Kamis, 15 November 2012


Seperti biasa Rudi, Kepala Cabang di sebuah perusahaan swasta terkemuka di Jakarta, tiba di rumahnya pada pukul 9 malam. Tidak seperti biasanya, Imron, putra pertamanya yang baru duduk di kelas dua SD yang membukakan pintu. Ia nampaknya sudah menunggu cukup lama.
“Kok, belum tidur?” sapa Rudi sambil mencium anaknya. Biasanya, Imron memang sudah lelap ketika ia pulang dan baru terjaga ketika ia akan berangkat ke kantor pagi hari. Sambil membuntuti sang ayah menuju ruang keluarga, Imron menjawab, “Aku nunggu Ayah pulang. Sebab aku mau tanya berapa sih gaji Ayah?”

“Lho, tumben, kok nanya gaji Ayah? Mau minta uang lagi, ya?”
“Ah, enggak. Pengen tahu aja.”
“Oke. Kamu boleh hitung sendiri. Setiap hari Ayah bekerja sekitar 10 jam dan dibayar Rp 400.000,-. Dan setiap bulan rata-rata dihitung 25 hari kerja. Jadi, gaji Ayah dalam satu bulan berapa, hayo?”
Imron berlari mengambil kertas dan pensilnya dari meja belajar, sementara ayahnya melepas sepatu dan menyalakan televisi. Ketika Rudi beranjak menuju kamar untuk berganti pakaian, Imron berlari mengikutinya.
“Kalau satu hari ayah dibayar Rp 400.000,- untuk 10 jam, berarti satu jam ayah digaji Rp 40.000,- dong,” katanya.
“Wah, pinter kamu. Sudah, sekarang cuci kaki, bobok,” perintah Rudi. Tetapi Imron tak beranjak. Sambil menyaksikan ayahnya berganti pakaian, Imron kembali bertanya, “Ayah, aku boleh pinjam uang Rp 5.000,- nggak?” “Sudah, nggak usah macam-macam lagi. Buat apa minta uang malam-malam begini?
Ayah capek. Dan mau mandi dulu. Tidurlah.”
“Tapi, Ayah…” Kesabaran Rudi habis.
“Ayah bilang tidur!” hardiknya mengejutkan Imron. Anak kecil itu pun berbalik menuju kamarnya. Usai mandi, Rudi nampak menyesali hardikannya. Ia pun menengok Imron di kamar tidurnya. Anak kesayangannya itu belum tidur. Imron didapatinya sedang terisak-isak pelan sambil memegang uang Rp 15.000,- di tangannya.
Sambil berbaring dan mengelus kepala bocah kecil itu, Rudi berkata, “Maafkan Ayah, Nak. Ayah sayang sama Imron. Buat apa sih minta uang malam-malam begini? Kalau mau beli mainan, besok’ kan bisa. Jangankan Rp 5.000,- lebih dari itu pun ayah kasih.”
“Ayah, aku nggak minta uang. Aku pinjam. Nanti aku kembalikan kalau sudah menabung lagi dari uang jajan selama minggu ini.”
“Iya,iya, tapi buat apa?” tanya Rudi lembut.
“Aku menunggu Ayah dari jam 8. Aku mau ajak Ayah main ular tangga. Tiga puluh menit saja. Ibu sering bilang kalau waktu Ayah itu sangat berharga. Jadi, aku mau beli waktu ayah. Aku buka tabunganku, ada Rp 15.000,-. Tapi karena Ayah bilang satu jam Ayah dibayar Rp 40.000,-, maka setengah jam harus Rp 20.000,-. Duit tabunganku kurang Rp 5.000,-. Makanya aku mau pinjam dari Ayah,” kata Imron polos.
Rudi terdiam. Ia kehilangan kata-kata. Dipeluknya bocah kecil itu erat-erat.

Kamis, 01 November 2012

Ayah Aku Bangga pada mu


Ayah Aku Bangga pada mu

Ayah ingin anak-anaknya punya lebih banyak kesempatan daripada dirinya, menghadapi lebih sedikit kesulitan, lebih tidak tergantung pada siapapun - dan (tapi) selalu membutuhkan kehadirannya.

Ayah membiarkan kamu menang dalam permainan ketika kamu masih kecil, tapi dia tidak ingin kamu membiarkannya menang ketika kamu sudah besar. Ayah tidak ada di album foto keluarga, karena dia yang selalu memotret. Ayah selalu tepat janji! Dia akan memegang janjinya untuk membantu seorang teman, meskipun ajakanmu untuk pergi sebenarnya lebih menyenangkan.

Ayah selalu sedikit sedih ketika melihat anak-anaknya pergi bermain dengan teman-teman mereka.karena dia sadar itu adalah akhir masa kecil mereka.

Ayah mulai merencanakan hidupmu ketika tahu bahwa ibumu hamil (mengandungmu) , tapi begitu kamu lahir, ia mulai membuat revisi. Ayah membantu membuat impianmu jadi kenyataan bahkan diapun bisa meyakinkanmu untuk melakukan hal-hal yang mustahil, seperti mengapung di atas air setelah ia melepaskanya.

Ayah mungkin tidak tahu jawaban segala sesuatu, tapi ia membantu kamu mencarinya. Ayah mungkin tampak galak di matamu, tetapi di mata teman-temanmu dia tampak baik dan menyayangi.

Ayah lambat mendapat teman, tapi dia bersahabat seumur hidup Ayah benar-benar senang membantu seseorang... tapi ia sukar meminta bantuan.

Ayah di dapur. Membuat memasak seperti penjelajahan ilmiah. Dia punya rumus-rumus dan formula racikannya sendiri, dan hanya dia sendiri yang mengerti bagaimana menyelesaikan persamaan-persamaan rumit itu. Dan hasilnya?... .mmmmhhh..." tidak terlalu mengecewakan" ^_~

Ayah mungkin tidak pernah menyentuh sapu ketika masih muda, tapi ia bisa belajar dengan cepat.

Ayah paling tahu bagaimana mendorong ayunan cukup tinggi untuk membuatmu senang tapi tidak takut.

Ayah akan memberimu tempat duduk terbaik dengan mengangkatmu dibahunya, ketika pawai lewat. Ayah tidak akan memanjakanmu ketika kamu sakit, tapi ia tidak akan tidur semalaman. Siapa tahu kamu membutuhkannya. Ayah menganggap orang itu harus berdiri sendiri, jadi dia tidak mau memberitahumu apa yang harus kamu lakukan, tapi ia akan menyatakan rasa
tidak setujunya. Ayah percaya orang harus tepat waktu. karena itu dia selalu lebih awal menunggumu.

AYAH ITU MURAH HATI.....
Ia akan melupakan apa yang ia inginkan, agar bisa memberikan apa yang kamu butuhkan.... .
Ia menghentikan apa saja yang sedang dikerjakannya, kalau kamu ingin bicara...

Ia selalu berfikir dan bekerja keras untuk membayar spp mu tiap semester, meskipun kamu tidak pernah membantunya menghitung berapa banyak kerutan di dahinya.... 
Ayah mengangkat beban berat dari bahumu dengan merengkuhkan tangannya disekeliling beban itu....

Ayah akan berkata ,, tanyakan saja pada ibumu" Ketika ia ingin berkata ,,tidak"
Ayah tidak pernah marah, tetapi mukanya akan sangat merah padam ketika anak gadisnya menginap di rumah teman tanpa izin Dan diapun hampir tidak pernah marah, kecuali ketika anak lelakinya kepregok menghisap rokok dikamar mandi. 
Ayah mengatakan ,, tidak apa-apa mengambil sedikit resiko asal kamu sanggup kehilangan apa yang kamu harapkan"

Pujian terbaik bagi seorang ayah adalah ketika dia melihatmu melakukan sesuatu hal yang baik persis seperti caranya....
Ayah lebih bangga pada prestasimu, daripada prestasinya sendiri....
Ayah hanya akan menyalamimu ketika pertama kali kamu pergi merantau meningalkan rumah, karena kalau dia sampai memeluk mungkin ia tidak akan pernah bisa melepaskannya.

Ayah tidak suka meneteskan air mata ....
ketika kamu lahir dan dia mendengar kamu menangis untuk pertama kalinya, dia sangat senang sampai-sampai keluar air dari matanya (ssst..tapi sekali lagi ini bukan menangis)

ketika kamu masih kecil, ia bisa memelukmu untuk mengusir rasa takutmu...ketika kau mimpi akan dibunuh monster... tapi.....ternyata dia bisa menangis dan tidak bisa tidur sepanjang malam, ketika anak gadis kesayangannya di rantau tak memberi kabar selama hampir satu bulan.

Ayah pernah berkata :" kalau kau ingin mendapatkan pedang yang tajam dan berkwalitas tinggi, janganlah mencarinya dipasar apalagi tukang loak, tapi datang dan pesanlah langsung dari pandai besinya. begitupun dengan cinta dan teman dalam hidupmu,jika kau ingin mendaptkan cinta sejatimu kelak, maka minta dan pesanlah pada Yang Menciptakannya"

Untuk masa depan anak lelakinya Ayah berpesan: ,,jadilah lebih kuat dan tegar daripadaku, pilihlah ibu untuk anak-anakmu kelak wanita yang lebih baik dari ibumu , berikan yang lebih baik untuk menantu dan cucu-cucuku, daripada apa yang yang telah ku beri padamu"

Dan Untuk masa depan anak gadisnya ayah berpesan :" jangan cengeng meski kau seorang wanita, jadilah selalu bidadari kecilku dan bidadari terbaik untuk ayah anak-anakmu kelak! laki-laki yang lebih bisa melindungimu melebihi perlindungan Ayah, tapi jangan pernah kau
gantikan posisi Ayah di hatimu"

Ayah bersikeras,bahwa anak-anakmu kelak harus bersikap lebih baik daripada kamu dulu....
Ayah bisa membuatmu percaya diri... karena ia percaya padamu...
Ayah tidak mencoba menjadi yang terbaik, tapi dia hanya mencoba melakukan yang terbaik....
Dan terpenting adalah...
Ayah tidak pernah menghalangimu untuk mencintai Tuhan, bahkan dia akan membentangkan seribu jalan agar kau dapat menggapai cintaNya, karena diapun mencintaimu karena cintaNya.

Hidup Itu Indah


Hidup Itu Indah

Dalam menghadapi kehidupan ini, kita sering merasa hidup begitu menekan dan sulit. Berbagai pekerjaan Membuat kita melewatin hari demi hari dalam stres yang tak berkeputusan. Berbagai masalah membuat kita tak mampu lagi melihat hal-hal yang indah dan menarik dalam hidup. Bahkan kadangkala ada juga orang yang begitu putus asa sehingga mencoba mengakhiri hidupya sendiri. Kalaupun tidak seekstrim itu, banyak orang menjadi robot. Melewati hari demi hari dalam rutinitas. Tanpa gairah, tanpa semangat, tanpa harapan.
Dengan memiliki harapan manusia mempunyai alasan untuk tetap melanjutkan hidupnya. Harapan membuat manusia tidak pernah berhenti berjuang. Harapan membuat manusia merancangkan langkah-langkah yang tepat bagi kelangsungan hidupnya. Ini membuktikan bahwa hidup manusia itu berharga karena didalamnya terkandung nilai-nilai yang diperjuangkan untuk membuat manusia tetap hidup.
Hidup sangat berharga. Bahwa kita yang hidup tahu bahwa kita akan mati sementara orang mati tidak dapat berbuat apa-apa. Ini menunjukkan bahwa hidup menjadi berharga karna kita melakukan sesuatu; berbuat sesuatu seperti untuk menikmati segala hal dalam hidup ini dengan sukacita dan kita senatiasa hidup dalam kebenaran dan keadilan, dengan tetap menjaga hidup kerohanian kita.
Semua hal ini memberi penjelasan kepad kita, bahwa keindahan hidup tidak diukur dari panjang pendeknya umur, tidak juga diukur dari kaya miskinnya orang, tetapi dari bagaimana ia mengisi hidupnya.
Hidup menjadi berarti jika kita mengisinya dengan kerja dan usaha tentang hal-hal yang baik. Yang paling penting dari semua itu adalah meskipun hidup ini sia-sia, tetapi hidup ini adalah pemberian Tuhan. Maka selama kita hidup nikmatilah hidup kita dengan kerja, sukacita dan harapan. Hanya dengan demikian kita dapat menemukan keindahan hidup, pendek atau panjang umur kita. Kita dapat menikmati keindahan hidup, kaya atau miskin keadaan kita. Karena hidup adalah Anugerah.
Dengan memiliki harapan manusia mempunyai alasan untuk tetap melanjutkan hidupnya. Harapan membuat manusia tidak pernah berhenti berjuang. Harapan membuat manusia merancangkan langkah-langkah yang tepat bagi kelangsungan hidupnya. Ini membuktikan bahwa hidup manusia itu berharga karena di dalamnya terkandung nilai-nilai yang diperjuangkan untuk membuat manusia tetap hidup.

Batu Menangis


Batu Menangis

Bagaikan bulan yang elok, tubuh laksana pualam, rumput terurai seperti mayang… itulah umpama yang pantas untuk gadis cantik yang tinggal bersama ibunya yang sederhana di sebuah desa terpencil itu. Semua orang akan mengakuinya saat memandang gadis itu. Tak henti-hentinya ia merias dirinya. Cermin di dinding rumahnya tak jemu meski gadis nan elok itu terus memandanginya. Namun mereka terbius kecantikan itulah si gadis ini jadi angkuh dan malas. Ia tak sadar bahwa keelokan yang dikaruniakan Tuhan itu adalah berkah yang harus disyukuri dengan kerendahan hati.
Ibu gadis ini adalah ibu yang lembut, baik hati dan bijak. Ia dengan sabar menemani gadis ini. Ia hanya berharap suatu ketika anak gadisnya menyadari betapa keelokan parasnya tak ada guna apabila hatinya angkuh. Makin sedih juga sang ibu melihat anaknya yang cantik itu juga pemalas, dan kemauannya harus selalu dituruti meskipun kadang tidak masuk akal. Tetapi sang ibu terus berusaha menuruti apa yang dikehendaki anak gadisnya itu. Di dalam harinya ia berdoa, semoga Tuhan menolong dia menyadarkan anak gadisnya itu. Ibu itu tak punya daya untuk mengubahnya.
Suatu hari, seperti biasa gadis itu mengurung dirinya di dalam kamarnya. Ia tak mau matahari merusak kulitnya. Ia enggan debu-debu mengotori wajahnya. Ia tak suka orang-orang mencuri kemolekannya.
“Ibu…!”
Gadis itu memanggil ibunya dengan suara keras.
Sang ibu tergopoh menghampiri putrinya.
“Bukankah sudah berulang kali aku bilang bahwa setiap aku bangun ibu harus sudah menata kamar ini hingga rapi, menyediakan lulur dan air hangat, dan membuatkan minuman sari buah untukku…?” katanya keras dan marah.
Ibunya berusaha sabar, “Bukankah kamu sudah dewasa, anakku. Kau bisa mengerjakan sendiri semua itu.”
“Ibu tahu sendiri, aku sedang sibuk,” jawab gadis itu.
Sang ibu hanya mengelus dada. Hatinya gelisah. Kesibukan mempercantik diri, hanya itulah yang selalu dilakukan putrinya yang pemalas itu.
Suatu hari, sang ibu mencoba untuk membujuk anaknya agar mulai mengubah tabiat buruknya.
“Ibu sudah tua, dan jika ibu dipanggil oleh Tuhan maka Ibu tak khawatir lagi engkau bisa mengurusi dirimu sendiri,” kata ibunya.
“Aku tidak minta kamu jadi ibuku,” ketus sang gadis.
Ibu sungguh sedih mendengarnya.
“Baiklah, Anakku. Ibu hanya memohon agar kamu tidak mengurung diri di rumah. Kenalilah lingkunganmu agar ibu tenang jika suatu saat dipanggil Tuhan,” ujar itu dengan penuh kesabaran.
Hari makin berlalu. Akhirnya sang gadis mau menuruti kehendak ibunya. Ia tidak keberatan untuk ke mana pun bersama ibunya. Ke kepta, ke toko, ke rumah kerabat bahkan hingga belanja ke pasar. Tapi anaknya ini mengajukan syarat bahwa ibunya tak diperbolehkan mengakui di depan umum bahwa ia ibunya. Sebagai seorang ibu tentulah hatinya teriris mendengar itu.
“Oh Tuhan, mengapa untuk mengakui aku ibunya saja dia demikian malu? Mengapa anakku seangkuh itu, ya Tuhan…”
Orang-orang benar-benar tak percaya kedua perempuan itu adalah ibu dan anaknya. Penampilan keduanya alangkah berlawanan. Si putrid begitu mewah, sementara sang ibu teramat bersahaja. Bahkan sang ibu yang tua dengan pakaian yang kusam itu bagaikan seorang pembantu saja layaknya. Apalagi sang putri tak pernah mengizinkan berada di dekatnya. Jika berjalan, sang ibu harus berada di belakangnya.
“Apakah mungkin dia ibunya?”
“Ah mungkin saja bukan?”
“Tapi…”
Orang-orang berbisik-bisik mempergunjingkan hal itu setiap bebrtemu keduanya.
“Bukan! Dia budakku,” kata gadis itu.
Alangkah terlukanya sang ibu mendengar itu. Hatinya menangis dan ia benar-benar tak berdaya menahan sakit hatinya. Ia berbisik dan memohon kepada Tuhan.
“dengan cara apa Engkau menghukum anak yang sombong dan berhati busuk seperti ini ya Tuhan? Jika dia anak kecil, hambamu pasti mampu memahaminya. Tapi ia sudah dewasa dan memiliki akal. Sungguh hamba tidak bis amengerti,” rintihnya.
Tuhan selalu mendengar jeritan hati hambanya. Apapun yang dikehendaki Tuhan pastilah suatu kebaikan. Maka ketika ia menghukum gadis yang sombong itu, maka Tuhan pasti berkehendak baik untuk umatnya.
Suatu haru gadis itu tiba-tiba berubah menjadi batu karena hatinya yang congkak dank eras. Gadis itu menyadari kesalahannya, tapi terlambat karena hukuman telah menimpanya. Ia pun hanya bisa menangis. Hingga sekarang, batu itu dikenal sebagai “Batu Menangis”.

Legenda Bukit Kelam

Legenda Bukit Kelam

Alkisah, di Negeri Sintang, Kalimantan Barat, Indonesia, hiduplah dua orang pemimpin dari keturunan dewa yang memiliki kesaktian tinggi, namun keduanya memiliki sifat yang berbeda. Yang pertama bernama Sebeji atau dikenal dengan Bujang Beji. Ia memiliki sifat suka merusak, pendengki dan serakah. Tidak seorang pun yang boleh memiliki ilmu, apalagi melebihi kesaktiannya. Oleh karena itu, ia kurang disukai oleh masyarakat sekitar, sehingga sedikit pengikutnya. Sementara seorang lainnya bernama Temenggung Marubai. Sifatnya justru kebalikan dari sifat Bujang Beji. Ia memiliki sifat suka menolong, berhati mulia, dan rendah hati. Kedua pemimpin tersebut bermata pencaharian utama menangkap ikan, di samping juga berladang dan berkebun.

Bujang Beji beserta pengikutnya menguasai sungai di Simpang Kapuas, sedangkan Temenggung Marubai menguasai sungai di Simpang Melawi. Ikan di sungai Simpang Melawi beraneka ragam jenis dan jumlahnya lebih banyak dibandingkan sungai di Simpang Kapuas. Tidak heran jika setiap hari Temenggung Marubai selalu mendapat hasil tangkapan yang lebih banyak dibandingkan dengan Bujang Beji.

Temenggung Marubai menangkap ikan di sungai Simpang Melawi dengan menggunakan bubu (perangkap ikan) raksasa dari batang bambu dan menutup sebagian arus sungai dengan batu-batu, sehingga dengan mudah ikan-ikan terperangkap masuk ke dalam bubunya. Ikan-ikan tersebut kemudian dipilihnya, hanya ikan besar saja yang diambil, sedangkan ikan-ikan yang masih kecil dilepaskannya kembali ke dalam sungai sampai ikan tersebut menjadi besar untuk ditangkap kembali. Dengan cara demikian, ikan-ikan di sungai di Simpang Melawi tidak akan pernah habis dan terus berkembang biak.

Mengetahui hal tersebut, Bujang Beji pun menjadi iri hati terhadap Temenggung Marubai. Oleh karena tidak mau kalah, Bujang Beji pun pergi menangkap ikan di sungai di Simpang Kapuas dengan cara menuba[2]. Dengan cara itu, ia pun mendapatkan hasil tangkapan yang lebih banyak. Pada awalnya, ikan yang diperoleh Bujang Beji dapat melebihi hasil tangkapan Temenggung Marubai. Namun, ia tidak menyadari bahwa menangkap ikan dengan cara menuba lambat laun akan memusnahkan ikan di sungai Simpang Kapuas, karena tidak hanya ikan besar saja yang tertangkap, tetapi ikan kecil juga ikut mati. Akibatnya, semakin hari hasil tangkapannya pun semakin sedikit, sedangkan Temenggung Marubai tetap memperoleh hasil tangkapan yang melimpah. Hal itu membuat Bujang Beji semakin dengki dan iri hati kepada Temenggung Marubai.

”Wah, gawat jika keadaan ini terus dibiarkan!” gumam Bujang Beji dengan geram.

Sejenak ia merenung untuk mencari cara agar ikan-ikan yang ada di kawasan Sungai Melawi habis. Setelah beberapa lama berpikir, ia pun menemukan sebuah cara yang paling baik, yakni menutup aliran Sungai Melawi dengan batu besar pada hulu Sungai Melawi. Dengan demikian, Sungai Melawi akan terbendung dan ikan-ikan akan menetap di hulu sungai.

Setelah memikirkan masak-masak, Bujang Beji pun memutuskan untuk mengangkat puncak Bukit Batu di Nanga Silat, Kabupaten Kapuas Hulu. Dengan kesaktiannya yang tinggi, ia pun memikul puncak Bukit Batu yang besar itu. Oleh karena jarak antara Bukit Batu dengan hulu Sungai Melawi cukup jauh, ia mengikat puncak bukit itu dengan tujuh lembar daun ilalang.

Di tengah perjalanan menuju hulu Sungai Melawi, tiba-tiba Bujang Beji mendengar suara perempuan sedang menertawakannya. Rupanya, tanpa disadari, dewi-dewi di Kayangan telah mengawasi tingkah lakunya. Saat akan sampai di persimpangan Kapuas-Melawi, ia menoleh ke atas. Namun, belum sempat melihat wajah dewi-dewi yang sedang menertawakannya, tiba-tiba kakinya menginjak duri yang beracun.

”Aduuuhhh... !” jerit Bujang Beji sambil berjingkrat-jingkrat menahan rasa sakit.

Seketika itu pula tujuh lembar daun ilalang yang digunakan untuk mengikat puncak bukit terputus. Akibatnya, puncak bukit batu terjatuh dan tenggelam di sebuah rantau yang disebut Jetak. Dengan geram, Bujang Beji segera menatap wajah dewi-dewi yang masih menertawakannya.

”Awas, kalian! Tunggu saja pembalasanku!” gertak Bujang Beji kepada dewi-dewi tersebut sambil menghentakkan kakinya yang terkena duri beracun ke salah satu bukit di sekitarnya.

”Enyahlah kau duri brengsek!” seru Bujang Beji dengan perasaan marah.

Setelah itu, ia segera mengangkat sebuah bukit yang bentuknya memanjang untuk digunakan mencongkel puncak Bukit Batu yang terbenam di rantau (Jetak) itu. Namun, Bukit Batu itu sudah melekat pada Jetak, sehingga bukit panjang yang digunakan mencongkel itu patah menjadi dua. Akhirnya, Bujang Beji gagal memindahkan puncak Bukit Batu dari Nanga Silat untuk menutup hulu Sungai Melawi. Ia sangat marah dan berniat untuk membalas dendam kepada dewi-dewi yang telah menertawakannya itu.

Bujang Beji kemudian menanam pohon kumpang mambu[3] yang akan digunakan sebagai jalan untuk mencapai Kayangan dan membinasakan para dewi yang telah menggagalkan rencananya itu. Dalam waktu beberapa hari, pohon itu tumbuh dengan subur dan tinggi menjulang ke angkasa. Puncaknya tidak tampak jika dipandang dengan mata kepala dari bawah.

Sebelum memanjat pohon kumpang mambu, Bujang Keji melakukan upacara sesajian adat yang disebut dengan Bedarak Begelak, yaitu memberikan makan kepada seluruh binatang dan roh jahat di sekitarnya agar tidak menghalangi niatnya dan berharap dapat membantunya sampai ke kayangan untuk membinasakan dewi-dewi tersebut.

Namun, dalam upacara tersebut ada beberapa binatang yang terlupakan oleh Bujang Beji, sehingga tidak dapat menikmati sesajiannya. Binatang itu adalah kawanan sampok (Rayap) dan beruang. Mereka sangat marah dan murka, karena merasa diremehkan oleh Bujang Beji. Mereka kemudian bermusyawarah untuk mufakat bagaimana cara menggagalkan niat Bujang Beji agar tidak mencapai kayangan.

”Apa yang harus kita lakukan, Raja Beruang?” tanya Raja Sampok kepada Raja Beruang dalam pertemuan itu.

”Kita robohkan pohon kumpang mambu itu,” jawab Raja Beruang.

”Bagaimana caranya?” tanya Raja Sampok penasaran.

”Kita beramai-ramai menggerogoti akar pohon itu ketika Bujang Beji sedang memanjatnya,” jelas Raja Beruang.

Seluruh peserta rapat, baik dari pihak sampok maupun beruang, setuju dengan pendapat Raja Beruang.

Keesokan harinya, ketika Bujang Beji memanjat pohon itu, mereka pun berdatangan menggerogoti akar pohon itu. Oleh karena jumlah mereka sangat banyak, pohon kumpang mambu yang besar dan tinggi itu pun mulai goyah. Pada saat Bujang Beji akan mencapai kayangan, tiba-tiba terdengar suara keras yang teramat dahsyat.

”Kretak... Kretak... Kretak... !!!”

Beberapa saat kemudian, pohon Kumpang Mambu setinggi langit itu pun roboh bersama dengan Bujang Beji.

”Tolooong... ! Tolooong.... !” terdengar suara Bujang Beji menjerit meminta tolong.

Pohon tinggi itu terhempas di hulu sungai Kapuas Hulu, tepatnya di Danau Luar dan Danau Belidak. Bujang Beji yang ikut terhempas bersama pohon itu mati seketika. Maka gagallah usaha Bujang Beji membinasakan dewi-dewi di kayangan, sedangkan Temenggung Marubai terhindar dari bencana yang telah direncanakan oleh Bujang Beji.

Menurut cerita, tubuh Bujang Beji dibagi-bagi oleh masyarakat di sekitarnya untuk dijadikan jimat kesaktian. Sementara puncak bukit Nanga Silat yang terlepas dari pikulan Bujang Beji menjelma menjadi Bukit Kelam. Patahan bukit yang berbentuk panjang yang digunakan Bujang Beji untuk mencongkelnya menjelma menjadi Bukit Liut. Adapun bukit yang menjadi tempat pelampiasan Bujang Beji saat menginjak duri beracun, diberi nama Bukit Rentap.

Jumat, 19 Oktober 2012


Gawai Dayak di Kalbar

A.    Pengantar
Gawai Dayak merupakan satu-satunya peristiwa budaya Dayak yang dilaksanakan secara rutin setiap tahun di kota Pontianak serta bebrapa kabupaten yang ada di Kalimantan Barat. Dalam gawai, selain acara inti yakni nyangahathn (pembacaan mantra), juga ditampilkan berbagai bentuk budaya tradisional seperti berbagai upacara adat, permainan tradisional, dan berbagai bentuk kerajinan yang juga bernuansa tradisional. Penyajian berbagai unsur tradisional, selama Gawai Dayak, menjadikannya sebagai event yang eksotis di tengah masyarakat perkotaan yang modern.
Gawai Dayak bukanlah peristiwa budaya yang murni tradisional, baik dilihat dari tempat pelaksanaan maupun isinya. Gawai Dayak merupakan perkembangan lebih lanjut dari acara pergelaran kesenian Dayak yang diselenggarakan pertama kalinya oleh Sekretariat Bersama Kesenian Dayak (Sekberkesda) pada tahun 1986. Perkembangan tersebut kuat dipengaruhi oleh semangat upacara syukuran kepada Jubata yang dilaksanakan masyarakat Dayak Kalbar setiap tahun setelah masa panen. Upacara adat syukuran sehabis panen ini dilaksanakan oleh masyarakat Dayak dengan nama berbeda-beda. Orang Dayak Hulu menyebutnya dengan Gawai, di Kabupaten Sambas dan Bengkayang disebut Maka‘ Dio, sedangkan orang Dayak Kayaan, di Kampung Mendalam, Kabupaten Putus Sibau menyebutnya dengan Dange.
Dalam bentuknya yang tradisional, pelaksanaan upacara pascapanen ini dibatasi di wilayah kampung atau ketimanggungan. Acaranya pun hanya terbatas pada nyangahathn (pelantunan doa/mantra) dan saling kunjung dengan suguhan utamanya seperti: salikat/poe‘ (lemang/pulut dalam bambu), tumpi‘ (cucur), bontokng (nasi yang dibungkus dengan sejenis daun hutan seukuran kue), jenis makanan tradisional yang terbuat dari bahan hasil panen tahunan dan bahan makanan tambahan lainnya. Gawai tradisional pelaksanaannya memakan waktu sampai tiga bulan, yakni sekitar April sampai Juni.
Karena itulah, Gubernur Kalbar Kadarusno mengarahkan agar upacara syukuran ini dilaksanakan pada tanggal 20 Mei setiap tahun. Pada saat ini di beberapa daerah kabupaten acara syukuran ini telah dimodifikasi dan diangkat menjadi acara tingkat kabupaten. Selain liputan wilayahnya diperluas, acaranya pun ditambah dengan penampilan berbagai tradisi Dayak yang ada di daerah yang bersangkutan, dan daerah lainnya yang bersedia mengikuti acara tersebut. Di tingkat provinsi acara yang sama disebut Gawai Dayak atau Upacara Adat Gawai Dayak.
B.     Gawai Dayak sebagai Upacara Adat
Telah dikemukakan Gawai Dayak adalah nama lain upacara adat syukuran pascapanen di Pontianak. Hakikatnya sama dengan Naik Dango, atau Maka‘ Dio. “Tujuannya sendiri kurang labih sama, mengadakan pesta atau selamatan atas karunia yang diberikan oleh Jubata” (Akcaya, 1997:16). Gubernur Aswin dalam Akcaya 29 April 1994:03 mengatakan, “Upacara Naik Dango merupakan ungkapan rasa syukur atas keamanan, kesehatan, dan hasil panen yang melimpah, selain berusaha mencari terobosan baru sebagai usaha meningkatkan hasil pertanian pangan”. Jadi, Gawai Dayak pada prinsipnya sama dengan Naik Dango.
“Orang Dayak paling tidak mengenal 18 tahapan upacara adat perladangan mulai dari Baburukng sampai tahap terakhir yaitu, upacara adat Naik Dango atau Ka‘ Pongo”, (1999:2). Sebelum hari H dilaksanakan, terlebih dahulu diadakan pelantunan mantra (nyangahathn), yang disebut matik. Tujuannya ialah memberitahukan dan mohon restu kepada Jubata bahwa besok akan dilaksanakan pesta adat. Pada hari H dilaksanakan upacara adat dengan nyangahathn di ruang tamu (sami), memanggil semangat (jiwa) padi yang belum kembali, nyangahathn di lumbung padi (baluh atau langko) untuk mengumpulkan semangat padi di tempatnya, dan nyangahatn di tempayan beras (pandarengan) tujuannya memberkati beras agar bertahan dan tidak cepat habis.
Nyangahathn dapat disebut sebagai tata cara utama ekspresi religi suku Dayak. Bahari Sinju dkk. (1996:146), berpandangan bahwa Nyangahatn adalah wujud upacara religius. Ia menjadi bagian pokok dalam setiap bentuk upacara, dengan urutan atau tahapan yang baku, kecuali bahan, jumlah roh suci, para jubata yang diundang, dan tentu saja konteksnya. Dari segi tahapannya nyangahatn terbagi menjadi :
1.      matik,
2.      (2)ngalantekatn,
3.      mibis, dan
4.      ngadap Buis. 
Matik bertujuan memberitahukan hajat keluarga kepada awa pama (roh leluhur) dan jubata. Ngalantekatn bertujuan permohonan agar semua keluarga yang terlibat selamat. Mibis bertujuan agar segala sesuatu (kekotoran) dilunturkan, dilarutkan, dan diterbangkan dari keluarga dan dikuburkan sebagaimana matahari terbenam ke arah barat. Terakhir adalah ngadap buis, yakni tahapan penerimaan sesajian (buis) oleh awa pama dan jubata, dengan tujuan ungkapan syukur dan memperoleh berkat atau pengudusan (penyucian) terhadap segala hal yang kurang berkenan, termasuk pemanggilan semua jiwa yang hidup (yang tersesat) agar tenang dan tenteram.
Dilihat dari kondisi bahan yang digunakan, tahapan pertama sampai ketiga, disebut nyangahatn manta, yakni nyangahathn dengan bahan yang belum masak (mentah), sedangkan ngadap buis disebut nyangahathn masak, disiapkan dengan bahan-bahan yang siap hidang (sudah masak). Sebenarnya ada nyangahathn dalam bentuk yang sederhana, yakni berupa ungkapan/doa pendek dengan sajian sederhana: nasi, garam, dan sirih masak (kapur, sirih, gambir, tembakau, dan rokok daun nipah),nyangahathn sederhana ini disebut babamang.
Gawai Dayak atau Naik Dango didasari mitos asal mula padi yang populer di kalangan orang Dayak Kalbar, yakni cerita nek baruang kulup. Cerita asal mula padi berawal dari setangkai padi milik jubata di Gunung Bawakng yang dicuri seekor burung pipit dan jatuh ke tangan nek jaek yang tengah mengayau. Kepulangannya yang hanya membawa setangkai buah rumput menyebabkan ia diejek, dan keinginan membudidayakannya menyebabkan pertentangan dan bahkan ia diusir. Dalam pengembaraannya ia bertemu dengan jubata. Hasil perkawinannya dengan Jubata, adalah nek baruang kulup. Nek baruang kulup inilah yang akhirnya membawa padi kepada talino (manusia,) lantaran ia suka turun ke dunia bermain gasing. Perbuatan ini juga menyebabkan ia diusir dari Gunung Bawakng dan akhirnya kawin dengan manusia. Padi akhirnya menjadi makanan sumber kehidupan yang menyegarkan, sebagai pengganti kulat (jamur) bagi manusia. Namun, untuk memperoleh padi terjadi tragedi pengusiran di lingkungan keluarga manusia dan jubata yang menunjukkan kebaikan hati Jubata bagi manusia. Fungsi padi dan kemurahan jubata inilah yang menjadi dasar upacara Naik Dango.
Menurut Bahari, dkk. (1999:243)., makna upacara Naik Dango antara lain, adalah menyukuri karunia jubata;
*      mohon restu kepada jubata untuk menggunakan padi yang telah disimpan di dangao padi;
*      pertanda penutupan tahun berladang;
*      mempererat hubungan persaudaraan/solidaritas.
Dalam kemasan modern, upacara adat ini dimeriahi oleh berbagai bentuk acara adat, kesenian tradisional, dan pemeran berbagai bentuk kerajinan tradisional. Hal ini menyebabkan Gawai Dayak lebih menonjol sebagai pesta daripada sebagai upacara ritual. Namun, dilihat dari tradisi akarnya, ia tetap sebuah upacara adat.
C.    Faktor-Faktor Pendukung Keberadaan Gawai Dayak
1.      Spirit Kelompok Urban
Keberadaan Gawai Dayak tidak lepas dari spirit kelompok urban asal Dayak. Sampai tahun 1980-an jumlah orang Dayak di kota Pontianak masih sangat sedikit. Meski demikian, beberapa figur telah ada yang aktif di partai, antara lain, PC Palaoen Soeka, Masardi Kaphat, Moses Nyawath, Rahmat Sahudin, dll. Kiprah kelompok politisi yang senantiasa berurusan dengan konsep kelompok dan massa, telah mendorong upaya untuk membangkitkan kebersamaan di antara sesama Dayak.
Pada tahun 1986 dibentuklah Sekretariat Kesenian Dayak (Sekberkesda), yang salah satu tugasnya adalah mengorganisasikan pelaksanaan pergelaran seni budaya Dayak, yang selanjutnya berubah menjadi Gawai Dayak. Keinginan untuk saling memperkuat dan memperkenalkan tradisi Dayak mendorong kehadiran simbol yang dapat menjadi perekat sesama orang Dayak. Gawai Dayak menjadi simbol yang menyadarkan bahwa setiap Dayak berasal dari leluhur dan budaya yang sama. Simbol ini telah menjadi media untuk menyegarkan kesadaran akan tradisi masa lalu di antara sesamaurban selama kurang lebih dari satu dasa warsa.
Bolehjadi Sekberkesda pada mulanya merupakan sarana politik. Namun, keberadaan organisasi ini menandai awal perhatian dan kecintaan terhadap budaya Dayak di kalangan Dayak di perkotaan secara terorganisasi dalam lingkup yang lebih luas daripada sekedar sanggar-sanggar. Hal ini terlihat dari bergabungnya sekitar 8 buah sanggar pada waktu itu. Manufer di sektor politik pada waktu itu berdampak positif, yakni memajukan perhatian untuk mengembangkan seni budaya Dayak di Pontianak.
2.      Telah Bertahan Lebih dari Satu Dasa Warsa
Jika dihitung dari dilaksanakannya Malam Pergelaran Kesenian Dayak pertama kalinya, 30 Juni 1986, upacara adat Gawai Dayak telah bertahan lebih dari 10 tahun. Perlu diinformasikan juga bahwa sejak 1992, nama Gawai Dayak berubah menjadi pekan Gawai Dayak, yang artinya Gawai Dayak dicanangkan untuk dilaksanakan selama sepekan. Namun, pelaksanaan Gawai Dayak tidak selalu mulus. Gejolak konflik bernuansa etnis yang terjadi berulang kali di Pontianak berdampak pelaksanaan tidak sesuai dengan jadwal, bahkan ditiadakan.
Kemampuannya bertahan lebih dari sepuluh tahun menunjukkan bahwa Gawai sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Dayak di Pontianak. Ia telah menjadi media yang dibutuhkan untuk menyegarkan semangat solidaritas sesama Dayak dalam lingkaran rutinitas kehidupan kota.
3.      Dukungan Masyarakat Budaya
Kemampuannya bertahan tidak terlepas dari kekuatan atau faktor-faktor luar seperti pendanaan dari pemerintah daerah, kepentingan pengembangan periwisata, atau bahkan kepentingan-kepentingan yang bernuansa politis. Namun, Gawai Dayaksebagian besar mendapat dukungan masyarakat budaya; dalam arti, masyarakat Dayak dengan orientasi kepentingan budaya. Pada saat ini, Sekberkesda didukung oleh lebih kurang 23 sanggar yang dapat dilihat sebagai representiasi berbagai kelompok subsuku Dayak yang ada di Pontianak.
Dukungan ini menjadi faktor kekuatan yang luar biasa. Yang masih menjadi persoalan bagi Sekberkesda adalah bagaimana memanfaatkan kekuatan itu, bagaimana mengembangkan Sekberkesda menjadi lembaga yang dapat berbuat optimal dalam mengembangkan dan mendayagunakan potensi yang ada, termasuk mengangkat Gawai Dayak menjadi peristiwa budaya bertaraf nasional, bahkan internasional.
D.    Fanatisme Rumah Panjang
Gawai Dayak di Pontianak selalu difokuskan di rumah panjang atau (oleh Pemda diberi nama) rumah betang. Menurut Ketua Harian Majelis Adat Dayak, Ir Syaikun Riyadi, rumah betang ini didirikan sekitar tahun 1980 –an. Hampir seluruh kegiatan Gawai dilaksanakan di tempat ini, kecuali kegiatan-kegiatan yang tidak mungkin dilaksanakan lagi di rumah betang, misalnya pemilihan bujang dara Gawai, pameran benda-benda kerajinan yang pesertanya cukup banyak, dll. Rumah betang ini juga menjadi sekretariat MAD (Majelis Adat Dayak), yakni sebuah organisasi yang memfokuskan diri pada pengkoordinasian beberapa Dewan Adat Dayak (DAD), terutama dalam hal penanganan masalah pelanggaran hukum adat. MAD dan DAD dapat dilihat sebagai wujud konkret dari kecintaan dan perhatian terhadap budaya Dayak, yang moralnya secara akumulatif dibentuk oleh rangkaian kegiatan Gawai Dayak.
Di Kalimantan Barat rumah panjang identik dengan orang Dayak. Tidak ada suku lainnya di Kalimantan Barat, bahkan di Kalimantan yang memiliki tempat tinggal sama atau mirip dengan rumah panjang. Meski demikian, pada saat ini bagi sebagian besar generasi Dayak, budaya rumah panjang hanya tinggal cerita. Sepengetahuan penulis salah satu peninggalan rumah panjang orang Dayak Kabupaten Pontianak ada di Desa Saham, sedangkan menurut Fran l. dan Kanyan, Orang Dayak Iban di Kecamatan Embaloh Hulu masih memiliki tiga rumah panjang. Fran (1994:201) juga menulis bahwa orang Iban yang mendiami desa-desa di Kecamatan Batang Lupar dan lanjak Kabupaten Kapuas Hulu hampir semuanya tinggal di rumah panjang yang mereka sebut rumah panjae.
Punahnya rumah panjang merupakan bagian dari sejarah panjang mengenai penghancuran budaya Dayak di Kalimantan Barat. Penghancuran budaya Dayak telah bermula sejak masuknya agama baru, baik Islam maupun Kristen. Orang Dayak yang masuk Islam mengidentifikasi diri sebagai orang Islam, yang berarti meninggalkan identitas mereka sebagai orang Dayak. Demikian juga, para penyebar agama Kristen yang mengemban tugas yang mereka sebut La mission sacre (tugas suci). Orang Dayak yang tidak menganut Nasrani disebut kafir, menyembah berhala, primitif, animisme dsb. Tugas Nasrani memberadabkan orang Dayak karena menganut budaya yang mereka sebut sebagai Ragi Usang. Konsep Ragi Usang ini pada prinsipnya ialah ingin mengosongkan orang Dayak dari budaya mereka sendiri (Djuweng, dalam KR, 1998:7).
Pada masa Orba salah satu bentuk penghancuran budaya Dayak adalah penghancuran rumah panjang pada tahun 1970–an karena hidup di rumah panjang dianggap menyerupai cara komunis, berbahaya bagi kesehatan, dan tidak bermoral karena melakukan seks bebas. “Kebijakan itu bukan saja menyinggung perasaan orang Dayak, melainkan juga bisa mempercepat proses kehilangan identitas mereka” (Jopsef, 1992:XVI).
Penghancuran budaya Dayak ini ternyata memiliki dampak sangat mendalam. Terdapat orang Dayak yang akhirnya malu disebut atau menyebutkan diri sebagai orang Dayak. Ada yang berpendapat citra buruk itu dapat dihapus dengan mengganti identitas diri dengan cara masuk Islam, atau menghilangkan konsonan ‘K‘ pada istilah Dayak, sehingga menjadi Daya. Namun, ada yang berpendapat perbaikan citra bersifat lebih luas daripada sekedar mengganti istilah Dayak, yakni meliputi perbaikan di segala sektor kehidupan orang Dayak. Menurut Djuweng (2001:82), penggantian istilak Dayak menjadi Daya tidak menguntungkan, bahkan merugikan karena justru menghilangkan etnisitas sebagai salah satu wujud identitas Daya.
Fanatisme rumah panjang selain menuntut pengadaan fisik rumah panjang sebagaimana tuntutan upacara di daerah-daerah, juga menghendaki agar fungsinya sebagai pusat kebudayaan diberlakukan kembali. Hal ini terlihat dari keinginan memusatkan segala kegiatan Gawai Dayak di rumah panjang. Dengan kata lain, fanatisme rumah panjang, menyangkut rumah panjang sebagai pusat kebudayaan yang meliputi bergai sistem sosial yang ada di dalamnya. Gawai Dayak menjadi proses penelusuran kembali salah satu identitas penting dalam budaya Dayak yang terlindas sejarah masa lalu.
Harian Akcaya (30 Mei 1994: 03), berkaitan dengan pelaksanaan Maka‘ Dio di Kabupaten Sambas menulis “Upacara Maka‘ Dio, kata Libertus, suatu wadah komunikasi budaya asli daerah yang perlu dilestarikan sebagai bahan dalam usaha menyukseskan pembangunan. Selain itu, hal ini juga mengenal dan memantapkan identitas Dayak dalam bentuk yang mudah dikenal dan diamati oleh masyarakat.
Dalam harian yang sama tertulis, “Gubernur dalam sambutannya mengatakan upacara adat Naik Dango dilihat dari kacamata budaya perlu dilestarikan karena mempunyai nilai budaya yang perlu diangkat ke permukaan sehingga identitas budaya suku Dayak di Kabupaten Pontianak dapat dikenal sebagai sesuatu yang menarik, baik wisman maupun domestik (Akcaya, 29 April, 1994:03).
Dikaitkan dengan penghancuran rumah panjang di masa silam, penegasan kembali identitas budaya rumah panjang juga dapat dilihat sebagai proses perlawanan panjang atas sejarah untuk memperoleh kembali apa yang sebelumnya dipaksahilangkan melalui penghancuran budaya Dayak, yakni pengakuan dan penghargaan terhadap orang Dayak sebagai sesama dengan segala kekhasannya. Orang Dayak tidak ingin sekedar dianggap ada, tetapi hak-hak mereka sebagai warga dihormati dan dihargai. Dalam perspektif ini Gawai Dayak tidak hanya strstegis bagi pengembangan seni budaya Dayak, tetapi juga strategi bagi membangun dimensi kemanusiaan penting lainnya, yakni perasaan sederajat, dan keyakinan terhadap budaya sendiri.
E.     Pembuka Wawasan Pluralitas
Kalbar tergolong wilayah yang rentan konfliks bernuansa etnis. Kondisi ini tidak lepas dari kebijakan penyeragaman semasa Orba. Penyeragaman di bidang seni budaya merupakan tindakan sensor terselubung yang mengekang kebebasan berekspresi dan kreativitas. Dengan konsep budaya nasional sebagai puncak budaya daerah, negara mendapat legitimasi menentukan seni budaya daerah yang boleh berkembang dan tidak, bahkan menghancurkan kebudayaan tertentu yang dinilai menghambat agenda ekploitasi pusat terhadap daerah. Tekanan juga dilakukan dengan melancarkan istilah-istilah negatif bagi kebudayaan daerah seperti terbelakang, tidak modern, kafir, primitif, dsb. Hasilnya adalah masyarakat tidak terbiasa hidup dalam perbedaan dan tidak bisa menghargai perbedaan. Menurut Kusni (1994:50), masyarakat yang tidak tumbuh dalam budayanya menyuburkan gejala skeptifisme dan ketidakacuhan terhadap lingkungan.
Bagi masyarakat yang tidak terbiasa dengan perbedaan, perbedaan budaya cenderung dilihat sebagai alasan untuk mengambil jarak, bahkan alasan untuk saling menekan. Penyeragaman menumbuhkan sikap konfrontatif dalam memandang kondisi pluralistik. Persoalan individual mudah memancing sentimen etnik, dan persoalan kecil mudah berkembang menjadi konfliks berskala besar. Situasi penyeragaman di satu sisi menyebabkan setiap kelompok cenderung tetap terisolasi, di sisi lain tidak memiliki arah berkembang yang jelas karena budaya nasional yang dijadikan kiblat tidak jelas wujudnya. Akibatnya, masyarakat daerah retak-retak dalam pluralisme dan budaya menjadi kerdil.
Menurut Awuy (2000:1), salah satu upaya eliminasi kebijakan penyeragaman adalah mengakui bahwa kekuasaan yang tidak realistis pada prinsipnya menyangkal keberagaman dan kepentingan sebagaimana muncul dari keberagaman budaya kita. Artinya, pembukaan wawasan pluralitas pertama-tama menghendaki adanya kesadaran bahwa stigmatisasi sosial budaya, berbagai pandangan negatif terhadap kebudayaan daerah, termasuk seni budaya adalah anak kandung dari penyeragaman pusat sebagai strategi mempertahankan dominasi atas daerah. Berikutnya, perlu ditumbuhkan kecintaan terhadap budaya sendiri dan penghargaan terhadap budaya yang berbeda. Dalam konteks ini, Gawai Dayak menjadi salah satu event budaya selain dapat menumbuhkan kecintaan terhadap budaya Dayak, sekaligus mempertegas identitas orang Dayak sebagai media pemahaman budaya bagi pihak lainnya. Gawai Dayak diharap menjadi fenomena budaya yang dapat menumbuhkan sikap mau menghargai perbedaan dan sensitivitas terhadap perbedaan.
Di mata aktivis Gawai Dayak, keberadaan Gawai harus dipertahankan karena menjadi sarana pendidikan dan pewarisan budaya bagi generasi muda Dayak dan media berkomunikasi dengan pihak lainnya. Dalam masyarakat yang pluralistik, pemberdayaan dan pelestarian setiap unsur budaya menjadi hal penting mengingat setiap budaya/tradisi memberikan pegangan bagi pemilik budaya dalam menata kehidupannya, baik dalam berhubungan dengan sesama, lingkungan dan Sang Pencipta, serta memberikan identitas jelas agar dapat berkomunikasi (dialog) secara sejajar dengan pihak lainnya. Kusni (1994:50), mengatakan bahwa yang memiliki tempat dalam dialog budaya nasional hanyalah mereka yang memiliki kebudayaan yang hidup, setia, dan bertolak dari asalnya dan penuh kreativitas.
Hilangnya identitas dapat menyebabkan hilangnya pengakuan, kepincangan komunikasi, kebijakan yang diskriminatif, dan berbagai bentuk kecemburuan sosial yang dapat menyebabkan keretakan, bahkan konflik dalam pluralitas. Dalam perspektif ini penegasan identitas penting bagi memupuk kesadaran akan kemajemukan, sedangkan bagi pemilik budaya, penegasan identitas penting sebab sebagaimana diungkap Kusni (1994:50), apabila keadaan tanpa kreativitas berlangsung terus, kebudayaan Dayak akan didominasi sehingga yang tertinggal hanyalah darah yang mengalir secara alami. Namun, secara kebudayaan hal itu sudah menjadi tidak jelas sehingga pengingkaran diri sebagai orang Dayak gampang terjadi.
F.     Kesimpulan
Gawai Dayak merupakan satu-satunya peristiwa budaya Dayak Kalimantan Barat yang digelar rutin setiap tahun di Pontianak pada setiap Mei. Event budaya ini berakar dari tradisi terpenting suku Dayak, yakni upacara adat perladangan. Masyarakat Dayak mengenal 18 tahapan upacara adat perladangan. Upacara adat terakhir adalah Naik Dango. Upacara Naik Dango inilah yang selanjutnya disuguhkan dalam kemasan baru menjadi Gawai Dayak di tingkat Propinsi.
Beberapa hal yang mendukung pelaksanaan Gawai Dayak, antara lain, spirit kebersamaan kelompok urban telah dipandang sebagai tradisi dan dukungan masyarakat budaya.
Bagi masyarakat Dayak, Gawai Dayak merupakan peristiwa budaya yang strategis dalam arti membuka peluang menghadirkan kembali budaya rumah panjang, dan memulihkan kembali dimensi kemanusiaan yang sebelumnya telah dicabik-cabik, yakni perasaan sederajat dan keyakinan terhadap budaya sendiri.
Di tengah-tengah masyarakat Kalimantan Barat yang pluralistik, Gawai Dayak diharapkan menjadi media yang potensial untuk menumbuhkan sensitivitas dan penghargaan terhadap perbedaan, khususnya perbedaan seni dan budaya. Sensitivitas dan penghargaan terhadap perbedaan ini penting karena penyangkalan terhadap keragaman kepentingan sebagaimana muncul dari keberagaman budaya merupakan tindakan penindasan yang menghasilkan masyarakat yang tidak terbiasa dengan perbedaan dan rawan konflik. Dari persfektif ini, Gawai Dayak dapat dipandang sebagai salah satu media pembuka wawasan pluralitas.





Sumber :
 Humaniora Volume XIII, No. 3/2001
Herman Ivo, Doktotandus, Magister Pendidikan, Staf pengajar Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Tanjungpura, Pontianak
Akcaya. 21 /9/ 1997:16. Berita: “Gawai Gayak Masih Minim Dana”.
Akcaya. 30/5/1994. Berita: “Maka‘ Dio, Memantapkan Identitas Dayak”.
Akcaya. 29/4/1994:3. Berita:”Aswin: Upacara Adat Naik Dango Perlu Diangkat 

Gawai Dayak di Kalbar

A.    Pengantar
Gawai Dayak merupakan satu-satunya peristiwa budaya Dayak yang dilaksanakan secara rutin setiap tahun di kota Pontianak serta bebrapa kabupaten yang ada di Kalimantan Barat. Dalam gawai, selain acara inti yakni nyangahathn (pembacaan mantra), juga ditampilkan berbagai bentuk budaya tradisional seperti berbagai upacara adat, permainan tradisional, dan berbagai bentuk kerajinan yang juga bernuansa tradisional. Penyajian berbagai unsur tradisional, selama Gawai Dayak, menjadikannya sebagai event yang eksotis di tengah masyarakat perkotaan yang modern.
Gawai Dayak bukanlah peristiwa budaya yang murni tradisional, baik dilihat dari tempat pelaksanaan maupun isinya. Gawai Dayak merupakan perkembangan lebih lanjut dari acara pergelaran kesenian Dayak yang diselenggarakan pertama kalinya oleh Sekretariat Bersama Kesenian Dayak (Sekberkesda) pada tahun 1986. Perkembangan tersebut kuat dipengaruhi oleh semangat upacara syukuran kepada Jubata yang dilaksanakan masyarakat Dayak Kalbar setiap tahun setelah masa panen. Upacara adat syukuran sehabis panen ini dilaksanakan oleh masyarakat Dayak dengan nama berbeda-beda. Orang Dayak Hulu menyebutnya dengan Gawai, di Kabupaten Sambas dan Bengkayang disebut Maka‘ Dio, sedangkan orang Dayak Kayaan, di Kampung Mendalam, Kabupaten Putus Sibau menyebutnya dengan Dange.
Dalam bentuknya yang tradisional, pelaksanaan upacara pascapanen ini dibatasi di wilayah kampung atau ketimanggungan. Acaranya pun hanya terbatas pada nyangahathn (pelantunan doa/mantra) dan saling kunjung dengan suguhan utamanya seperti: salikat/poe‘ (lemang/pulut dalam bambu), tumpi‘ (cucur), bontokng (nasi yang dibungkus dengan sejenis daun hutan seukuran kue), jenis makanan tradisional yang terbuat dari bahan hasil panen tahunan dan bahan makanan tambahan lainnya. Gawai tradisional pelaksanaannya memakan waktu sampai tiga bulan, yakni sekitar April sampai Juni.
Karena itulah, Gubernur Kalbar Kadarusno mengarahkan agar upacara syukuran ini dilaksanakan pada tanggal 20 Mei setiap tahun. Pada saat ini di beberapa daerah kabupaten acara syukuran ini telah dimodifikasi dan diangkat menjadi acara tingkat kabupaten. Selain liputan wilayahnya diperluas, acaranya pun ditambah dengan penampilan berbagai tradisi Dayak yang ada di daerah yang bersangkutan, dan daerah lainnya yang bersedia mengikuti acara tersebut. Di tingkat provinsi acara yang sama disebut Gawai Dayak atau Upacara Adat Gawai Dayak.
B.     Gawai Dayak sebagai Upacara Adat
Telah dikemukakan Gawai Dayak adalah nama lain upacara adat syukuran pascapanen di Pontianak. Hakikatnya sama dengan Naik Dango, atau Maka‘ Dio. “Tujuannya sendiri kurang labih sama, mengadakan pesta atau selamatan atas karunia yang diberikan oleh Jubata” (Akcaya, 1997:16). Gubernur Aswin dalam Akcaya 29 April 1994:03 mengatakan, “Upacara Naik Dango merupakan ungkapan rasa syukur atas keamanan, kesehatan, dan hasil panen yang melimpah, selain berusaha mencari terobosan baru sebagai usaha meningkatkan hasil pertanian pangan”. Jadi, Gawai Dayak pada prinsipnya sama dengan Naik Dango.
“Orang Dayak paling tidak mengenal 18 tahapan upacara adat perladangan mulai dari Baburukng sampai tahap terakhir yaitu, upacara adat Naik Dango atau Ka‘ Pongo”, (1999:2). Sebelum hari H dilaksanakan, terlebih dahulu diadakan pelantunan mantra (nyangahathn), yang disebut matik. Tujuannya ialah memberitahukan dan mohon restu kepada Jubata bahwa besok akan dilaksanakan pesta adat. Pada hari H dilaksanakan upacara adat dengan nyangahathn di ruang tamu (sami), memanggil semangat (jiwa) padi yang belum kembali, nyangahathn di lumbung padi (baluh atau langko) untuk mengumpulkan semangat padi di tempatnya, dan nyangahatn di tempayan beras (pandarengan) tujuannya memberkati beras agar bertahan dan tidak cepat habis.
Nyangahathn dapat disebut sebagai tata cara utama ekspresi religi suku Dayak. Bahari Sinju dkk. (1996:146), berpandangan bahwa Nyangahatn adalah wujud upacara religius. Ia menjadi bagian pokok dalam setiap bentuk upacara, dengan urutan atau tahapan yang baku, kecuali bahan, jumlah roh suci, para jubata yang diundang, dan tentu saja konteksnya. Dari segi tahapannya nyangahatn terbagi menjadi :
1.      matik,
2.      (2)ngalantekatn,
3.      mibis, dan
4.      ngadap Buis. 
Matik bertujuan memberitahukan hajat keluarga kepada awa pama (roh leluhur) dan jubata. Ngalantekatn bertujuan permohonan agar semua keluarga yang terlibat selamat. Mibis bertujuan agar segala sesuatu (kekotoran) dilunturkan, dilarutkan, dan diterbangkan dari keluarga dan dikuburkan sebagaimana matahari terbenam ke arah barat. Terakhir adalah ngadap buis, yakni tahapan penerimaan sesajian (buis) oleh awa pama dan jubata, dengan tujuan ungkapan syukur dan memperoleh berkat atau pengudusan (penyucian) terhadap segala hal yang kurang berkenan, termasuk pemanggilan semua jiwa yang hidup (yang tersesat) agar tenang dan tenteram.
Dilihat dari kondisi bahan yang digunakan, tahapan pertama sampai ketiga, disebut nyangahatn manta, yakni nyangahathn dengan bahan yang belum masak (mentah), sedangkan ngadap buis disebut nyangahathn masak, disiapkan dengan bahan-bahan yang siap hidang (sudah masak). Sebenarnya ada nyangahathn dalam bentuk yang sederhana, yakni berupa ungkapan/doa pendek dengan sajian sederhana: nasi, garam, dan sirih masak (kapur, sirih, gambir, tembakau, dan rokok daun nipah),nyangahathn sederhana ini disebut babamang.
Gawai Dayak atau Naik Dango didasari mitos asal mula padi yang populer di kalangan orang Dayak Kalbar, yakni cerita nek baruang kulup. Cerita asal mula padi berawal dari setangkai padi milik jubata di Gunung Bawakng yang dicuri seekor burung pipit dan jatuh ke tangan nek jaek yang tengah mengayau. Kepulangannya yang hanya membawa setangkai buah rumput menyebabkan ia diejek, dan keinginan membudidayakannya menyebabkan pertentangan dan bahkan ia diusir. Dalam pengembaraannya ia bertemu dengan jubata. Hasil perkawinannya dengan Jubata, adalah nek baruang kulup. Nek baruang kulup inilah yang akhirnya membawa padi kepada talino (manusia,) lantaran ia suka turun ke dunia bermain gasing. Perbuatan ini juga menyebabkan ia diusir dari Gunung Bawakng dan akhirnya kawin dengan manusia. Padi akhirnya menjadi makanan sumber kehidupan yang menyegarkan, sebagai pengganti kulat (jamur) bagi manusia. Namun, untuk memperoleh padi terjadi tragedi pengusiran di lingkungan keluarga manusia dan jubata yang menunjukkan kebaikan hati Jubata bagi manusia. Fungsi padi dan kemurahan jubata inilah yang menjadi dasar upacara Naik Dango.
Menurut Bahari, dkk. (1999:243)., makna upacara Naik Dango antara lain, adalah menyukuri karunia jubata;
*      mohon restu kepada jubata untuk menggunakan padi yang telah disimpan di dangao padi;
*      pertanda penutupan tahun berladang;
*      mempererat hubungan persaudaraan/solidaritas.
Dalam kemasan modern, upacara adat ini dimeriahi oleh berbagai bentuk acara adat, kesenian tradisional, dan pemeran berbagai bentuk kerajinan tradisional. Hal ini menyebabkan Gawai Dayak lebih menonjol sebagai pesta daripada sebagai upacara ritual. Namun, dilihat dari tradisi akarnya, ia tetap sebuah upacara adat.
C.    Faktor-Faktor Pendukung Keberadaan Gawai Dayak
1.      Spirit Kelompok Urban
Keberadaan Gawai Dayak tidak lepas dari spirit kelompok urban asal Dayak. Sampai tahun 1980-an jumlah orang Dayak di kota Pontianak masih sangat sedikit. Meski demikian, beberapa figur telah ada yang aktif di partai, antara lain, PC Palaoen Soeka, Masardi Kaphat, Moses Nyawath, Rahmat Sahudin, dll. Kiprah kelompok politisi yang senantiasa berurusan dengan konsep kelompok dan massa, telah mendorong upaya untuk membangkitkan kebersamaan di antara sesama Dayak.
Pada tahun 1986 dibentuklah Sekretariat Kesenian Dayak (Sekberkesda), yang salah satu tugasnya adalah mengorganisasikan pelaksanaan pergelaran seni budaya Dayak, yang selanjutnya berubah menjadi Gawai Dayak. Keinginan untuk saling memperkuat dan memperkenalkan tradisi Dayak mendorong kehadiran simbol yang dapat menjadi perekat sesama orang Dayak. Gawai Dayak menjadi simbol yang menyadarkan bahwa setiap Dayak berasal dari leluhur dan budaya yang sama. Simbol ini telah menjadi media untuk menyegarkan kesadaran akan tradisi masa lalu di antara sesamaurban selama kurang lebih dari satu dasa warsa.
Bolehjadi Sekberkesda pada mulanya merupakan sarana politik. Namun, keberadaan organisasi ini menandai awal perhatian dan kecintaan terhadap budaya Dayak di kalangan Dayak di perkotaan secara terorganisasi dalam lingkup yang lebih luas daripada sekedar sanggar-sanggar. Hal ini terlihat dari bergabungnya sekitar 8 buah sanggar pada waktu itu. Manufer di sektor politik pada waktu itu berdampak positif, yakni memajukan perhatian untuk mengembangkan seni budaya Dayak di Pontianak.
2.      Telah Bertahan Lebih dari Satu Dasa Warsa
Jika dihitung dari dilaksanakannya Malam Pergelaran Kesenian Dayak pertama kalinya, 30 Juni 1986, upacara adat Gawai Dayak telah bertahan lebih dari 10 tahun. Perlu diinformasikan juga bahwa sejak 1992, nama Gawai Dayak berubah menjadi pekan Gawai Dayak, yang artinya Gawai Dayak dicanangkan untuk dilaksanakan selama sepekan. Namun, pelaksanaan Gawai Dayak tidak selalu mulus. Gejolak konflik bernuansa etnis yang terjadi berulang kali di Pontianak berdampak pelaksanaan tidak sesuai dengan jadwal, bahkan ditiadakan.
Kemampuannya bertahan lebih dari sepuluh tahun menunjukkan bahwa Gawai sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Dayak di Pontianak. Ia telah menjadi media yang dibutuhkan untuk menyegarkan semangat solidaritas sesama Dayak dalam lingkaran rutinitas kehidupan kota.
3.      Dukungan Masyarakat Budaya
Kemampuannya bertahan tidak terlepas dari kekuatan atau faktor-faktor luar seperti pendanaan dari pemerintah daerah, kepentingan pengembangan periwisata, atau bahkan kepentingan-kepentingan yang bernuansa politis. Namun, Gawai Dayaksebagian besar mendapat dukungan masyarakat budaya; dalam arti, masyarakat Dayak dengan orientasi kepentingan budaya. Pada saat ini, Sekberkesda didukung oleh lebih kurang 23 sanggar yang dapat dilihat sebagai representiasi berbagai kelompok subsuku Dayak yang ada di Pontianak.
Dukungan ini menjadi faktor kekuatan yang luar biasa. Yang masih menjadi persoalan bagi Sekberkesda adalah bagaimana memanfaatkan kekuatan itu, bagaimana mengembangkan Sekberkesda menjadi lembaga yang dapat berbuat optimal dalam mengembangkan dan mendayagunakan potensi yang ada, termasuk mengangkat Gawai Dayak menjadi peristiwa budaya bertaraf nasional, bahkan internasional.
D.    Fanatisme Rumah Panjang
Gawai Dayak di Pontianak selalu difokuskan di rumah panjang atau (oleh Pemda diberi nama) rumah betang. Menurut Ketua Harian Majelis Adat Dayak, Ir Syaikun Riyadi, rumah betang ini didirikan sekitar tahun 1980 –an. Hampir seluruh kegiatan Gawai dilaksanakan di tempat ini, kecuali kegiatan-kegiatan yang tidak mungkin dilaksanakan lagi di rumah betang, misalnya pemilihan bujang dara Gawai, pameran benda-benda kerajinan yang pesertanya cukup banyak, dll. Rumah betang ini juga menjadi sekretariat MAD (Majelis Adat Dayak), yakni sebuah organisasi yang memfokuskan diri pada pengkoordinasian beberapa Dewan Adat Dayak (DAD), terutama dalam hal penanganan masalah pelanggaran hukum adat. MAD dan DAD dapat dilihat sebagai wujud konkret dari kecintaan dan perhatian terhadap budaya Dayak, yang moralnya secara akumulatif dibentuk oleh rangkaian kegiatan Gawai Dayak.
Di Kalimantan Barat rumah panjang identik dengan orang Dayak. Tidak ada suku lainnya di Kalimantan Barat, bahkan di Kalimantan yang memiliki tempat tinggal sama atau mirip dengan rumah panjang. Meski demikian, pada saat ini bagi sebagian besar generasi Dayak, budaya rumah panjang hanya tinggal cerita. Sepengetahuan penulis salah satu peninggalan rumah panjang orang Dayak Kabupaten Pontianak ada di Desa Saham, sedangkan menurut Fran l. dan Kanyan, Orang Dayak Iban di Kecamatan Embaloh Hulu masih memiliki tiga rumah panjang. Fran (1994:201) juga menulis bahwa orang Iban yang mendiami desa-desa di Kecamatan Batang Lupar dan lanjak Kabupaten Kapuas Hulu hampir semuanya tinggal di rumah panjang yang mereka sebut rumah panjae.
Punahnya rumah panjang merupakan bagian dari sejarah panjang mengenai penghancuran budaya Dayak di Kalimantan Barat. Penghancuran budaya Dayak telah bermula sejak masuknya agama baru, baik Islam maupun Kristen. Orang Dayak yang masuk Islam mengidentifikasi diri sebagai orang Islam, yang berarti meninggalkan identitas mereka sebagai orang Dayak. Demikian juga, para penyebar agama Kristen yang mengemban tugas yang mereka sebut La mission sacre (tugas suci). Orang Dayak yang tidak menganut Nasrani disebut kafir, menyembah berhala, primitif, animisme dsb. Tugas Nasrani memberadabkan orang Dayak karena menganut budaya yang mereka sebut sebagai Ragi Usang. Konsep Ragi Usang ini pada prinsipnya ialah ingin mengosongkan orang Dayak dari budaya mereka sendiri (Djuweng, dalam KR, 1998:7).
Pada masa Orba salah satu bentuk penghancuran budaya Dayak adalah penghancuran rumah panjang pada tahun 1970–an karena hidup di rumah panjang dianggap menyerupai cara komunis, berbahaya bagi kesehatan, dan tidak bermoral karena melakukan seks bebas. “Kebijakan itu bukan saja menyinggung perasaan orang Dayak, melainkan juga bisa mempercepat proses kehilangan identitas mereka” (Jopsef, 1992:XVI).
Penghancuran budaya Dayak ini ternyata memiliki dampak sangat mendalam. Terdapat orang Dayak yang akhirnya malu disebut atau menyebutkan diri sebagai orang Dayak. Ada yang berpendapat citra buruk itu dapat dihapus dengan mengganti identitas diri dengan cara masuk Islam, atau menghilangkan konsonan ‘K‘ pada istilah Dayak, sehingga menjadi Daya. Namun, ada yang berpendapat perbaikan citra bersifat lebih luas daripada sekedar mengganti istilah Dayak, yakni meliputi perbaikan di segala sektor kehidupan orang Dayak. Menurut Djuweng (2001:82), penggantian istilak Dayak menjadi Daya tidak menguntungkan, bahkan merugikan karena justru menghilangkan etnisitas sebagai salah satu wujud identitas Daya.
Fanatisme rumah panjang selain menuntut pengadaan fisik rumah panjang sebagaimana tuntutan upacara di daerah-daerah, juga menghendaki agar fungsinya sebagai pusat kebudayaan diberlakukan kembali. Hal ini terlihat dari keinginan memusatkan segala kegiatan Gawai Dayak di rumah panjang. Dengan kata lain, fanatisme rumah panjang, menyangkut rumah panjang sebagai pusat kebudayaan yang meliputi bergai sistem sosial yang ada di dalamnya. Gawai Dayak menjadi proses penelusuran kembali salah satu identitas penting dalam budaya Dayak yang terlindas sejarah masa lalu.
Harian Akcaya (30 Mei 1994: 03), berkaitan dengan pelaksanaan Maka‘ Dio di Kabupaten Sambas menulis “Upacara Maka‘ Dio, kata Libertus, suatu wadah komunikasi budaya asli daerah yang perlu dilestarikan sebagai bahan dalam usaha menyukseskan pembangunan. Selain itu, hal ini juga mengenal dan memantapkan identitas Dayak dalam bentuk yang mudah dikenal dan diamati oleh masyarakat.
Dalam harian yang sama tertulis, “Gubernur dalam sambutannya mengatakan upacara adat Naik Dango dilihat dari kacamata budaya perlu dilestarikan karena mempunyai nilai budaya yang perlu diangkat ke permukaan sehingga identitas budaya suku Dayak di Kabupaten Pontianak dapat dikenal sebagai sesuatu yang menarik, baik wisman maupun domestik (Akcaya, 29 April, 1994:03).
Dikaitkan dengan penghancuran rumah panjang di masa silam, penegasan kembali identitas budaya rumah panjang juga dapat dilihat sebagai proses perlawanan panjang atas sejarah untuk memperoleh kembali apa yang sebelumnya dipaksahilangkan melalui penghancuran budaya Dayak, yakni pengakuan dan penghargaan terhadap orang Dayak sebagai sesama dengan segala kekhasannya. Orang Dayak tidak ingin sekedar dianggap ada, tetapi hak-hak mereka sebagai warga dihormati dan dihargai. Dalam perspektif ini Gawai Dayak tidak hanya strstegis bagi pengembangan seni budaya Dayak, tetapi juga strategi bagi membangun dimensi kemanusiaan penting lainnya, yakni perasaan sederajat, dan keyakinan terhadap budaya sendiri.
E.     Pembuka Wawasan Pluralitas
Kalbar tergolong wilayah yang rentan konfliks bernuansa etnis. Kondisi ini tidak lepas dari kebijakan penyeragaman semasa Orba. Penyeragaman di bidang seni budaya merupakan tindakan sensor terselubung yang mengekang kebebasan berekspresi dan kreativitas. Dengan konsep budaya nasional sebagai puncak budaya daerah, negara mendapat legitimasi menentukan seni budaya daerah yang boleh berkembang dan tidak, bahkan menghancurkan kebudayaan tertentu yang dinilai menghambat agenda ekploitasi pusat terhadap daerah. Tekanan juga dilakukan dengan melancarkan istilah-istilah negatif bagi kebudayaan daerah seperti terbelakang, tidak modern, kafir, primitif, dsb. Hasilnya adalah masyarakat tidak terbiasa hidup dalam perbedaan dan tidak bisa menghargai perbedaan. Menurut Kusni (1994:50), masyarakat yang tidak tumbuh dalam budayanya menyuburkan gejala skeptifisme dan ketidakacuhan terhadap lingkungan.
Bagi masyarakat yang tidak terbiasa dengan perbedaan, perbedaan budaya cenderung dilihat sebagai alasan untuk mengambil jarak, bahkan alasan untuk saling menekan. Penyeragaman menumbuhkan sikap konfrontatif dalam memandang kondisi pluralistik. Persoalan individual mudah memancing sentimen etnik, dan persoalan kecil mudah berkembang menjadi konfliks berskala besar. Situasi penyeragaman di satu sisi menyebabkan setiap kelompok cenderung tetap terisolasi, di sisi lain tidak memiliki arah berkembang yang jelas karena budaya nasional yang dijadikan kiblat tidak jelas wujudnya. Akibatnya, masyarakat daerah retak-retak dalam pluralisme dan budaya menjadi kerdil.
Menurut Awuy (2000:1), salah satu upaya eliminasi kebijakan penyeragaman adalah mengakui bahwa kekuasaan yang tidak realistis pada prinsipnya menyangkal keberagaman dan kepentingan sebagaimana muncul dari keberagaman budaya kita. Artinya, pembukaan wawasan pluralitas pertama-tama menghendaki adanya kesadaran bahwa stigmatisasi sosial budaya, berbagai pandangan negatif terhadap kebudayaan daerah, termasuk seni budaya adalah anak kandung dari penyeragaman pusat sebagai strategi mempertahankan dominasi atas daerah. Berikutnya, perlu ditumbuhkan kecintaan terhadap budaya sendiri dan penghargaan terhadap budaya yang berbeda. Dalam konteks ini, Gawai Dayak menjadi salah satu event budaya selain dapat menumbuhkan kecintaan terhadap budaya Dayak, sekaligus mempertegas identitas orang Dayak sebagai media pemahaman budaya bagi pihak lainnya. Gawai Dayak diharap menjadi fenomena budaya yang dapat menumbuhkan sikap mau menghargai perbedaan dan sensitivitas terhadap perbedaan.
Di mata aktivis Gawai Dayak, keberadaan Gawai harus dipertahankan karena menjadi sarana pendidikan dan pewarisan budaya bagi generasi muda Dayak dan media berkomunikasi dengan pihak lainnya. Dalam masyarakat yang pluralistik, pemberdayaan dan pelestarian setiap unsur budaya menjadi hal penting mengingat setiap budaya/tradisi memberikan pegangan bagi pemilik budaya dalam menata kehidupannya, baik dalam berhubungan dengan sesama, lingkungan dan Sang Pencipta, serta memberikan identitas jelas agar dapat berkomunikasi (dialog) secara sejajar dengan pihak lainnya. Kusni (1994:50), mengatakan bahwa yang memiliki tempat dalam dialog budaya nasional hanyalah mereka yang memiliki kebudayaan yang hidup, setia, dan bertolak dari asalnya dan penuh kreativitas.
Hilangnya identitas dapat menyebabkan hilangnya pengakuan, kepincangan komunikasi, kebijakan yang diskriminatif, dan berbagai bentuk kecemburuan sosial yang dapat menyebabkan keretakan, bahkan konflik dalam pluralitas. Dalam perspektif ini penegasan identitas penting bagi memupuk kesadaran akan kemajemukan, sedangkan bagi pemilik budaya, penegasan identitas penting sebab sebagaimana diungkap Kusni (1994:50), apabila keadaan tanpa kreativitas berlangsung terus, kebudayaan Dayak akan didominasi sehingga yang tertinggal hanyalah darah yang mengalir secara alami. Namun, secara kebudayaan hal itu sudah menjadi tidak jelas sehingga pengingkaran diri sebagai orang Dayak gampang terjadi.
F.     Kesimpulan
Gawai Dayak merupakan satu-satunya peristiwa budaya Dayak Kalimantan Barat yang digelar rutin setiap tahun di Pontianak pada setiap Mei. Event budaya ini berakar dari tradisi terpenting suku Dayak, yakni upacara adat perladangan. Masyarakat Dayak mengenal 18 tahapan upacara adat perladangan. Upacara adat terakhir adalah Naik Dango. Upacara Naik Dango inilah yang selanjutnya disuguhkan dalam kemasan baru menjadi Gawai Dayak di tingkat Propinsi.
Beberapa hal yang mendukung pelaksanaan Gawai Dayak, antara lain, spirit kebersamaan kelompok urban telah dipandang sebagai tradisi dan dukungan masyarakat budaya.
Bagi masyarakat Dayak, Gawai Dayak merupakan peristiwa budaya yang strategis dalam arti membuka peluang menghadirkan kembali budaya rumah panjang, dan memulihkan kembali dimensi kemanusiaan yang sebelumnya telah dicabik-cabik, yakni perasaan sederajat dan keyakinan terhadap budaya sendiri.
Di tengah-tengah masyarakat Kalimantan Barat yang pluralistik, Gawai Dayak diharapkan menjadi media yang potensial untuk menumbuhkan sensitivitas dan penghargaan terhadap perbedaan, khususnya perbedaan seni dan budaya. Sensitivitas dan penghargaan terhadap perbedaan ini penting karena penyangkalan terhadap keragaman kepentingan sebagaimana muncul dari keberagaman budaya merupakan tindakan penindasan yang menghasilkan masyarakat yang tidak terbiasa dengan perbedaan dan rawan konflik. Dari persfektif ini, Gawai Dayak dapat dipandang sebagai salah satu media pembuka wawasan pluralitas.





Sumber :
 Humaniora Volume XIII, No. 3/2001
Herman Ivo, Doktotandus, Magister Pendidikan, Staf pengajar Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Tanjungpura, Pontianak
Akcaya. 21 /9/ 1997:16. Berita: “Gawai Gayak Masih Minim Dana”.
Akcaya. 30/5/1994. Berita: “Maka‘ Dio, Memantapkan Identitas Dayak”.
Akcaya. 29/4/1994:3. Berita:”Aswin: Upacara Adat Naik Dango Perlu Diangkat