (seperti halnya pada teori pusaran atau kumparan elektronik) menantang pembelajar berkomunikasi searah yang kurang bisa membantu meningkatkan konsentrasi. Sifat melit yang disebut juga ingin tahu (curionsity) pembelajar dimotivasi oleh aktivitas yang telah dilakukan. Pengalaman belajar akan memberi kesempatan untuk rnelakukan proses belajar berikutnya dan akan menimbulkan kreativitas sesuai dengan isi materi pelajaran.
ü Upaya memperbanyak arah komunikasi dan menerapkan banyak metode, media secara bervariasi dapat berdampak positif. Cara seperti itu juga akan memberi peluang memperoleh balikan untuk menilai efektivitas pembelajar itu. Ini dimaksud balikan tidak ditunggu sampai ujian akhir tetapi dapat diperoleh pembelajar dengan segera. Dengan demikian kesalahan-kesalahan dan kekeliruan dapat segera diperbaiki. Jadi, CBSA memberi alasan untuk dilaksanakan penilaian secara efektif, secara terus-menerus melalui tes akhir tatap muka, tes formatif dan tes sumatif.
ü Dilihat dari segi pemenuhan meningkatkan mutu pendidikan di LP’TK (Lembaga Pendidikan Tenaga Pendidik) maka strategi dengan pendekatan CBSA layak mendapat prioritas utama. Dengan wawasan pendidikan sebagai proses belajar mengajar menggarisbawahi betapa pentingnya proses belajar mengajar yang tanggung jawabnya diserahkan sepenuhnya kepada pembelajar. Dalam hal ini materi pembelajar harus benar-benar dibuat sesuai dengan kemampuan berpikir mandiri, pembentukan kemauan si pembelajar. Situasi pembelajar mampu menumbuhkan kemampuan dalam memecahkan masalah secara abstrak, dan juga mencari pemecahan secara praktik.
Siswa pada hakekatnya memiliki potensi atau kemampuan yang belum terbentuk secara jelas, maka kewajiban gurulah untuk merangsang agar mereka mampu menampilkan potensi itu. Para guru dapat menumbuhkan keterampilan-keterampilan pada siswa sesuai dengan taraf perkembangannya, sehingga mereka memperoleh konsep. Dengan mengembangkan keterampilan-keterampilan memproses perolehan, siswa akan mampu menemukan dan mengembangkan sendiri fakta dan konsep serta mengembangkan sikap dan nilai yang dituntut. Proses belajar-mengajar seperti inilah yang dapat menciptakan siswa belajar aktif.
Hakekat dari CBSA adalah proses keterlibatan intelektual-emosional siswa dalam kegiatan belajar mengajar yang memungkinkan terjadinya:
 a. Proses asimilasi/pengalaman kognitif, yaitu: yang memungkinkan terbentuknya    pengetahuan
b. Proses perbuatan/pengalaman langsung, yaitu: yang memungkinkan terbentuknya keterampilan
c. Proses penghayatan dan internalisasi nilai, yaitu: yang memungkinkan terbentuknya nilai dan sikap
             Walaupun demikian, hakekat CBSA tidak saja terletak pada tingkat keterlibatan intelektual-emosional, tetapi terutama juga terletak pada diri siswa yang memiliki potensi, tendensi atau kemungkinan kemungkinan yang menyebabkan siswa itu selalu aktif dan dinamis. Oleh sebab itu guru diharapkan mempunyai kemampuan profesional sehingga ia dapat menganalisis situasi instruksional kemudian mampu merencanakan sistem pengajaran yang efektif dan efisien. Dalam menerapkan konsep CBSA, hakekat CBSA perlu dijabarkan menjadi bagian-bagian kecil yang dapat kita sebut sebagai prinsip-pninsip CBSA sebagai suatu tingkah laku konkret yang dapat diamati. Dengan demikian dapat kita lihat tingkah laku siswa yang muncul dalam suatu kegiatan belajar mengajar.

D. Rasionalisasi CBSA dalam Pembelajaran
 Kita telah memasuki ambang “masyarakat belajar” , yaitu masyarakat yang menghendaki pendidikan masa seumur hidup (Husen, 1988;41). Untuk mempersiapkan siswa menghadapi hal tersebut.
Sedangkan Gege dan Berliner secara sederhana mengungkapkan bahwa belajar dapat didefinisikan sebagai suatu proses yang membuat seseorang mengalami perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman yang diperolehnya (Gege dan Berliner,  1984 : 252).
 Walaupun telah lama kita menyadari bahwa belajar memerlukan keterlibatan secara aktif dari orang yang belaja, kenyatan nya masih menunjukan kecendrungan meminimalkan peran dan keterlibatan siswa. Dominasi guru dalam proses pembelajaran  menyebabkan siswa lebih banyak berperan dan terlibat secara pasif, mereka lebih banyak menunggu sajian dari guru daripada mencari dan menemukan sendiri pengetahuan, keterampilan serta sikap yang mereka butuhkan. Apabila kondisi proses pembelajaran yang memaksimalkan peran dan keterlibatan guru serta meminimalkan peran dan keterlibatan siswa yang terjadi di pendidikan dasar, termasuk pada sekolah dasar akan mengakibatkan sulit tercapai nya tujuan pendidikan dasar yakni meletakkan dasar yang dapat di pakai sebagai batu lonjatan untuk menggapai pendidikan yang lebih tinggi, di samping kemampuan dan kemauan untuk belajar terus-menerus sepanjang hayatnya.
Dengan penerapan CBSA, siswa di harapkan akan lebih mampu mengenal dan mengembangkan kapasitas belajar dan potensi yang dimiliki secara penuh, menyadari dan dapat menggunakan potensi sumber belajar yang terdapat di sekitarnya.

 1.Penerapan CBSA dalam Proses belajar mengajar
          Kita telah memasuki ambang “ masyarakat belajar”, yaitu masyarakat yang menghendaki pendidikan masa seumur hidup (Huse, 1988: 41 ). Untuk mempersiapkan siswa menghendaki hal tersebut, kita perlu memikirkan jawaban atas pertanyaan : Cara–cara bagaimana siswa memperoleh dan meresepkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang menjadi kebutuhannya? Dengan kata lain, guru hendaknya tidak hanya menyibukkan dirinya dengan kegiatan pemaksimalan penyajian isi pelajaran saja. Yang lebih penting dari pada itu, guru hendaknya memikirkan cara siswa belajar.
Untuk menjawab permasalahan yang terkandung dalam pertanyaan di atas, perlu kiranya mengkaji konsep belajar terlebih dahulu. Sudah sejak lama manusia mencoba mengkaji konsep belajar.
John Dewey misalnya (1916 dalam Davies, 1987:31) menekankan bahwa:
untuk dirinya sendiri, maka inisiatif harus datang dari murid-murid sendiri. Guru adalah pembimbing dan pengarah, yang mengemudikan perahu, tetapi tenaga untuk
tampak dalam proses belajar mengajar?
.
Kita mengetahui, bahkan telah dan bisa melakukan, bahwa proses belajar mengajar menempuh dua tahapan. Tahapan pertama adalah perencanaan dan tahapan kedua ialah Perencanaan proses belajar mengajar berwujud dalam bentuk satuan pelajaran yang berisi rumusan tujuan pengajaran (tujuan intruksional), bahan pengajaran, kegiatan belajar siswa, metode dan alat bantu belajar, dan penilaian. Sedangkan tahap pelaksanaan proses belajar mengajar adalah pelaksanaan satuan pelajaran pada saat praktek pengajaran, yakni interaksi guru dan siswa pada saat pengajaran itu berlangsung.
Cara belajar siswa aktif (CBSA) harus tercermin dalam kedua hal di atas, yakni dalam satuan pengajaran dan dalam praktek pengajaran. Dalam satuan pengajaran, pemikran CBSA tercermin dalam rumusan isi satuan pelajaran sebab satuan pelajaran pada hakikatnya adalah rencana atau proyeksi tindakan yang akan dilakukan oleh guru pada waktu belajar. Dengan demikian, guru yang akan mengajar dengan penekanan pada CBSA harus memikirkan hal-hal apa yang akan dilakukan serta menuangkannya secara tertulis ke dalam satuan pelajaran. Di mulai dari merumuskan tujuan instruksional khusus (TIK), guru harus memberikan peluang bahwa pencapaian tujuan tersebut menuntut kegiatan belajar siswa yang optimal. Merumuskan bahan pelajaran harus diatur agar menantang siswa aktif mempelajarinya. Kegiatan belajar siswa ditetapkan dan diurutkan secara sistematis sehingga memberi peluang adanya kegiatan belajar bersama, kegiatan belajar kelompok, dan kegiatan belajar mandiri atau perseorangan. Metode belajar dan alat bantu pengajar diusahakan dan dipilih oleh guru agar menumbuhkan belajar aktif siswa, bukan mengajar aktif dari guru. Tempat posisi guru sebagai pemimpin dan fasilitator belajar bagi siswa. Demikian pula dalam hal penilaian, guru hendaknya menyusun sejumlah pertanyaan yang problematis, sehingga menuntut siswa mencurahkan pemikirannya secara optimal; kalau perlu berkaitan tugas-tugas yang harus dikerjakan di kelas ataupun di rumah.
Oleh sebab itu, peranan satuan pelajaran dalam proses belajar mengajar yang menekankan CBSA bukan semata-mata tuntutan administrasi guru, melainkan merupakan bagian penting dari praktek pengajaran agar diperoleh hasil belajar siswa yang optimal.
Sudah barang tentu pemikiran-pemikiran yang telah dituangkan ke dalam satuan pelajaran harus secara konsekuen dipraktekan pada waktu guru mengajar, bukan sekedar rencana di atas kertas.
Praktek pengajaran tersebut atau pelaksanaan satuan pelajaran yang telah dibuat, wujudnya tidak lain adalah tindakan guru mengajar siswa, yakni adanya interaksi antara guru dengan siswa dalam rangka mencapai tujuan pengajaran. Dengan berpedoman kepada satuan pelajaran yang telah dibuat, guru harus menciptakan lingkungan belajar yang mendorong semua siswa aktif melakuakan kegiatan belajar secara nyata.
 Ada beberapa ciri yang harus tampak dalam proses belajar tersebut, yakni:
a.     Situasi kelas menantang siswa melakukan kegiatan belajar secara bebas, tetapi terkendali.
b.     Guru tidak mendominasi pembicaraan tetapi lebih banyak memberikan rangsangan berfikir     kepada siswa untuk memecahkan masalah.
c.      Guru menyediakan dan mengusahakan sumber belajar bagi siswa, bisa sumber tertulis,                             sumber manusia, misalnya murid itu sendiri menjelaskan permasalahan kepada murud lainnya, berbagai media yang diperlukan, alat bantu pengajaran, termasuk guru sendiri sebagai sumber belajar.
d.     Kegiatan belajar siswa bervariasi; ada kegiatan yang sifatnya bersama-sama dilakukan oleh semua siswa, kelompok dan bentuk diskusui, dan ada pula kegiatan belajar yang harus dilakukan oleh setiap siswa secara mandiri. Penetapan kegiatan belajar tersebut diatur oleh guru secara mandiri. Penetapan kegiatan belajar tersebut diatur guru secara sistematis dan terencana.
e.      Hubungan guru dan siswa sifatnya harus mencerminkanhubungan manusiawi bagaikan hubungan bapak-anak, bukan hubungan pemimpin dengan bawahan. Guru menempatkan diri sebagai pembimbing semua siswa yang memerlukan bantuan manakala mereka menghadapi persoalan belajar.
f.        Situasi dan kondisi kelas tidak kaku terikat dengan suasana yang mati, tetapi sewaktu-waktu diubah sesuai dengan kebutuhan siswa.
g.     Belajar tidak hanya diukur dan dilihat dari segi hasilyang dicapai siswa, tetapi juga dilihat dan diukur dari segi proses belajar yang dilakukan oleh para siswa.
h.     Adanya keberanian siswa mengajukan pendapatnya melalui pertanyaan atau pernyataan gagasannya, baik yang diajukan kepada guru maupun kepada siswa lainnya dalam pemecahan masalah belajar.
i.       Guru senantiasa menghargai pendapat para siswa, terlepas dari benar atau salah, dan tidak diperkenankan membunuh, mengurangi, atau menekan pendapat siswa di depan siswa lainnya. Guru bahkan harus mendorong siswa agar selalu mengajukan pendapatnyasecara bebas.
     Ciri-ciri di atas merupakan sebagian kecil dari hakikat dari hakikat belajar siswa aktif dalam praktek pengajaran. Untuk dapat mewujudkan ciri-ciri di atas bukanlah hal yang mudah. Hal itu memerlukan pengenalan teori strategi mengajar dan teori penyusunan satuan pengajaran.
Sedangkan Gage dan Berliner secara sederhana mengungkapkan bahwa belajar dapat didefinisikan sebagai suatu proses yang membuat seseorang mengalami Berliner, 1984 : 252)
Dari batasan belajar yang dikemukakan oleh Dewey serta Gage dan Berliner, kita dapat menandai bahwa belajar merupakan suatu proses yang melibatkan manusia secara orang per orang sebagai satu kesatuan organisasi sehingga terjadi perubahan pada pengetahuan, keterampilan, dan sikapnya.
Dengan demikian, dalam belajar orang tidak mungkin melimpahkan tugas-tugas belajarnya kepada orang lain. Orang yang belajar adalah orang yang mengalami sendiri proses belajar.
Walaupun telah lama kita menyadari bahwa belajar memerlukan keterlibatan secara aktif orang yang belajar, kenyataan masih menunjukan kecendrungan yang berbeda. Dalam proses pembelajaran masih tampak adanya kecendrungan meminimalkan peran dan keterlibatan siswa. Dominasi guru dalam proses pembelajaran menyebabkan siswa lebih banyak berperan dan terlibat secara pasif, mereka lebih banyak menunggu sajian dari guru daripada mencari dan menemukan sendiri pengetahuan, keterampilan, serta sikpa yang mereka butuhkan. Apabila kondisi proses pembelajaran yang memaksimalkan peran dan keterlibatan guru serta meminimalkan peran dan keterlibatan siswa terjadi pada pendidikan dasar, termasuk pada sekolah dasar akan mengakibatkan sulit tercapainya tujuan pendiudikan dasar yakni meletakkan dasar yang dapat di pakai sebagai batu loncatan untuk menggapai pendidikan yang lebih tinggi, di samping kemampuan dan kemauan untuk belajar terus-menerus sepanjang hayatnya.
               Bertolak dari pemikiran-pemikiran yang terkandung dalam konsepsi pendidikan seumur hidup dan konsepsi belajar serta kenyataan proses pembelajaran, maka peningkatan penerapan CBSA merupakan kebutuhan yang harus terpenuhi. Guru hendaknya tidak lagi mengajar sekedar sebagai kegiatan menyampaikan pengetahuan, keterampilan sikap terhadap siswa. Guru hendaknya mengajar untuk membelajarkan siswa dalam konteks belajar bagaimana belajar mencari, menemukan dan meresepkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap.
               Dengan penerapan CBSA, siswa diharapkan akan lebih mampu mengenal dan mengembangkan kapsitas belajar dan potensi yang dimilikinya secara penuh, menyadari dan dapat mengunakkan potensi sumber belajar yang terdapat di sekitarnya. Selain itu, siswa diharapkan lebih terlatih untuk berprakarsa, berpikir secara teratur, kritis, tanggap dan dapat menyelesaikan masalah sehari-hari, serta lebih terampil dalam menggali, menjelajah, mencari, dan mengembangkan informasi yang bermakna baginya (Raka Joni, 1992:1). Pencapaian keadaan siswa yang diharapkan melalui penerapan CBSA ini , akan memungkinkan pembentukkan sebagai ”pengabdi abadi pencari                kebenaran ilmu”.
                Di sisi yang lain, dengan penerapan CBSA, guru diharapkan bekerja secara professional, mengajar secara sitematis berdasarkan prinsip didaktik metodik yang berdaya guna berhasil guna ( efisien dan efektif ). Artinya guru dapat merekayasa sistem pembelajaran yang mereka laksanakan secara sistematis, dengan pemikiran mengapa dan bagaiamana menyelenggarakan kegiatan pembelajaran aktif ( Raka Joni 1992:11 ). Lambat laun penrapan CBSA pada gilirannya akan mencetak guru–guru yang potensial dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan alam dan sosial budaya.

2.Rasionalisasi Pendekatan Keterampilan Proses Sebagai Bagian dari CBSA.
Rasionalisasi Pendekatan Keterampilan Proses dalam Pengajaran Kegiatan pembelajaran dimaksudkan agar tercipta kondisi yang memungkinkan terjadinya belajar pada diri siswa. Dalam suatu kegiatan pembelajaran dapat dikatakan belajar, apabila terjadi proses perubahan perilaku pada diri siswa sebagai hasil dari suatu pengalaman.
Dari jabaran kegiatan pembelajaran tersebut, maka dapat diidentifikasikan dua aspek penting yang ada dalam kegiatan pembelajaran tersebut. Aspek pertama adalah aspek hasil belajar yakni perubahan perilaku pada diri siswa. Aspek kedua adalah aspek proses belajar yakni sejumlah pengalaman intelektual, emosional, dan fisik pada diri siswa.
Bertolak dari pembahasan sebelumnya, dapat secara jelas kita lihat bahwa tujuan pokok penyelenggaraan kegiatan pembelajaran di dekolah haruslah “membelajarkan siswa bagaimana belajar”. Tujuan pokok penyelenggaraan kegiatan pembelajaran ini mengandung makna harus tercapai, kalau kita ingin memenuhi tuntutan percepatan perubahan yang berlangsung terus-menerus. Pada masa sekarang ini, bukanlah waktunya lagi bagi guru untuk menjadi orang pertama-tama yang bertindak sebagai komunikator “fakta-fakta, konsep dan prinsip-prinsip yang mantap”.
Adanya berbagai penemuan penelitian, menyebutkan “fakta, konsep, prinsip” seringkali berumur semakin “pendek”. Oleh karena itum tujuan pokok penyelenggaraan kegiatan pembelajaran di sekolah secara operasional adalah membelajarkan siswa agar mampu memproses dan memperoleh pengetahuan, keterampilan dan sikap yang menjadi kebutuhannya. Penyelnggaraan pembelajaran seperti diidealkan pada alinea sebelumnya, seringkali tidak terwujud dalam realitasnya di sekolah. Kegiatan pengajaran seringkali didasarkan pada dua premis yang terkadang tidak diungkapkan secara jelas.
Premis pertama mengungkapkan bahwa siswa belajar sesuatu bukan karena hal yang dipelajari menarik atau menyenangkan baginya, tetapi siswa belajar hanya ingin mnghindarkan diri dari ketidaksenangan bila ia tidak belajar. Berdasarkan premis ini, timbul tindakan yang mengkondisikan adanya ancaman tidak naik kelas, nilai rendah, hukuman, dan yang lain, agar siswa belaajr. Premis kedua mengungkapkan bahwa guru merupakan ”Motor Penggerak” yang membuat siswa terus-menerus belajar, dari pihak siswa tiada kegiatan belajar spontan. Siswa seringkali dipandang sebagai “gentong kosong” yang harus diisi oleh duru dengan air pengetahuan.
               Adanya dua premis seperti diungkapkan tersebut, mengakibatkan kegiatan pembelajaran cenderung menjadi kegiatan “penjajahan” atau “penjinakan” daripada sebagai kegiatan “pemanusiaan”. Terjadinya “penjajahan” atau “penjinakan”, karena siswa benar-benar dijadikan objek kegiatan pembelajaran. Berdasarkan uraian tentang kegiatan pembelajaran yang ideal dan realitas penyelnggaraan kegiatan pembelajaran di sekolah, timbul pertanyaan “apakah yang bisa dilakukan untuk mengidealkan kegiatan pembelajaran di sekolah?” Salah satu jawaban atas pertanyaan tersebut adalah penerapan Pendekatan Peterampilan Proses (PKP).
Apabila dikaji lebih lanjut, kita akan tiba pada kesimpulan bahwa penerapan PKP dalam kegiatan pembelajaran didasarkan pada hal-hal berikut :
a.     Percepatan perubahan ilmu pengetahuan dan teknologi.
           Percepatan perubahan IPTEK ini, tidak memungkinkan bagi guru bertindak sebagai satu-satunya orang yang menyalurkan semua fakta dan teori-teori. Untuk mengatasi hal-hal ini perlu pengembangan keterampilan memperoleh dan memproses semua fakta, konsep dan prinsip pada diri siswa.
b.      Pengalaman intelektual, emosional dan fisik.
           Pengalaman intelektual, emosional dan fisik dibutuhkan agar didapatkan hasil belajar dari peserta didik yang optimal serta memiliki keahlian di bidangnya masing-masing. Ini berarti kegiatan pembelajaran yang mampu memberi kesempatan kepada siswa memperlihatkan unjuk-kerja melalui sejumlah keterampilan memproses semua fakta, dan prinsip sangat dibutuhkan.
c.       Penanaman sikap dan nilai sebagai pengabdi pencarian abadi kebenaran ilmu.
           Hal ini menuntut adanya pengenalan terhadap tata-cara pemrosesan dan pemerolehan kebenaran ilmu yang bersifat kesemntaraan. Hal ini akan mengarahkan sispa pada kesadaran keterbatasan manusiawi dan keunggulan manusiawi, apabila dibandingkan dengan keterbatasan dan keunggulan ilmu pengetahuan dan teknologi.

3.Perkembangan CBSA dengan Kurikulum yang Ada di Indonesia
               Seperti halnya dengan sejarah panjang Ujian Negara maka begitu juga dengan sejarah kurikulum pada pendidikan di Indonesia. Hal yang menarik adalah bahwa KTSP merupakan era baru, dari kurikulum yang bersifat nasional menjadi kurikulum yang berbasiskan satuan pendidikan.
Harapan dari KTSP ini adalah akan lahir kurikulum-kurikulum berbasis lokal yang sesuai dengan kebutuhan lokal dan dihasilkan oleh orang-orang lokal dengan mengacu kepada standar-standar nasional yang dibuat Pusat. Namun hal ini berimpilikasi kembali dengan kemampuan seorang Guru untuk membuat KTSP, seorang Guru harus mampu melakukan inovasi dalam membuat kurikulum sesuai dengan kebutuhan murid dan sekolahnya tersebut.
              Kurikulum ini juga merupakan salah satu hasil kurikulum lebih baik dibanding pendahulunya yang pernah di keluarkan Depdiknas, sekaligus kembali bersifat prospektif bila dibandingkan dengan kurikulum-kurikulum yang lain. Sebagai contoh ketika kurikulum pertama kali dikeluarkan yaitu pada tahun 1947, yang disebut dengan Rencana Pembelajaran yang isinya lebih mementingkan kepentingan Belanda dibandingkan dengan kepentingan rakyat Indonesia. Kemudian pada tahun 1952 dan tahun 1964 pada masa orde lama yang masih belum sempurna kurikulumnya bahkan masih terkesan prematur. Terlebih lagi pada permulaan masa orde baru pada tahun 1968 yang kurikulumnya berisikan bagaimana menjadi seorang manusia Pancasila sejati.
Lantas tetap di era Orde Baru pada tahun 1975 keluarnya kurikulum Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI) yang lebih dikenal dengan Kurikulum berbasis satuan pelajaran, namun ini mendapatkan banyhak kritikan karena Guru disibukkan menuliskan rincian apa yang dikerjakan dalam setiap kegiatan pembelajaran.
                Sedikit berbeda pada tahun 1984 keluar kurikulum yang berbasis process skill approach. Siswa ditempatkan sebagai subjek belajar dari mulai pengamatan, pengelompokkan, diskusi hingga melaporkan atau sering disebut dengan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA). Namun dalam perjalanannya kurikulum ini juga tidak dapat direalisasikan seperti keinginan awalnya, karena seringkali terjadi banyak kesenjangan dan kurangnya pemahaman dari Sekolah. Guru yang tidak lagi melakukan metode ceramah kepada siswanya, namun belum bisa menguasai para siswanya dalam pembelajaran siswa aktif tersebut. Sehingga berujung kepada penolakkan dari model CBSA ini.
                Lain lagi dengan kurikulum 1994 yang menggantikan kurikulum 1984 yang berupaya memadukan dari kurikulum-kurikulum sebelumnya, yang berupaya untuk mengkombinasikan antara kurikulum 1975 dan 1984, sehingga menimbukan sebuah kurikulum yang super padat, karena semua aspek komponen baik lokal dan Pusat dimasukkan kedalam kurikulum tersebut. Ketika kurikulum ini berjalan timbulah tragedi 1998, krisis ekonomi 1998 yang menjatuhkan Soeharto sekaligus menandakan berakhirnya Orde Baru. Yang juga melahirkan kurikulum baru yang bernama Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) pada tahun 2004.Jiwanya adalah setiap pelajaran diurai berdasarkan kompetensi apa yang mesti dicapai oleh siswa. Namun kerancuan muncul ketika akan mengukur kompetensi siswa, bila ini dilakukan maka tidak bisa lagi menggunakan alat ukur dengan menggunakan pilihan ganda akan tetapi tentunya menggunakan praktek yang mampu mengukur seberapa besar pemahaman dan kompetensi siswa. Kembali hal ini terbentur pada kemampuan Gurunya yang tidak memahami masalah pengukuran ini, karena hasil yang tidak memuaskan program ini dihentikan pada tahun 2006. Yang kemudian dilanjutkan dengan KTSP tersebut.
Di era otonomi pendidikan ini, pemerintah menggulirkan kebijakan yang sama sekali berbeda di masa silam. Berakhirnya KBK ditandai pula dengan dicabutnya penerapan kurikulum nasional. Inilah era Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). KTSP ditetapkan pada 23 mei 2006, berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 22/2006 tentang Standar Isi Pendidikan dan Permendiknas No 23/2006 tentang Standar Kompetensi Kelulusan.
                KTSP menghendaki kurikulum disusun dan dikembangkan sendiri oleh sekolah. Depdiknas dan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), lembaga yang tugasnya, antara lain membuat kurikulum, hanya memberikan kisi-kisi materi yang akan diujikan secara nasional. Pemerintah hanya membuat standar-standar nasional sedangkan isi kurikulum dibuat oleh Sekolah. Guru diberikan kebebasan mengembangkan indikator penilaian dan materi pokok sesuai dengan karakteristik daerah, lingkungan dan peserta didik. Disini kembali dituntut peran Guru yang amat besar untuk mampu melaksanakan kurikulum ini, bukan sekedar Guru yang hanya mencari nafkah dari pekerjaannya akan tetapi seorang Guru yang mengerti betul dengan filosofi pembelajaran dan menguasai betul secara mental untuk memberikan pengajaran kepada anak didiknya sebagai seorang manusia.
               Sesungguhnya sosialisasi KTSP ini sudah dilaksanakan oleh Departemen Pendidikan Nasional melalui Ditjen PMPTK dengan berbagai cara dan kesempatan. Salah satu caranya adalah dengan mengembangkan CD yang berisikan KTSP, Widya Iswara pada LPMP dan P4TK seringkali melakukan kunjungan ke daerah untuk mensosialisasikannya, menggunakan metode Master TOT, melalui asosiasi Guru yang ada dan lain sebagainya. Dan sebenarnya sudah cukup dirasakan oleh Guru-guru yang ada di seluruh Indonesia, minimal mereka mengetahuinya.
          Dan salah satu upaya yang sekarng ini amat dinantikan adalah peran serta masyarakat melalui LSM-LSM untuk dapat mensosialisasikannya, tidak hanya bisa mengkritisi akan tetapi tidak memberikan solusi yang terbaik bagi anak bangsa ini. Yang perlu menjadi catatan dengan KTSP ini adalah bukan hanya kepada sosialisasi akan tetapi kemampuan Guru untuk dapat mengembangkan kurikulum ini, karena kurikulum ini betul-betul membuthkan Guru yang capable dan mampu melakukan analisis-analisis untuk menghasilkan kurikulum terbaik bagi siswanya.
               Peran dan konstribusi yang telah diberikan oleh Guru. Bila dilihat dari data guru kemungkinan profesi yang terbanyak dibanding profesi lain. Tercatat tak kurang dari 2.783.321 guru, dengan perincian 1.528.472 adalah pegawai negeri sipil (PNS) dan sisanya, 1.254. 849 guru swasta. Sayangnya, guru hanya unggul jumlah, sementara dari sisi kualitas baik dari kompetensi dan kualifikasi, masih menyisakan pekerjaan rumah besar. Dari sisi kualifikasi ternyata hanya sebagian saja yang lulus S1, belum lagi banyaknya Guru yang mengajar missmatch, kesemua ini tentunya hanya akan membuat anak didik di Indonesia akan menjadi semakin mundur. Hal yang sering terlupakan adalah bahwa dalam pembelajaran itu sarana dan prasarana bukan merupakan sebuah faktor yang paling penting, akan tetapi yang paling penting itu selain kualitas dan kompetensi adalah Mental Guru. Dahulu Guru begitu dihormati oleh masayarakat, mereka dianggap sebagai tokoh dalam komunitasnya. Namun kini semuanya semakin sirna karena berbagai tingkah laku Guru yang membuat muridnya menjadi tertawa.
                Seperti pepatah mengatakan ‘Guru Kencing Berdiri Murid Kencing Berlari’. Bila seorang Guru mempunyai kemampuan dan mengerti metoda pendidikan ia akan dapat memberikan sebuah pengajaran yang luar biasa. Sebuah film yang diangkat dari Novel spektakuler ‘Laskar Pelangi” telah mencoba menunjukkan hal tersebut. Bahwa mengajarkan seseorang itu tidak perlu terikat dengan kurikulum atau lengkapnya sarana dan prasarana, namun bagaimana mengajar seorang anak didik itu dari hati, bagaimana mengajar seorang anak didik itu sesuai dengan bakatnya dan melihatnya sebagai sebuah kepribadian yang unik yang diciptakan oleh Allah SWT. Sebagai contoh, ketika zaman dahulu kita menulis dengan batu tulis, dimana ketika itu setelah ditulis kita harus langsung menghapusnya.
Sedangkan sekarang ini begitu murah buku dan alat tulis untuk dibeli namun tetap saja mutu pendidikan kita tidak menjadi lebih baik dari waktu ke waktu.
               Guru kita sekarang tidak mampu memberikan inspirasi kepada anak didiknya. Sehingga saat ini lulusan dari Perguruan Tinggi ternyata lebih banyak menjadi ‘Penyemir Sepatu’ dari lulusan SD yang mempunyai keberanian untuk terjun dalam dunia kewirausahaan. Lulusan PT tidak mempunyai keberanian untuk menantang untung dan rugi, menantang hidup yang tidak tetap, menantang hidup yang tidak pasti, walau ternyat dengan ketekunan dunia itu tidak pernah membuat orangnya kelaparan dengan sebenar-benarnya. UU Guru dan Dosen telah jadi, seorang Guru disinyalir akan mendapatkan pendapatan yang cukup untuk hidupnya. Namun untuk mendapatkannya seorang Guru diharuskan mengikut uji sertifikasi dan fortopolio, lagi-lagi yang terjadi sungguh membuat mengerti kenapa pendidikan kita tidak maju. Guru mulai bermain-main dengan fortopolio, mulai membajak hasil diklat dan seminar temannya, mulai mencari ijazah palsu. Inilah mental kebanyakan Guru kita sekarang ini.
               Bukannya kurikulum atau sarana dan prasarana itu tidak penting, namun itu semua menjadi tidak berguna apabila Guru kita mentalnya masih belum berubah, tidak mempunyai jiwa seorang pendidikan akan tetapi lebih kepada jiwa pedagang atau bahkan menjadi seorang birokrasi.
Seperti halnya dengan KKN, selama mental para Birokrasi tida berubah sebesar apapun gaji yang diberikan tidak akan pernah cukup, KKN itu akan terus terjadi. Hal ini mungkin terjadi karena dampak dari zaman sentralisasi di orde baru yang menyebabkan selama puluhan tahun Guru hanya dituntut untuk melaksanakan kurikulum yang telah dikeluarkan sesuai dengan kebijakan dan keinginan Pusat, sehingga menghilangkan jiwa kritis dari Guru tersebut. Bila seorang Guru seperti itu tentu dapat terbayangkan bagaimana muridnya, yang akhir lebih pintar untuk menghapal bukan melakukan inovasi-inovasi pemikiran. Ini pulalah yang menyebabkan Depdiknas tetap bersikeras untuk tetap melaksanakan UAN/UN, untuk memberikan sebuah pancingan atau stimulant terhadap pendidikan di Indonesia, sekaligus menjaga mutu dari mutu pendidikan kita, menggerakan jiwa sebagai pendidik dari Guru, menggugah masyarakat untuk berperan serta dalam pendidikan, menggugah Pemerintah Daerah untuk memperhatikan pendidikan didaerah dan lain sebagainya. Bahkan untuk menjaganya Pemerintah juga kerap berupaya untuk meningkatkan kesejahteraan Guru, memenuhi standar pendidikan pada satuan pendidikan, membantu dengan BOS, menetapkan Standar-standar Pendidikan, mengeluarkan UU yang pro kepada Pendidik dan Tenaga Kependidikan.

4. Dasar Pemikiran Perlunya CBSA dalam Proses Pengajaran
          Mengapa proses pengajaran harus mengoptimalkan kadar keaktifan siswa belajar atau CBSA?
Jawaban terhadap pertanyaan di atas dapat dikaji dari empat perangkat, yaitu asumsi mengenai (a) pendidikan (b) anak didik, (c) guru, dan (d) proses pengajaran.

a. Asumsi pendidikan
         Pendidikan adalah usaha sadar memanusiakan manusia atau membudayakan manusia. Pendidikan adalah proses sosialisasi menuju kedewasaan intelektual, sosial, moral, sesuai dengan kemampuan dan martabatnya sebagai manusia. Atas dasar itu maka hakikat pendidikan: (1) adalah interaksi manusiawi, (2) membina dan mengembangkan potensi manusia, (3) berlangsung sepanjang hayat, (4) sesuai dengan kemampuan dan tingkat perkembangan individu, (5) ada dalam keseimbangan antara kebebasan subjek didik dengan kewibawaan guru, dan (6) meningkatkan kualitas hidup manusia.

b. Asumsi anak didik
          Asumsi anak didik didasarkan atas: (1) anak bukan manusia kecil, tetapi manusia seutuhnya yang mempunyai potensi untuk berkembang, (2) setiap individu atau anak didikberbeda kemampuannya, (3) individu atau anak didik pada dasarnya adalah insan yang aktif, kreatif, dan dinamis dalam menghadapi lingkungannya, (4) anak didik mempunyai motivasi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

c. Asumsi guru
            Asumsi guru bertolak dari:
(a) bertanggung jawab atas tercapainya hasil belajar siswa,
(b) memiliki kemampuan profesional sebagai pengajar,
(c) mempunyai kode etik keguruan,
(d) berperan sebagai sumber belajar, pemimpin belajar, dan fasilitator belajar sehingga memungkinkan terciptanya kondisi yang baik bagi siswa untuk belajar.

d. Asumsi proses pengajaran
           Beberapa asumsi proses pengajaran antara lain adalah:
(a) proses pengajaran direncanakan dan dilaksanakan dalam suatu sistem,
(b) peristiwa belajar terjadi apabila siswa berinteraksi dengan lingkungan belajar yang diatur oleh guru,
(c) proses pengajaran akan lebih efektif apabila menggunakan metode dan tekhnik yang tepat dan berdaya guna,
(d) pengajaran memberi tekanan kepada proses dan produk secara seimbang,
(e) inti proses pengajaran adalah adanya kegiatan siswa belajar secara optimal.
      
          Implikasi dari perangkat asumsi di atas harus tampak dalam dua hal, yakni:
 (a) dalam program pendidikan yang diberikan kepada anak didik, bisa disebut dengan istilah kurukulum, dan
(b) dalam pelaksanaan program pendidikan atau pengajaran ( proses belajar mengajar) sebagai wujud nyata atau operasionalisasi kurikulum.
Mengingat program pendidikan (kurikulum) telah dibuat dan telah ada sehingga guru dan aparat pendidikan lainnya tinggal menggunakannya, maka implikasi dari perangkat asumsi tersebut secara nyata dapat direalisasi dalam prises belajar mengajar. Bila mengkaji makna setiap asumsi tadi, maka tidak ada pilihan lain bahwa untuk merealisasi proses belajar mengajar, kita harus beralih kepada strategi belajar mengajar dengan menitik beratkan cara belajar siswa aktif (CBSA)











KESIMPULAN
Berdasarkan analisis serta pemecahan masalah yang ada dalam karya tulis ini, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
a.     Dengan penerapan CBSA,
           siswa diharapkan akan lebih mampu mengenal dan mengembangkan kapsitas belajar dan potensi yang dimilikinya secara penuh, menyadari dan dapat menggunakkan potensi sumber belajar yang terdapat di sekitarnya.
b.    Dengan penerapan CBSA,
           guru diharapkan bekerja secara professional, mengajar secara sitematis berdasarkan prinsip didaktik metodik yang berdaya guna berhasil guna ( efisien dan efektif ).
c.      Rasionalisasi Pendekatan Keterampilan Proses dalam Pengajaran
          Kegiatan pembelajaran dimaksudkan agar tercipta kondisi yang memungkinkan terjadinya belajar pada diri siswa.
d.    penerapan PKP dalam kegiatan pembelajaran didasarkan pada hal-hal berikut :
1.Percepatan perubahan ilmu pengetahuan dan teknologi.
2.Pengalaman intelektual, emosional dan fisik
3.Penanaman sikap dan nilai sebagai pengabdi pencarian abadi kebenaran ilmu.
5. Pengajaran harus mengoptimalkan kadar keaktifan siswa belajar atau CBSA dapat dikaji dari empat perangkat, yaitu aasumsi mengenai (a) pendidikan (b) anak didik, (c) guru, dan (d) proses pengajaran.
6. Dalam satuan pengajaran, pemikran CBSA tercermin dalam rumusan isi satuan pelajaran sebab satuan pelajaran pada hakikatnya adalah rencana atau proyeksi tindakan yang akan dilakukan oleh guru pada waktu belaj. Pendidikan adalah proses sosialisasi menuju kedewasaan intelektual, sosial, moral, sesuai dengan kemampuan dan martabatnya sebagai manusia.
Ø Atas dasar itu maka hakikat pendidikan: 
ü Interaksi manusiawi,
ü membina dan mengembangkan potensi manusia,
ü berlangsung sepanjang hayat,
ü  sesuai dengan kemampuan dan tingkat perkembangan individu,
ü  ada dalam keseimbangan antara kebebasan subjek didik dengan kewibawaan guru, dan.
ü  meningkatkan kualitas hidup manusia.
E. Kadar CBSA dalam Pembelajaran
Rentangan (kontinum) ini terjadi sebagai akibat dari adanya kecenderungan peristiwa pembelajaran, yakni pelajaran yang berorientasi pada Guru dan pembelajaran yang berorientasi pada siswa. CBSA akan lebih tanpak dan menunjukan kadar yang tinggi apabila lebih berorientasi kepada siswa, dan akan terjadi sebaliknya bila arah pembelajaran cenderung berorientasi kepada guru.
Mc Keachie mengemukakan 7 (tujuh) dimensi proses pembelajaran yang mengakibatkan terjadinya kadar ke-CBSA-an.
     Adapun dimensi-dimensi yang dimaksud adalah:
1.      Partisipasi Siswa dalam menetapkan tujuan kegiatan pembelajaran.
2.     Tekanan pada aspek afektif dalam belajar.
3.     Partisipasi siswa dalam kegiatan pembelajaran, terutama yang berbentuk interaksi antar siswa’
4.     Kekohensifan (kekompaakan) kelas sebagai kelompok.
5.     Kebebasan atau lebih tepat kesempatan yang diberikan kepada siswa untuk mengambil keputusan-keputusan penting dalam kehidupan sekolah, dan
6.     Jumlah waktu yang digunakan untuk menanggulagi masalah pribadi siswa, baik yang berhubungan maupun yang tidak berhubungan dengan sekolah/pembelajaran.
Raka Joni (1992 : 19-20) mengungkapkan bahwa sekolah yang ber-CBSA dengan baik mempunyai karakteristik berikut:
1.     Pembelajaran yang dilakukan lebih berpusat kepada siswa, sehingga siswa berperan lebih aktif dalam mengembangkan cara-cara belajar mandiri, siswa berperan serta pada perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian proses belajar , pengalaman siswa lebih diutamakan dalam memutuskan titik  tolak kegiatan.
2.      Guru adalah pembimbing dalam terjadinya pengalaman belajar , guru bukan satu-satunya sumber informasi, guru merupakan salah satu sumber belajar, yang memberikan peluang bagi siswa agar dapat memperoleh pengetahuan/keterampilan melalui usah sendiri,dapat mengembangkan motivasi dari dalam dirinya, dan dapat mengembangankan pengalaman untuk membuat suatu karya.
3.     Tujuan kegiatan tidak hanya untuk sekedar mengejar standar akademis, selain pencapaian standar akademis kegiatan ditekankan  untuk mengembangkan kemampuan siswa secara utuh dan seimbang.
4.     Pengelolaan kegiatan pembelajaran lebih menekankan pada kreativitas  siswa, dan memperhatikan kemajuan siswa untuk menguasai konsep-konsep dengan mantap.
5.     Penilaian,dilaksanakan untuk mengamati dan mengukur kegiatan dan kemajuan siswa, serta mengukur berbagai keterampilan yang dikembangkan misalnya keterampilan berbahasa,keterampilan social,keterampilan matematika, dan keterampilan proses dalam IPA  dan keterampilan lainya, serta mengukur hasil belajar siswa.

1.      Kadar CBSA dalam Pembelajaran
Kadar CBSA ditandai oleh semakin banyaknya dan bervariasinya keaktifan dan keterlibatan siswa dalam proses belajar mengajar. Semakin banyak dan semakin beragamnya keaktifan dan keterlibatan siswa, maka semakin tinggi pula kadar ke-CBSA-annya. Sebaliknya, semakin sedikit keaktifan dan keterlibatan siswa dalam proses belajar mengajar, maka berarti semakin rendah kadar CBSA tersebut.
Kadar CBSA itu dalam rangka sistem belajar mengajar menunjukkan ciri-ciri, sebagai berilmu :
1)      Pada tingkat masukan, ditandai oleh:
1.     Adanya keterlibatan siswa dalam merumuskan kebutuhan pembelajaran sesuai dengan kemampuan, minat, pengalaman, motivasi, aspirasi yang telah dimiliki sebagai baban masukan untuk melakukan kegiatan belajar.
2.     Adanya keterlibatan siswa dalam menyusun rancangan belajar dan pembelajaran, yang menjadi acuan baik bagi siswa mupun bagi guru.
3.     Adanya keterlibatan siswa dalam memilih dan menyediakan sumber bahan pembelajaran.
4.     Adanya keterlibatan siswa dalam pengadaan media pembelajaran yang akan digunakan sebagai alat bantu belajar.
5.     Adanya kesadaran dan keinginan belajar yang tinggi serta motivasi untuk melakukan kegiatan belajar.

2)      Pada tingkat proses, kadar CBSA ditandai dengan:
1.     Adanya keterlibatan siswa secara fisik, mental, emosional, intelektual, dan personal dalam proses belajar.
2.     Adanya berbagai keaktifan siswa mengenal, memahami, menganalisis, berbuat, memutuskan, dan berbagai kegiatan belajar lainnya yang mengandung unsur kemandirian yang cukup tinggi.
3.     Keterlibatan secara aktif oleh siswa dalam menciptakan suasana belajar yang serasi, selaras dan seimbang dalam proses belajar dan pembelajaran.
4.     Keterlibatan siswa menunjang upaya guru menciptakan lingkungan belajar untuk memperoleh pengalaman belajar serta turut membantu mengorganisasikan lingkungan belajar itu, baik secara individual maupun secara kelompok.
5.     Keterlibatan siswa dalam meneari imformasi dari berbagai sumber yang berdaya guna dan tepat guna bagi mereka sesuai dengan rencana kegiatan belajar yang telah mereka rumuskan sendiri.
6.     Keterlibatan siswa dalam mengajukan prakarsa, memberikan jawaban atas penanyaan guru, mengajukan penanyaan/ masalah dam berupaya menjawabnya sendiri, menilai jawaban dari rekannya, dan memecahkan masalah yang timbul selama berlangsungnya proses belajar mengajar tersebut.
3)      Pada tingkat produk, kadar CBSA ditandai oleh:
1.     Ketertibatan siswa dalam menilai diri sendiri, menilai teman sekelas.
2.     Keterlibatan siswa secara mandiri mengerjakan tugas menjawab tes dan mengisi instrumen penilaian lainnya yang diajukan oleh guru.
3.     Keterlibatan siswa menyusun laporan baik tertulis maupun lisan yang berkenaan dengan hasil belajar.
4.     Keterlibatan siswa dalam menilai produk-produk kerja sebagal hasil belajar dan pembelajaran.
Berdasarkan ciri-ciri tersebut dapat ditentukan derajat kadar CBSA dalam suatu proses belajar mengajar, dan bila mungkin di klasifikasikan menjadi: kadar tinggi, kadar sedang, dan kadar rendah. Kendatipun tampak, bahwa keaktifan guru sangat menonjol, namun tidak berarti keaktifan guru di abaikan. Tanpa upaya dan pengaruh serta arahan guru sebagai fasilitator dan pengorganisasian belajar, maka kadar CBSA yang diinginkan tak mungkin tercapai. Guru tetap bertanggungjawab menciptakan lingkungan belajar yang mampu mengundang / menantang siswa untuk belajar.
Kebaikan dan Kelemahan CBSA
a.     Kebaikan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA)
Proses belajar mengajar baru berhasil apabila guru memiliki kewibawaan di depan kelas. Secara lahir kewibawaan guru banyak ditentukan oleh penampilannya, posisinya di depan kelas, perkataan dan tulisannya. Secara batin kewibawaan ditumpang oleh penguasaan bahan yang di ajarkan, penguasaan metode dan media pendidikan yang dipilih dan digunakan, dan penguasaan alat penelitian yang diterapkan.
Kebaikan-kebaikan Cara Belajar Siswa Aktif, sebagaimana dikemukakan oleh T. Raka Joni, bahwa:
1.     Prakarsa siswa / mahasiswa dalam kegiatan belajar, yang ditujukan melalui keberanian memberikan urung pendapat tanpa secara ekslusif diminta.
2.     Keterlibatan mental siswa / mahasiswa di dalam kegiatan-kegiatan belajar yang telah berlangsung yang ditujukan dengan peningkatan diri kepada tugas kegiatan.
3.     Peranan guru yang lebih banyak sebagai fasilitator merupakan sisi lain daripada kadar tinggi prakarsa serta tanggung jawab siswa / mahasiswa di dalam kegiatan belajar.
4.     Belajar dengan pengalaman lansung merupakan indikator lain daripada kadar ke-CBSA-an kegiatan belajar mengajar.
5.     Kekayaan variasi bentuk dan alat kegiatan belajar mengajar merupakan indikator lain dari pada kadar ke-CBSA-an.
6.     Kualitas interaksi antar siswa, baik intelektual maupun sosial, emosional sehingga meningkatkan peluang pembentukan kepribadian seutuhnya.
7.     Pembelajaran yang dilakukan lebih berpusat kepada siswa, sehingga siswa berperan lebih aktif dalam mengembangkan cara-cara belajar mandiri, siswa berperan serta pada perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian proses belajar , pengalaman siswa lebih diutamakan dalam memutuskan titik  tolak kegiatan.
8.     Guru adalah pembimbing dalam terjadinya pengalaman belajar , guru bukan satu-satunya sumber informasi, guru merupakan salah satu sumber belajar, yang memberikan peluang bagi siswa agar dapat memperoleh pengetahuan/keterampilan melalui usah sendiri,dapat mengembangkan motivasi dari dalam dirinya, dan dapat mengembangankan pengalaman untuk membuat suatu karya.
9.     Tujuan kegiatan tidak hanya untuk sekedar mengejar standar akademis, selain pencapaian standar akademis kegiatan ditekankan  untuk mengembangkan kemampuan siswa secara utuh dan seimbang.
10.                        Pengelolaan kegiatan pembelajaran lebih menekankan pada kreativitas  siswa, dan memperhatikan kemajuan siswa untuk menguasai konsep-konsep dengan mantap.
11.                        Penilaian,dilaksanakan untuk mengamati dan mengukur kegiatan dan kemajuan siswa, serta mengukur berbagai keterampilan yang dikembangkan misalnya keterampilan berbahasa,keterampilan social,keterampilan matematika, dan keterampilan proses dalam IPA  dan keterampilan lainya, serta mengukur hasil belajar siswa.
Jadi kebaikannya pada CBSA adalah kadar kegiatannya lebih diperbanyak untuk mendorong siswa belajar mempraktikkan proses-proses intelektual.
         
b.     Kelemahan CBSA
Terjadinya kadar CBSA yang menurun ini terjadi akibat tidak keterlibatannya mental secara optimal di dalam kelas maupun di luar kelas.
Kelemahan dari CBSA sebagaimana dikemukakan oleh Oemar Hamalik bahwa:
1.     Tidak menjamin dalam melaksanakan keputusan
2.     Diskusi tak dapat diramalkan, pada mulanya diskusi di organisasi secara baik tetapi selanjutnya mungkin saja mengarah ke tujuan lain.
3.     Memasyarakatkan agar semua siswa memiliki keterampilan berdiskusi yang diperlukan untuk berpartisipasi secara aktif.
4.     Membentuk pengaturan fisik dan jadwal kegiatan secara luwes.
Jadi kelemahan dari CBSA adalah siswa yang pandai akan bertambah pandai, siswa yang bodoh atau kurang pandai akan tertinggal.
Rentangan (kontinum) ini terjadi sebagai akibat dari adanya kecenderungan peristiwa pembelajaran, yakni pelajaran yang berorientasi pada Guru dan pembelajaran yang berorientasi pada siswa. CBSA akan lebih tanpak dan menunjukan kadar yang tinggi apabila lebih berorientasi kepada siswa, dan akan terjadi sebaliknya bila arah pembelajaran cenderung berorientasi kepada guru.
Mc Keachie mengemukakan 6 (enam) dimensi proses pembelajaran yang mengakibatkan terjadinya kadar ke-CBSA-an.
Adapun dimensi-dimensi yang dimaksud adalah:
1.     Partisipasi Siswa dalam menetapkan tujuan kegiatan pembelajaran.
2.     Tekanan pada aspek afektif dalam belajar.
3.     Partisipasi siswa dalam kegiatan pembelajaran, terutama yang berbentuk interaksi antar siswa’
4.     Kekohensifan (kekompakan) kelas sebagai kelompok.
5.     Kebebasan atau lebih tepat kesempatan yang diberikan kepada siswa untuk mengambil keputusan-keputusan penting dalam kehidupan sekolah, dan
6.     Jumlah waktu yang digunakan untuk menanggulagi masalah pribadi siswa, baik yang berhubungan maupun yang tidak berhubungan dengan sekolah/pembelajaran.


F. Rambu-Rambu Penyelenggaraan CBSA
             Hakikat CBSA adalah ketelibatan intelektual-emosional siswa yang secara optimal dalam proses pembelajaran ; dan setiap prose pembelajaran memiliki kadar CBSA yang berbeda-beda. Yang di maksud dengan rambu-rambu CBSA adalah gejala-gejala yang tampak pada perilaku siswa dan guru baik dalam program maupun dalam proses pembelajaran.
            Rambu-Rambu yang di maksud adalah :
1)    Kuantitas dan kualitas pengalaman yang membelajarkan.
2)    Prakarsa dan keberanian siswa dealam mewujudkan minat,keinginan, dan dorongan-dorongan yang ada pada diri nya.
3)    Keberanian dan keinginan siswa untuk ikut serta dalam proses pembelajaran.
4)    Usaha dan kreativitas siswa dalam proses pembelajaran.
5)    Keingintahuan pada diri siswa.
6)    Rasa lapang dan bebas yang ada pada diri siswa.
7)    Kuantitas dan kualitas usaha yang di lakukan guru dalam membina dan mendorong keaktifan siswa.
8)    Kualitas guru sebagai inovator dan fasilitator.
9)    Tingkat sikap guru yang tidak mendominasi dalam proses pembelajaran.
10)                       Kuantitas dan kualitas metode dan media yang dimanfaat kan guru dalam proses pembelajaran.
11)                       Keterikatan guru terhadap program pembelajaran.
12)                       Variasi interaksi guru-siswa dalam proses pembelajaran.
13)                       Kegiatan dan kegembiraan siswa dalam belajar.
Yang dimaksud dengan rambu-rambu CBSA adalah perwujudan prinsip-prinsip CBSA yang dapat diukur dan rentangan yang paling rendah sampai pada rentangan yang paling tinggi, yang berguna untuk menentukan tingkat CBSA dan suatu proses belajar-mengajar. Rambu-rambu tersebut dapat dilihat dari beberapa dimensi. Rambu-rambu tersebut dapat digunakan sebagai ukuran untuk menentukan apakah suatu proses belajar-mengajar memiliki kadar CBSA yang tinggi atau rendah. Jadi bukan menentukan ada atau tidak adanya kadar CBSA dalam proses belajar-mengajar. Bagaimanapun lemahnya seorang guru, namun kadar CBSA itu pasti ada, walaupun rendah.

a.     Berdasarkan pengelompokan siswa
Strategi belajar-mengajar yang dipilih oleh guru harus disesuaikan dengan tujuan pengajaran serta materi tertentu. Ada materi yang sesuai untuk proses belajar secara individual, akan tetapi ada pula yang lebih tepat untuk proses belajar secara kelompok. Ditinjau dari segi waktu, keterampilan, alat atau media serta perhatian guru, pengajaran yang berorientasi pada kelompok kadang-kadang lebih efektif.

b.     Berdasarkan kecepatan Masing-Masing siswa
Pada saat-saat tertentu siswa dapat diberi kebebasan untuk memilih materi pelajaran dengan media pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan mereka masing-masing. Strategi ini memungkinkan siswa untuk belajar lebih cepat bagi mereka yang mampu, sedangkan bagi mereka yang kurang, akan belajar sesuai dengan batas kemampuannya. Contoh untuk strategi belajar-mengajar berdasarkan kecepatan siswa adalah pengajaran modul.
 c. Pengelompokan berdasarkan kemampuan
Pengelompokan yang homogin dan didasarkan pada kemampuan siswa. Bila pada pelaksanaan pengajaran untuk pencapaian tujuan tertentu, siswa harus dijadikan satu kelompok maka hal ini mudah dilaksanakan. Siswa akan mengembangkan potensinya secara optimal bila berada disekeliling teman yang hampir sama tingkat perkembangan intelektualnya.
d.Pengelompokkan berdasarkan persamaan minat
Pada suatu guru perlu memberi kesempatan kepada siswa untuk berkelompok berdasarkan kesamaan minat. Pengelompokan ini biasanya terbentuk atas kesamaan minat dan berorientasi pada suatu tugas atau permasalahan yang akan dikerjakan.
             e.Berdasarkan domein-domein tujuan
Strategi belajar-mengajar berdasarkan domein/kawasan/ranah tujuan, dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1) Menurut Benjamin S. Bloom CS, ada tiga domein ialah:
a) Domein kognitif, yang menitik beratkan aspek cipta.
b) Domein afektif, aspek sikap.
c) Dornein psikomotor, untuk aspek gerak.

2) Gagne mengklasifikasi lima macam kemampuan ialah:
a) Keterampilan intelektual.
b) Strategi kognitif.
c) Informasi verbal.
d) Keterampilan motorik.
e) Sikap dan nilai.

CBSA dapat diterapkan dalam setiap proses belajar mengajar. Kadar CBSA dalam setiap proses belajar mengajar dipengaruhi oleh penggunaan strategi belajar mengajar yang diperoleh. Dalam mengkaji ke-CBSA-an dan kebermaknaan kegiatan belajar mengajar, Ausubel mengemukakan dua dimensi, yaitu kebermaknaan bahan serta proses belajar mengajar dan modus kegiatan belajar mengajar. Ausubel mengecam pendapat yang menganggap bahwa kegiatan belajar mengajar dengan modus ekspositorik, misalnya dalam bentuk ceramah mesti kurang bermakna bagi siwa dan sebaliknya kegiatan belajar mengajar dengan modus discovery dianggap selalu bermakna secara optimal. Menurutnya kedua dimensi yang dikemukakan adalah independen, sehingga mungkin saja terjadi pengalaman belajar mengajar dengan modus ekspositorik sangat bermakna dan sebaliknya mungkin saja terjadi pengalaman belajar mengajar dengan modus discovery tetapi tanpa sepenuhnya dimengerti oleh siswa. Yang penting adalah terjadinya asimilasi kognitif pengalaman belajar itu sendiri oleh siswa.





G.Prinsip-Prinsip Pendekatan CBSA

Prinsip-prinsip CBSA dalam Dimensi Program Pembelajaran

Prinsip-prinsip yang perlu ada pada dimensi program pembelajaran adalah sebagai berikut ;

1. Penentuan tujuan dan isi pelajaran
         Prinsip ini menuntut agar dalam mengembangkan program pembelajaran hendaknya dilakukan penyesuaian
antara tujuan dari isi pembelajaran dengan karakteristik siswa, sehingga dapat memenuhi kebutuhan, minat dan kemampuan siswa.

2. Pengembangan konsep dan aktivitas siswa.
          Prinsip ini mempersyaratkan agar program mampu menyajikan alternatif kegiatan yang mengarah pada pengembangan konsep aktifitas belajar siswa.

3. Pemilihan dan penggunaan berbagai metode clan media
          Prinsip ini menuntut agar guru mampu memilih dan sekaligus mampu menggunakan berbagai strategi dan metode belajar-mengajar, sehingga dapat menciptakan kondisi belajar yang dapat membelajarkan siswa secara aktifdan penuh makna.

4. Penentuan metode dan media
          Prinsip ini mempersyaratkan agar dalam program pembelajaran diberikan altematif metode dan media yang dapat dipilih secara luwes, maksudnya pengembangan program hendaknya mampu memilih metode atau media sebagai alternatif memilih kesetaraan.

Prinsip CBSA Pada Dimensi Situasi Belajar Mengajar
1. Komunikasi yang bersahabat antara guru dan siswa.
2. Kegairahan dan kegembiraan dalam belajar.
Berikut ini akan diuraikan salah satu pendekatan yang berciri khas CBSA, yaitu pendekatan keterampilan proses, pengembangan keterampilan intelektual, sosial dan fisik yang bersumber pada kemampuan peserta didik.

             Banyak keaktifan siswa yang sangat sulit untuk diamati, seperti kemampuan berpikir untuk memecahkan masalah baru adalah merupakan keaktifan siswa yang tidak dapat diamati sebagai suatu bentuk keaktifan. Mungkin siswa-yang bersangkutan hanya diam bahkan kelihatannya mengantuk padahal dia sedang me.ngarahkan segala kemampuan yang dimilikinya untuk memecahkan masalah. Guru baru dapat mengamatinya apabila siswa itu telah bertindak.
Dengan perkataan lain, keaktifan dalam rangka CBSA menunjuk kepada keaktifan mental, meskipun untuk mencapai maksud ini dipersyaratka keterlibatan langsung berbagai bentuk keaktifan fisik.

Pendekatan Keterampilan Proses
            Tugas utama guru adalah menciptakan suasana kelas sedemikian rupa agar terjadi interaksi belajar-mengajar yang dapat memotivasi siswa untuk belajar dengan baik dan sungguh-sungguh. CBSA akan berjalan sebagaimana diharapkan apabila dalam prakteknya CBSA mampu mengembangkan keterampilan memproses perolehan.
Jadi apabila keterampilan proses dikaitkan dengan CBSA, maka akan tampak keduanya mempunyai ciri sebagai berikut;
• menekankan pentingnya keberartian belajar untuk mencapai hasil belajar yang memadai;
• menekankan pentingnya keterlibatan siswa dalam proses belajar.
• tenekankan bahwa belajar adalah proses dua arah yang menekankan hasil belajar secara tuntas.

Mengapa keterampilan proses diperlukan?
            Dalam proses belajar-mengajar, pengembangan konsep harus dipadukan dengan pengembangan nilai dalam diri anak didik. Tujuannya adalah menghasilkan manusia yang ahli sekaligus manusiawi. Artinya, lulusan yang diharapkan mempunyai pengetahuan yang luas, manusiawi dan keduanya menyatu dalam pribadi yang serasi, selaras dan seimbang.

             Prinsip CBSA adalah tingkah laku belajar yang berdasarkan pada kegiatan-kegiatan yang nampak, yang menggambarkan tingkat keterlibatan siswa dalam proses belajar-mengajar baik intelektual-emosional maupun fisik, Prinsip-Prinsip CBSA yang nampak pada 4 dimensi sebagai berikut:
a. Dimensi subjek didik :
  • Keberanian mewujudkan minat, keinginan, pendapat serta dorongan-dorongan yang ada pada siswa dalam proses belajar-mengajar. Keberanian tersebut terwujud karena memang direncanakan oleh guru, misalnya dengan format mengajar melalui diskusi kelompok, dimana siswa tanpa ragu-ragu mengeluarkani pendapat.
  • Keberanian untuk mencari kesempatan untuk berpartisipasi dalam persiapan maupun tindak lanjut dan suatu proses belajar-mengajar maupun tindak lanjut dan suatu proses belajar mengajar. Hal mi terwujud bila guru bersikap demokratis.
  • Kreatifitas siswa dalam menyelesaikan kegiatan belajar sehingga dapat mencapai suatu keberhasilan tertentu yang memang dirancang oleh guru.
  • Kreatifitas siswa dalam menyelesaikan kegiatan belajar sehingga dapat mencapai suatu keberhasilan tertentu, yang memang dirancang oleh guru.
  • Peranan bebas dalam mengerjakan sesuatu tanpa merasa ada tekanan dan siapapun termasuk guru.
b. Dimensi Guru
  • Adanya usaha dan guru untuk mendorong siswa dalam meningkatka kegairahan serta partisipasi siswa secara aktif dalam proses belajar-mengajar.
  • Kemampuan guru dalam menjalankan peranannya sebagai inovator dan motivator.
  • Sikap demokratis yang ada pada guru dalam proses belajar-mengajar.
  • Pemberian kesempatan kepada siswa untuk belajar sesuai dengan cara serta tingkat kemampuan masing-masing.
  • Kemampuan untuk menggunakan berbagai jenis strategi belajar-mengajar serta penggunaan multi media. Kemampuan mi akan menimbulkan lingkuñgan belajar yang merangsang siswa untuk mencapai tujuan.

c. Dimensi Program
  • Tujuan instruksional, konsep serta materi pelajaran yang memenuhi kebutuhan, minat serta kemampuan siswa; merupakan suatu hal yang sangat penting diperhatikan guru.
  • Program yang memungkinkan terjadinya pengembangan konsep maupun aktivitas siswa dalam proses belajar-mengajar.
  • Program yang fleksibel (luwes); disesuaikan dengan situasi dan kondisi.
d. Dimensi situasi belajar-mengajar
  • Situasi belajar yang menjelmakan komunikasi yang baik, hangat, bersahabat, antara guru-siswa maupun antara siswa sendiri dalam proses belajar-mengajar.
Prinsip CBSA Pada Dimensi Situasi Belajar Mengajar ;
1. Komunikasi yang bersahabat antara guru dan siswa.
2. Kegairahan dan kegembiraan dalam belajar.
          Berikut ini akan diuraikan salah satu pendekatan yang berciri khas CBSA, yaitu pendekatan keterampilan proses, pengembangan keterampilan intelektual, sosial dan fisik yang bersumber pada kemampuan peserta didik.
Banyak keaktifan siswa yang sangat sulit untuk diamati, seperti kemampuan berpikir untuk memecahkan masalah baru adalah merupakan keaktifan siswa yang tidak dapat diamati sebagai suatu bentuk keaktifan. Mungkin siswa-yang bersangkutan hanya diam bahkan kelihatannya mengantuk padahal dia sedang me.ngarahkan segala kemampuan yang dimilikinya untuk memecahkan masalah. Guru baru dapat mengamatinya apabila siswa itu telah bertindak.
Dengan perkataan lain, keaktifan dalam rangka CBSA menunjuk kepada keaktifan mental, meskipun untuk mencapai maksud ini dipersyaratka keterlibatan langsung berbagai bentuk keaktifan fisik.
Prinsip-prinsip yang perlu ada pada dimensi program pembelajaran CBSA adalah sebagai berikut.
1. Penentuan tujuan dan isi pelajaran
          Prinsip ini menuntut agar dalam mengembangkan program pembelajaran hendaknya dilakukan penyesuaian antara tujuan dari isi pembelajaran dengan karakteristik siswa, sehingga dapat memenuhi kebutuhan, minat dan kemampuan siswa.
2. Pengembangan konsep dan aktivitas siswa.
 Prinsip ini mempersyaratkan agar program mampu menyajikan alternatif kegiatan yang mengarah pada pengembangan konsep aktifitas belajar siswa.
3.Pemilihan dan penggunaan berbagai metode clan media
Prinsip ini menuntut agar guru mampu memilih dan sekaligus mampu menggunakan berbagai strategi dan metode belajar-mengajar, sehingga dapat menciptakan kondisi belajar yang dapat membelajarkan siswa secara aktifdan penuh makna.
4.Penentuan metode dan media
Prinsip ini mempersyaratkan agar dalam program pembelajaran diberikan altematif metode dan media yang dapat dipilih secara luwes, maksudnya pengembangan program hendaknya mampu memilih metode atau media sebagai alternatif memilih kesetaraan.

Contoh penerapan Prinsip CBSA ;
Penerapan prinsip-prinsip cara belajar siswa aktif (CBSA) dalam meningkatkan keefektifan proses pembelajaran IPA di SD di kodya tegal
                  Pembelajaran IPA yang menggunakan pendekatan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) di SD mempunyai peranan strategis dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Bila CBSA dapat diterapkan dengan baik siswa akan mampu belajar secara efektif. Menurut Eggen & Kauchak (1998), siswa belajar secara efektif bila siswa secara aktif terlibat dalam pengorganisasian dan penemuan pertalian-pertalian (relationships) dalam informasi yang dihadapi. Aktivitas siswa ini menghasilkan kemampuan belajar dan peningkatan pengetahuan serta pengembangan keterampilan berpikir (thinking skills).
Kedua ahli tersebut menjelaskan bahwa ada enam ciri pembelajaran yang efektif, yaitu: (1) siswa menjadi pengkaji yang aktif terhadap lingkungannya melalui mengobservasi, membandingkan, menemukan kesamaan-kesamaan dan perbedaan-perbedaan serta membentuk konsep dan generalisasi berdasarkan kesamaan-kesamaan yang ditemukan, (2) guru menyediakan materi sebagai fokus berpikir dan berinteraksi dalam pelajaran, (3) aktivitas-aktivitas siswa sepenuhnya didasarkan pada pengkajian, (4) guru secara aktif terlibat dalam pemberian arahan dan tuntunan kepada siswa dalam menganalisis informasi, (5) orientasi pembelajaran penguasaan isi pelajaran dan pengembangan keterampilan berpikir, serta (6) guru menggunakan teknik mengajar yang bervariasi sesuai dengan tujuan dan gaya mengajar guru.
                      Strategi pembelajaran IPA didasarkan pada ciri-ciri pembelajaran yang efektif. Pembelajaran IPA menekankan keterlibatan siswa secara langsung dalam mengkaji alam sekitar untuk menganalisisnya, memahami konsep-konsep yang terkandung didalamnya dan merumuskan generalisasi berdasarkan konsep-konsep tersebut, merumuskan hukum berdasarkan generalisasi-generalisasi, serta memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari berdasarkan hukum IPA secara memadai. Konsekuensinya, dalam pembelajaran IPA guru sesuai dengan kemahirannya (ciri 6) harus menyediakan bahan pelajaran sebagai fokus untuk berpikir dan berinteraksi dalam pelajaran (ciri 2) serta memberikan arahan dan tuntunan kepada siswa dalam proses mencapai tujuan pembelajaran yang telah diterapkan. Sementara itu, siswa aktif mengkaji materi (ciri 3) dalam upaya memecahkan masalah (ciri 5).
                       Pembelajaran IPA yang efektif mampu membantu siswa mencapai kategori-kategori tujuan pembelajaran (Gagne, dalam Raka Joni, 1980), yang dapat dikelompokkan dalam instruction effects ‘hasil pengajaran’ dan nurturant effects ‘hasil pengiring’. Hasil pengajaran berupa penguasaan materi (substansi) IPA (pengetahuan, konsep, generalisasi, hukum) dan keterampilan ke-IPA-an (melakukan demonstrasi, eksperimen). Sedangkan hasil pengiring berupa pengembangan keterampilan intelektual dan strategi kognitif yang tinggi dalam menghadapi masalah serta pembentukan sikap positif terhadap lingkungan fisik.
                     Ada sejumlah prinsip CBSA untuk siswa dan untuk guru yang perlu diperhitungkan dalam setiap proses pembelajaran. Prinsip-prinsip CBSA untuk siswa meliputi: keberanian mewujudkan minat, keinginan, dan gagasan; keberanian untuk ikut serta mempersiapkan pelajaran; kemauan dan kreativitas dalam menyelesaikan kegiatan belajar; adanya rasa aman dan bebas untuk melakukan kegiatan belajar; dan adanya rasa ingin tahu. Sedang prinsip-prinsip CBSA untuk guru meliputi: pemberian kesempatan kepada siswa untuk melakukan berbagai kegiatan belajar, sementara itu guru berperan sebagai sumber belajar, motivator, dan fasilitator; pemberian dorongan untuk kreatif; pemberian layanan berdasakan perbedaan individual; penggunaan berbagai sumber belajar; pemberian umpan balik terhadap hasil belajar; dan penilaian hasil belajar dengan berbagai cara (Benny Karyadi, 1993).
                   Penerapan prinsip-prinsip CBSA secara benar dalam pembelajaran IPA mampu membantu siswa menguasai materi (content) IPA dan mengembangkan keterampilan berpikir (thinking skills) yang tinggi. Kemampuan itu terbentuk bila dalam proses pembelajaran guru aktif berperan sebagai seorang sumber dan fasilitator yang menuntun siswa yang tengah aktif berpikir (mengkaji lingkungan, menganalisis informasi, memecahkan masalah).
                  Kurikulum IPA-SD telah mengarahkan pembelajaran IPA pada strategi berpikir tingkat tinggi dan menerapkan strategi pembelajaran CBSA (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993). Namun, pada kenyataannya hasil pembelajaran IPA di SD masih belum memuaskan. Hasil EBTANAS Murni SD/MI se-Kodya Tegal tahun ajaran 1997/1998 menunjukkan bahwa nilai IPA tertinggi 7,30 dan terendah 4,25 dengan rata-rata 5,84.
                  Dari latar belakang teoritis dan kondisi yang ada, untuk memberikan masukan dalam upaya peningkatan keefektifan pembelajaran IPA, maka terdapat lima hal pokok yang akan dibahas, yaitu:
1.     Deskripsi proses pembelajaran IPA di sekolah.
2.     Kadar keaktifan siswa dalam menerapan prinsip-prinsip CBSA.
3.     Ciri-ciri keaktifan siswa dalam menerapkan prinsip-prinsip CBSA sesuai dengan nilai yang diperoleh.
4.     Kadar keaktifan guru dalam penerapan prinsip-prinsip CBSA.
5.     Ciri-ciri keaktifan guru dalam menerapkan prinsip-prinsip CBSA sesuai dengan nilai yang diperoleh.
               Penelitian dilakukan pada tanggal 21 April – 8 Mei 1999 di Kodya Tegal dengan melibatkan 51 guru kelas 4, 5, dan 6. Data dikumpulkan melalui observasi dengan menggunakan instrumen "Lembar Observasi". Data diolah dengan menggunakan analisis deskriptif (Hadi, S. 1970).


DESKRIPSI KBM
              Guru mengajar dengan menggunakan metode-metode yang dipandang sesuai dengan tujuan yang akan dicapai dan kemampuan profesionalnya. Dari 51 guru subyek penelitian, 54,90% (sebagian besar) menggunakan metode eskperimen, 31,37% (hampir setengahnya) metode demonstrasi, 11,76% (sebagian kecil) metode tanya jawab, dan 1,96% (hampir tidak ada) metode ceramah. Menurut Winarno Surachmad, metode eksperimen membantu siswa untuk mengerjakan sesuatu, mengamati prosesnya, dan mengamati hasilnya. Metode demonstrasi membantu siswa untuk memahami proses kerja suatu alat atau pembuatan sesuatu. Metode tanya jawab membantu siswa mengetahui fakta tertentu yang sudah diajarkan atau proses pemikiran yang telah diketahui siswa. Sedangkan metode ceramah membantu siswa untuk mengetahui fakta dan pendapat, sementara tidak terdapat bahan bacaan yang merangkumnya.
               Kegiatan belajar-mengajar bervariasi sesuai dengan karakteristik metode yang diterapkan dan gaya mengajar masing-masing guru. Penyampaian materi (apersepsi sampai dengan pembuatan rangkuman, sebelum evaluasi) berlangsung paling cepat 25 menit dan paling lama 80 menit, rata-rata 52,16 menit atau 65,20% dari waktu 80 menit yang disediakan. Kegiatan-kegiatan dalam proses pembelajaran mencakup: apersepsi (memberitahu judul materi, penjelasan dan/atau tanya-jawab), pemberian materi pokok, pemberian latihan, evaluasi, dan tindak lanjut. Apersepsi dilaksanakan oleh 98,04% (hampir seluruh) guru. Pemberian materi pokok sesuai dengan karakteristik masing-masing metode dilakukan oleh seluruh guru. 11,76% (sebagian kecil) memberikan latihan. Sebagian kecil guru membuat kesimpulan/rangkuman (17,65%) dan 54,90% melakukan evaluasi. Tidak ada guru yang melakukan tindak lanjut.
                  Gaya mengajar guru sangat individual. Bertolak dari pengertian gaya sebagai suatu cara atau teknik tertentu yang digunakan seseorang untuk mengerjakan, menciptakan, atau menampilkan sesuatu (A Merriam Webster, 1985), menunjukkan gaya mengajar di sini adalah prosedur yang dipilih guru untuk menyelesaikan tugas mengajarnya. Pemilihan prosedur ini pertama-tama dipengaruhi oleh motivasi kerja guru, terutama komponen kepercayaan diri akan kemampuannya melaksanakan tugas dan komponen reaksi emosional atas pelaksanaan tugas tersebut (Pintrich, 1990). Pemilihan prosedur mengajar yang dianggap paling cocok ini juga dipengaruhi oleh berbagai faktor yang terpadu, seperti tujuan pembelajaran, kemampuan siswa, kemahiran kerja guru dalam menerapkan metode mengajar, dan ketersediaan fasilitas dan waktu belajar. Sesuai dengan karakteristik masing-masing guru dan berbagai faktor lainnya yang mempengaruhi pemilihan prosedur mengajar tersebut, penampilan mengajar antara guru yang satu dengan yang lainnya berbeda, walaupun mereka menggunakan metode dan peralatan yang sama.
                       Kebervariasian kegiatan belajar-mengajar karena perbedaan gaya mengajar guru yang satu dengan lainnya tampak dalam pemilihan dan pelaksanaan serentetan kegiatan pembelajaran. Dalam menyampaikan materi dengan metode eksperimen, 46,43% mulai dengan percobaan kelas (klasikal) oleh guru, siswa, atau guru bersama-sama dengan siswa dan 53,57% mulai dengan percobaan kelompok. Setelah percobaan awal ini, secara bervariasi muncul kegiatan-kegiatan: percobaan lain, tanya-jawab, diskusi kelompok, menjawab lembar kerja (LK), laporan hasil diskusi kelompok, pembahasan LK, pemberian komentar, pengerjaan latihan, pemberian rangkuman/kesimpulan, dan evaluasi.
                   Dalam penyampaian materi dengan metode demonstrasi guru memulai pelajaran dengan mengadakan demonstrasi kelas, demonstrasi kelompok, atau demonstrasi individual. Setelah demonstrasi awal, berbagai kegiatan muncul, seperti: demonstrasi lainnya, pemberian penjelasan, diskusi kelompok, pembahasan LK, tanya-jawab, latihan, perumusan kesimpulan, dan evaluasi.
                   Sementara itu penerapan metode tanya-jawab ditandai dengan guru mengadakan tanya-jawab tentang serentetan materi yang telah disusun, dilanjutkan dengan diskusi kelompok, latihan,                       pemberian rangkuman, dan evaluasi. Akhirnya, penerapan metode ceramah ditandai dengan guru menjelaskan berbagai materi yang telah disusun sebelumnya dilanjutkan dengan evaluasi.
                    Dari berbagai kegiatan siswa dan kegiatan guru dalam proses pembelajaran di atas, keaktifan siswa dan keaktifan guru sesuai dengan prinsip-prinsip CBSA dapat diidentifikasi dan kadar masing-masing keaktifan dapat diperhitungkan. Kadar keaktifan siswa dan kadar keaktifan guru masing-masing ditetapkan berdasarkan jumlah skor pemunculan seluruh indikator variabel keaktifan siswa (untuk kadar keaktifan siswa) dan keaktifan guru (untuk kadar keaktifan guru) dengan menggunakan skala penilaian 1-10. Nilai dideskripsikan secara kualitatif seperti nilai rapor sekolah.

KADAR KEAKTIFAN SISWA
                    Secara umum, kadar keaktifan siswa dalam pembelajaran IPA cukup tinggi, dengan Ms = 6,373. Dengan SDM = 0,239 dan T.K. = 0,95 diestimasikan Mp = 5,905-6,841 (hampir cukup-cukup). Penyebaran nilai keaktifan siswa dari yang tertinggi ke yang terendah: 10,00 (4%), 9,29 (2%), 8,57 (8%), 7,86 (10%), 7,14 (22%), 6,43 (16%), 5,71 (6%), 5,00 (16%), 4,29 (10%), 3,57 (6%), dan 2,86 (2%).
                     Kadar keaktifan siswa pada kelas-kelas yang diobservasi tidak merata, ada yang istimewa (nilai 10) dan ada yang buruk (nilai 2,86); 38% di bawah cukup (nilai 5,71 ke bawah). Kadar keaktifan siswa yang di bawah cukup ini terjadi karena beberapa sebab, seperti kebiasaan siswa belajar, semangat belajar, dan ketersediaan fasilitas belajar. Ada siswa yang terbiasa belajar dengan menghafalkan materi, kurang terangsang untuk menganalisis, memprediksi, dan memecahkan masalah (Wardani, 2000). Hal ini terjadi karena guru cenderung mendominasi kelas dengan menjelaskan materi terus-menerus. Semangat siswa untuk bersekolah (terutama di pinggiran kota) belum tinggi dan guru belum berhasil mengubahnya. Jam masuk sekolah lebih siang dan pulangnya lebih cepat serta banyak siswa sering tidak masuk karena siswa membantu orang tua mencari nafkah (banyak orang tua bekerja sebagai petani kecil/buruh tani, buruh pabrik, dan nelayan). Rendahnya semangat bersekolah ini mempengaruhi daya kritis dan kreativitas siswa dalam belajar. Akhirnya, banyak SD (terutama di pinggiran kota) tidak memiliki alat peraga/media dan bahan-bahan untuk percobaaan IPA yang memadai. Pengadaan dana untuk penyediaan fasilitas cukup sulit. Ketersediaan alat peraga/media dan bahan-bahan untuk percobaan mutlak diperlukan untuk mengaktifkan siswa karena taraf berpikir siswa (terutama pada kelas rendah) masih pada taraf operasi konkrit.

DESKRIPSI KEAKTIFAN SISWA
                    Kadar keaktifan siswa dalam penerapan prinsip-prinsip CBSA dalam pembelajaran IPA sejalan dengan munculnya indikator-indikator seluruh variabel keaktifan siswa. Variabel-variabel yang dimaksud meliputi: keikutsertaan mempersiapkan pelajaran, kegembiraan dalam belajar, kemauan dan kreativitas dalam belajar, keberanian menyampaikan gagasan dan minat, sikap kritis dan ingin tahu, kesungguhan bekerja sesuai dengan prosedur, pengembangan penalaran induktif, dan pengembangan penalaran deduktif.

KADAR KEAKTIFAN GURU
                 Secara umum, kadar keaktifan guru dalam pembelajaran IPA hampir cukup, dengan Ms = 5,848. dengan SDM = 0,194 dan T.K. = 0,95 diestimasikan Mp = 5,468-6,228 (hampir cukup-cukup). Penyebaran nilai kadar keaktifan guru: 8,13 (2%), 7,50 (14%), 6,88 (24%), 6,25 (14%), 5,63 (12%), 5,00 (14%), 4,38 (8%), 3,75 (8%), 3,13 (14%), dan 2,50 (2%).
                 Bila dilihat secara keseluruhan, kadar keaktifan guru yang hanya hampir cukup tentu kurang menggembirakan. Bila dilihat dari masing-masing proses pembelajaran, 46% mendapatkan nilai hampir cukup ke bawah (5,63-2,50), jumlah yang tidak kecil. Hal ini terjadi karena profesionalisme dan komitmen kerja guru yang rendah. Dari guru yang diobservasi, masih 24% yang berpendidikan SPG/sederajat, sementara lainnya Diploma II (65%), sarjana muda (2%), dan sarjana (8%). Tidak sedikit kepala sekolah dan pengawas TK/SD yang mengeluh bahwa banyak lulusan Diploma II tidak berbeda dengan lulusan SPG dalam mengajar, setelah mereka berusaha mengajar sebaik-baiknya waktu diuji praktik mengajar dan mendengarkan pesan Kepala Kandepdiknas Kecamatan supaya penampilan mengajar yang baik diteruskan di SD dalam tugas sehari-hari. Tidak sedikit guru yang tidak membuat rencana pembelajaran yang baik untuk pedoman mengajarnya. Dalam mengajar guru kurang mengembangkan kemampuan siswa untuk memecahkan masalah, guru cenderung memberikan materi untuk dihafalkan, dan ada pula guru yang tidak menguasai materi yang diajarkan.
Komitmen kerja guru yang rendah dapat dilihat dari rendahnya kedisiplinan kerja guru, banyak guru yang mengajar dengan santai. Mereka berorientasi pada kepentingan diri sendiri, yaitu mengajar demi gaji bukan untuk kepentingan siswa.

DESKRIPSI KEAKTIFAN GURU
                 Kadar keaktifan guru dalam penerapan prinsip-prinsip CBSA dalam pembelajaran IPA sejalan dengan munculnya indikator-indikator variabel keaktifan guru. Variabel-variabel keaktifan guru yang dimaksud meliputi: pemberian kesempatan untuk melakukan berbagai kegiatan, dorongan untuk aktif, dorongan untuk berinteraksi dalam kelompok, dorongan untuk kreatif, pelayanan berdasarkan perbedaan individual, penggunaan berbagai sumber belajar, pemberian umpan balik terhadap hasil belajar, dan penilaian hasil belajar dengan berbagai cara.




H. Penerapan CBSA
Dari uraian tentang  pengertian, rasionalisasi, kadar, dan rambu-rambu CBSA, kita dapat menandai adanya prasyarat yang harus dimiliki oleh guru untuk meningkatkan kadar CBSA dari suatu proses pembelajaran. Peningkatan kadar CBSA dari suatu proses pembelajaran berarti pula mengarahkan proses pembelajaran yang berorientasi pada siswa atau dengan kata lain menciptakan pembelajaran berdasarkan siswa (student based Intruction).
Konsekuensi yang harus diterima dari adanya pembelajaran berdasarkan siswa , ialah:
1.     Guru merupakan seorang pengelola (manager) dan perancang (designer) dari pengalaman belajar.
2.     Guru dan Siswa menerima peran kerja sama (partnership).
3.     Bahan-bahan pembelajaran dipilih berdasarkan kelayakannya.
4.     Penting untuk melakukan identifikasi dan penuntasan syarat-syarat belajar (learning requirement).
5.     Siswa dilibatkan dalam pembelajaran.
6.     Tujuan ditulis secara jelas.
7.     Semua tujuan diukur/dites.
Konsekuensi diatas dapat meningkatkan kadar CBSA lebih jauh menuntut agar Guru:
1.     Memiliki khasanah pengetahuan yang luas tentang teknik/cara system penyampaian.
2.     Memiliki kriteria tertentu untuk memilih system penyampaian yang tepat untuk memberikan pengalaman belajar kepada siswa yang terlibat dalam proses pembelajaran.
          Nilai Interistik gerakan untuk meningkatkan kadar CBSA dalam proses pembelajaran juga muncul sebagai reaksi terhadap kecenderungan umum penerapan pembelajaran berdasarkan Guru (teacher-Based Intruction). Menunjukkan Guru sebagai Leveransir (purveyor) informasi, sehingga pembelajaran hanya sebagai proses perekaman oleh siswa.
       Pembelajaran yang paling adalah strategi yang bersifat ekspositorik. Sistem ini sangat diminati karena banyak memberikan otoritas kepada Guru, ada kalanya dengan variasi yang kurang bermutu.
      Ditinjau dari karakteristik tiap-tiap system penyampaian menunjukan kadar potensial keterlibatan mental guru-siswa yang berbeda-beda.
Faktor-faktor penentu tersebut adalah:
1)    Karakteristik tujuan, yang mencakup pengetahuan, keterampilan, dan nilai yang ingin dicapai atau ditingkatkan sebagai hasil kegiatan.
2)    Karakteristik mata pelajaran/bidang studi, yang meliputi tujuan, isi pelajaran, urutan, dan cara mempelajarinya.
3)    Karakteristik siswa, mencakup karakteristik perilaku masukkan kognip dan afektif, usia, jenis kelamin, dan lain.
4)    Karakteristik lingkunngan/setting pembelajaran, mencakup kuantitas prasarana, alokasi jam pertemuan, dan yang lainya.
5)    Karakteristik Guru, meliputi filosofinya tentang pendidikan dan pembelajaran, kompetensinya dalam teknik pembelajaran , kompetensinya dalam teknik pembelajaran, kebiasaannya, pengalaman kependidikannya, dan yang lain.
(Gale, 1975:204)
               Adanya konsekuensi dari penerapan pembelajaran berdasarkan siswa yang akan dapat meningkatkan kadar CBSA suatu proses pembelajaran, lebih jauh menuntut agar guru:
a.     Memiliki khasanah pengetahuan yang luas tentang teknik/cara penyampaian atau system penyampaian,
b.     memiliki criteria tertentu untuk memilih system penyampaian yang tepat untuk memberikan pengalaman belajar kepada siswa yang terlibat dalam proses pembelajaran.
Selain
itu, nilai intrinsik gerakan untuk meningkatkan kadar CBSA dalam proses pembelajaran juga muncul sebagai reaksi terhadap kecenderungan umum penerapan pembelajaran berdasarkan guru (Teacher Based Instruction). Pembelajaran berdasarkan guru menunjukkan peran guru sebagai leveransir (purveyor) informasi, sehingga pembelajaran hanya sekedar proses perekaman informasi oleh siswa. Dalam situasi pembelajaran berdasarkan guru, strategi pembelajaran yang dominan adalah strategi yang bersifat ekspositorik.

Adanya pembelajaran berdasarkan guru ini mengakibatkan kecenderungan umum, untuk menyadarkan diri kepada ceramah sebagai sistem penyampaian yang memberikan kesempatan paling besar kepada guru untuk melaksanakan tugasnya sebagai leveransir informasi sekaligus menunjukkan otoritasnya sebagai “sang mahatahu”.
Ditinjau dari karakteristik tiap-tiap sistem penyampaian menunjukkan kadar potensial keterlibatan mental guru-siswa yang berbeda-beda.
              Adapun contoh-contoh tersebut adalah:
1. Tabel
perkalian, termasuk belajar reseptif yang menyajikan infoirmasi untuk dihafalkan oleh siswa tanpa tuntutan bagi siswa untuk memahaminya.
            Contoh: Tabel Perkalian 1 Sampai dengan 5
2. Penerapan
formula(rumus) untuk pemecahan masalah, termasuk belajar dengan penemuan terbimbing yang menuntut siswa menghafal bagaimana menerapkan suatu formula untuk memecahkan masalah.
           Contoh: Untuk menemukan panjang sisi miring segitiga siku-siku, siswa menghafal penerapan rumus phythagoras.
3. Pemecahan “teka-teki” dengan
coba-salah, termasuk belajar dengan penemuan mandiri yang kurang bermakna karena siswa menghafal tanpa pemahaman.
           Contoh: Siswa diminta menebak nama-nama binatang yang ditunjukkan oleh guru.
4. Kerja laboratories sekolah, termasuk
belajar dengan penemuan terbimbing, yang lebih bermakna dari pada tiga modus pembelajaran sebelumnya.
          Contoh: Siswa berdasarkan lembar kerja yang dibuat oleh guru melakukan percobaan pengaruh panas terhadap tumbuhan.
5. Ceramah
atau penyajian buku teks pada umumnya merupakan modus belajar reseptif yang lebih bermakna bagi siswa dibandingkan dengan empat modus sebelumnya.
           Contoh: guru ceramah dengan berbagai topik.
6. “Penelitian” atau
hasil intelektual rutin pada umumnya merupakan modus belajar dengan penemuan mandiri  yang kebermaknaannya sama dengan ceramah.
          Contoh: siswa meneliti tentang  keajegan (konsistensi) waktu terbit matahari.
7. Klasifikasi
keterhubungan antar konsep yakni modus belajar reseptif yang penuh kebermaknaan dan paling bermakna dibandingkan dengan dua modus belajar reseptif  yang lain.
          Contoh: guru menjelaskan keterhubungan antara konsep pahlawan dengan konsep membela tanah air.
8. Pembelajran audio-tutorial yang dirancang
dengan baik merupakan modus belajar dengan penemuan terbimbing  yang paling bermakna dari pada dua modus belajar dengan penemuan mandiri yang lain.
              Contoh: siswa belajar menemukan konsep-konsep yang disajikan melalui video-tape.
9. Penelitian
ilmiah, merupakan modus belajar dengan penemuan mandiri  yang paling bermakna dibandingkan dengan dua modus belajar dengan penemuan mandiri yang lain.
             Contoh:  Siswa merancang konstruksi kincir angin sederhana sehingga mereka dapat menemukan konstruksi yang paling kokoh.



I.Pendekatan Keterapilan Proses sebagai Bagian dari CBSA
 1. Pengertian Pendekatan Keterampilan Proses
Pendekatan Keterampilan proses adalah wahana pengembangan keterampilan-keterampilan intelektual, sosial, dan fisik yang bersumber dari kemampuan-kemampuan mendasar yang pada prinsipnya telah ada dalam diri siswa.
Dimiyati dan Mudjiono (1999) menyimpulkan bahwa :
       a. Pendekatan keterampilan proses memberikan kepada siswa pengertian yang tepat tentang hakikat ilmu pengetahuan. Siswa dapat mengalami rangsangan ilmu pengetahuan dan dapat lebih baik mengerti fakta dan konsep ilmu pengetahuan.
       b. Proses pengajaran yang berlangsung memberi kesempatan kepada peserta didik untuk bekerja dengan ilmu pengetahuan tidak sekedar mendengar cerita atau penjelasan guru mengenai sesuatu ilmu pemgetahuan. Justru di sisi lain siswa merasa berbahagia dengan peran aktifnya di dalam proses pengajaran.
       c. Pendekatan keterampilan proses mengantarkan siswa untuk belajar ilmu pengetahuan, baik sebagai proses ataupun sebagai produk ilmu pengetahuan sekaligus.

Secara singkat dapat dikatakan bahwa pendekatan keterampilan proses menekankan pada upaya membelajarkan siswa bagaimana belajar. Oleh karena itu, hubungan antara CBSA dan PKP sangat erat dan berinterksi secara timbal balik. Pendekatan keterampilan proses dapat dikatakan merupakan perwujudan dari upaya pembelajaran melalui CBSA.

2. Jenis Keterampilan dalam PKP
         a. Keterampilan-keterampilan Dasar (Basic Skills)
Keterampilan-keterampilan Dasar terdiri dari :
• Mengamati
• Mengklasifikasikan
• Mengkomunikasikan
• Mengukur
• Memprediksi
• Menyimpulkan
          b. Keterampilan-keterampilan Terintegrasi (Integrated Skills)
Keterampilan-keterampilan Terintegrasi terdiri dari :
• Mengenali variabel
• Membuat tabel data
• Membuat grafik
• Menggambarkan hubungan antar variabel
• Mengumpulkan dan mengolah data
• Menganalisis penelitian
• Menyusun hipotesis
• Mendefinisikan variabel
• Bereksperimen
3.Rasionalisasi Pendekatan Keterampilan Proses dalam Pengajaran
         Kegiatan pembelajaran dimaksud agar tercipta kondi yang memungkinkan terjadi belajar pada diri siswa. Dalam suatu kegiatan pembelajaran dapat dikatakan terjadinya belajar, apabila terjadi proses perubahan perilaku pada diri siswa sebagai hasil dari suatu pengalaman.
        Kegiatan pengajaran seringkali didasarkan pada dua premis yangterkadang tidak diungkapkan secara jelas.
        Premis pertama mengungkapkan bahwa siswa belajar sesuatu bukan karna hal yang di pelajari menarik atau menyenangkan bagi nya, tetapi siswa belajar hanya ingin menghindarkan diri ketidak senangan bila tidak belajar. Berdasarkan premis ini, timbul tindakan yang mengondisikan adanya ancaman tidak naik kelas, nilai rendah, hukuman dan yang lain, agar siswa belajar.
        Premis kedua mengungkapkan bahwa guru merupakan “Motor Penggerak” yang membuat siswa terus-menerus belajar, dari pihak siswa tiada kegiatan spontan.
Tugas utama guru adalah menciptakan suasana kelas sedemikian rupa agar terjadi interaksi belajar-mengajar yang dapat memotivasi siswa untuk belajar dengan baik dan sungguh-sungguh. CBSA akan berjalan sebagaimana diharapkan apabila dalam prakteknya CBSA mampu mengembangkan keterampilan memproses perolehan.  Jadi apabila keterampilan proses dikaitkan dengan CBSA, maka akan tampak keduanya mempunyai ciri sebagai berikut;
• menekankan pentingnya keberartian belajar untuk mencapai hasil belajar yang memadai;
• menekankan pentingnya keterlibatan siswa dalam proses belajar.
• tenekankan bahwa belajar adalah proses dua arah yang menekankan hasil belajar secara tuntas.

Mengapa keterampilan proses diperlukan?
Dalam proses belajar-mengajar, pengembangan konsep harus dipadukan dengan pengem¬bangan nilai dalam diri anak didik. Tujuannya adalah menghasilkan manusia yang ahli sekaligus manusiawi. Artinya, lulusan yang diharapkan mempunyai pengetahuan yang luas, manusiawi dan keduanya menyatu dalam pribadi yang serasi, selaras dan seimbang.
 Adanya dua premis seperti diungkapkan tersebut, mengakibatkan kegiatan pembelajaran cendrung menjadi kegiatan “penjajahan” atau “penjinakan” dari pada sebagai kegiatan “pemanusian”. Terjadinya “penjajahan” atau “penjinakan” , karna siswa benar-benar dijadikan objek kegiatan pembelajaran.
          Apabila dikaji lebih lanjut, kita akan tiba pada kesimpulan bahwa penerapan PKP dalam kegiatan pembelajaran didasarkan pada hal-hal berikut ;
a.     Percepatan perubahan ilmu pengetahuan dan teknologi
b.     Pengalaman intelektual, emosional, dan fisik di butuhkan agar didapatkan hasil belajar yang optimal.
c.      Penanaman sikap dan nilai sebagai pengabdi pencarian abadi kebenaran ilmu.

4.Pengertian Pendekatan Keterampilan Proses dan Keterkaitannya dengan CBSA
        Pendekatan keterampilan proses dapat diartikan sebagai wawasan atau anutan pengembangan keterampilan-keterampilan intelektual, social, dan fisik yang bersumber dari kemampuan-mendasar yang pada prinsip nya telah dad dalam diri siswa(Depdikbud, 1986 b:7).
        Uraian tentang pendekatan Keterampilan Proses ini adalah :
a.     PKP sebagai wahana penemuan dan pengembangan fakta, konsep, dan prinsip ilmu pengetahuan bagi diri siswa.
b.     Fakta, konsep, dan prionsip ilmu pengetahuan yang ditemukan dan dikembangkan siswa berperan dalam menunjang pengembangan keterampilan dalam diri siswa.
c.      Interaksi antara pengembangan keterampilan proses dengan fakta, konsep, serta prinsip ilmu pengetahuan, pada akhirnya mengembangkan sikap dan nilai ilmuan pada diri siswa.

5.Jenis-jenis Keterampilan dalam keterampialan Proses.
Sejumlah keterampilan proses yang dikemukakan oleh Funk, dalam kurikulum (pedoman dan proses belajar mengajar) dikelompokan menjadi tujuh keterampilan proses. Adapun tujuh keterampilan proses resebut adalah mengamati, menggolongkan, menafsirkan, meramalkan, menerapkan, merencanakan penelitian, dan mengkomunikasikan (Depdikbud, 1986 b:9-10)
Funk (1985) lebih lanjut mengemukakan, meskipun keterampilan-keterampilan tersebut saling bergantung, masing-masing menitik beratkan pada pengembangan suatu area keterampilan khusus.
Keterampilan proses terintegrasi yang lebih konflek yang pada hakekatnya merupakan keterampilan-keterampilan yang diperlukan untuk melakukan penelitian. Adapun sepuluh keterampilan terintegrasi tersebut ialah; Mengenali variabel, membuat tabel data, membuat grafik, menggambarkan hubungan antar-variabel, mengumpulkan dan mengolah data, menganalisis penelitian, menyusun hipotesis, mendefinisikan variabel, merancang penelitian, bereksperimen.

6.Penerapan Keterampilan Prose dalam pembelajaran
          Untuk dapat menerapkan PKP dalam pembelajaran, kita perlu memperhatikan dan mempertimbangkan karakteristik siswa dan karakteristik mata pelajaran atau bidang studi. Kita perlu menyadari bahwa dalam kegiatan pembelajaran  dapat terjadi pengembangan lebih dari satu macam keterampilan proses.
          Keterampilan dasar yakni mengobservasi, mengklasifikasi, memprediksi, mengukur, menyimpulkan, dan mengkomunukasikan pengembangannya tidak berhenti pada jenjang Sekolah Dasar. Penerapan keterampilan dasar PKP pada semua jenjang pendidikan di perlukan untuk mendukung penerapan keterampilan terintegrasi PKP. Dalam penerapan keterampilan dasar PKP tidak diperlukan lagi uraian teori nya bagi siswa SLTP dan Sekolah Menengah, yang mampu melakukankan nya.
          Penerapan keterampilan terintegrasi PKP dalam pembelajaran jenjang Pendidikan SLTP dan sekolah menengah atas (SMA) memerlukan pembahasan teori dari tiap keterampilan yang ada didalamnya. Mengingat keterampilan terintegrasi dalam PKP merupakan keterampilan melaksanakan suatu kegiatan penelitian, maka penerapannya dalam pembelajaran hendaknya dilakukan dengan urutan Hierarkis. Dengan kata lain, sebelum satu keterampilan dikuasai siswa jangan berpindah kepada keterampilan yang lainnya.








BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Untuk dapat mengelola dan merancang program pembelajaran dan proses pembelajaran, seorang guru hendaknya mengenal faktor – faktor penentu kegiatan pembelajaran. Faktor – faktor penentu tersebut adalah :
1. Karakteristik tujuan, yang mencangkup pengetahuan, keterampilan, dan nilai yang ingin dicapai atau ditingkatkan sebagai hasil kegiatan.
2. Karakteristik mata pelajaran/ bidang studi, yang meliputi tujuan, isi pelajaran, urutan, dan cara mempelajarinya.
3. Karakteristik siswa, mencangkup karakteristik perilaku masukan kognitif dan afektif, usia, jenis kelamin, dan yang lain.9u, mencangkup kuantitas dan kualitas prasarana, alokasi jam pertemuan, dan yang lainnya
5. Karakteristik guru, meliputi filosofinya tentang pendidikan dan pembelajaran, kompetisinya dalam teknik pembelajaran, kebiasaannya, pengalaman kependidikannya, dan yang lain.
  • Mendidik subjek didik untuk membangun dirinya sendiri dan bertanggung jawab atas pembangunan bangsa dalam dunia dan masyarakat dan terus-menerus berubah mampu menuntut dia mampu berfikir sendiri. Hal ini perlu memahami dan memperlakukan tuntutan peningkatan teknologi sains dan teknologi pada suatu generasi yang sebagian tumbuh di pedesaan ,akan mempunyai dampak pada kehidupan lama yang sebelumnya belum dialaminya. Pertumbuhan dan pendidikan sikap yang sesuai diperlukan supaya tekaman – tekaman hidup sebagai konsekuensi dari perkembangan sains dan teknologi tidak menjerumuskan kita dalam suatu pertumbuhan masyarakat ekonomi yang serba materialis,konsutif dan individualisti yang meruan dampak peningkatan ekonomi .apa yang dihasilkan oleh sekolah merupakn persiapan dalam menghadapi tuntutan jaman dn masa depan yang diakaitakan.untuk itu ,tidak saja ia harus mengwujudkan potensinya secara alamiah dalam menghadapi masa depan tetapi ia harus mampu membangun dan menguasai masa depan itu.disini terlekak factor pengembangan sikap untu sepenuhynya bertanggung jawab terhadap tugasnya(matra afektif)yamg mewujudkan tekad kecendurungan (tendency) dan kejadian (event) dari masa depan itu.keterampilan fisik dan mental(matra psikomotorik)dan perolehan pengetahuan(kognitif)untuk berpikir mandiri diperoleh denga pendekatan keterampilan prose situ merupakan penyatu kaitan yang mendalam(interpenetrasi)dari empat matra,yang membuka suasana kondusif yang ditandai oleh kepekaan intuitif (matra interaktif) terhadap berbagi masalah, sekaligus menampilkan kreatifitasnya
Dari pembahasan makalah ini kami dapat menarik kesimpulan bahwa dalam pembelajaran ditemukan adanya dua pelaku, guru berinteraksi dengan siswa, yang keduanya mencapai tujuan pembelajaran atau sasaran belajar yang serupa. Kadar CBSA dalam interaksi tersebut berbeda-beda. Pembelajaran ber-CBSA baik berciri (i) pembelajaran berpusat pada siswa, (ii) guru bertindak sebagai pembimbing pengalaman belajar, (iii) orientasi tujuan pada perkembangan kemampuan siswa secara utuh dan seimbang, (iv) pengelolaan pembelajaran menekankan pada kreativitas siswa, dan (v) optimalisasi kadar CBSA tersebut dapat diprogramkan dalam desain instruksional (persiapan mengajar) guru. Pembelajaran ber-CBSA merupakan wujud kegiatan atau unjuk kerja guru. Hampir dapat dikatakan bahwa guru profesional diduga berkemampuan mengelola pembelajaran berkadar CBSA tinggi.
B. Saran
Setelah membaca makalah ini kami mengharapkan agar dalam hal ini materi pembelajar harus benar-benar dibuat sesuai dengan kemampuan berpikir mandiri, pembentukan kemauan si pembelajar. Situasi pembelajar mampu menumbuhkan kemampuan dalam memecahkan masalah secara abstrak, dan juga mencari pemecahan secara praktik. Disamping itu juga, guru diharapkan dapat merangsang siswa untuk mampu menampilkan potensinya, betapapun sederhananya serta guru dapat menumbuhkan keterampilan-keterampilan pada siswa sesuai dengan taraf perkembangannya, sehingga mereka memperoleh konsep. Dengan mengembangkan keterampilan keterampilan memproses perolehan, siswa akan mampu menemukan dan mengembangkan sendiri fakta dan kosep serta mengembangkan sikap dan nilai yang dituntut.
DAFTAR PUSTAKA

Cony Semiawan, dkk.. 1986. Pendekatan keterampilan proses:    Bagaimana Siswa dalam belajar?. Jakarta  : PT Gramedia.
Davies, Ivor K., penerjemah: Sudarsono Sudirjo dkk. 1987. Pengelolaan Belajar. Jakarta: PAU-UT dan CV Rajawali.
Depdikbud. 1986a. Kurikulum: Landasan, Program dan Pengembangan. Jakarta : Depdikbud.
Depdikbud.1986b. Kurikulum : Pedoman Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Depdikbud.
Funk, James H. dkk.. 1985. Learning Science Process Skills, Lowa : Kendal/Hunt Publishing Company.
Gage, N.L. dan David C. Berliner. 1984. Educational Psychology. Chicago : Rand McNally College Publishing Company.
Joni, T. Raka. 1992. Peningkatan Mutu Pendidikan Dasar dan Menengah Melalui Strategi Pembelajaran Aktif (cara belajar Siswa Aktif) dan Pembinaan Profesional Guru, Kepala Sekolah, Penilik dan Pengawas Sekolah serta Pembina lainya. Jakarta : Depdikbud.
Singaribun, Masri dan Sofian Effendi. 1986. Metode Penelitian Survai. Jakarta : LP3ES.
Surakhmad, Winarno. 1978. Dasar dan Teknik Reseach : Pengantar Metodologi Ilmiah. Bandung :       Tarsito.
Dimyati, Mudjiono. 1994. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : Depdikbud
Dimyati dan Mudjiono. 2009. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Sudjana, Hana. 1996. Cara Belajar Siswa Aktif Dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algesindo
http://hakekat CBSA dan pelaksaannya.blogspot.com
Tim Dosen. 2009. Perancanaan Pembelajaran Biologi. Medan : FMIPA UNIMED