BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar
Belakang
Penyelenggaraan pembelajaran merupakan salah satu tugas utama guru,
dimana pembelajaran dapat diartikan sebagai kegiatan yang ditunjukan untuk
membelajarkan siswa. Untuk dapat membelajarkan siswa nya, salah satu cara yang
dapat ditempuh oleh guru ialah dengan menerapkan CBSA dalam proses
pembelajaran. Baik CBSA maupun PKP merupakan pendekatan Pembelajaran yang
tersurat dan tersirat dalam kurikulum yang berlaku
Anda sebagai calon guru, tentu nya
berkepentingan untuk mengetahui apa dan bagaimana cara belajar siswa aktif itu
serta apa dan bagaimana pula PKP. Sebagai calon tenaga professional, Anda tentu
bertanya apa mengapa CBSA dan PKP.
CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) dan PKP menuntut keterlibatan mental siswa
terhadap bahan yang dipelajari. CBSA dan PKP menuntut keterlibatan mental yang
tinggi sehingga terjadi proses-proses mental yang berhubungan dengan
aspek-aspek kognitif, afektif dan psikomolorik. Melalui proses kognitif
pembelajaran akan memiliki penguasaan konsep dan prinsip. Akan tetapi dengan
CBSA para pembelajar dapat melatih diri menyelesaikan tugas-tugas yang
diberikan kepada mereka. Tidak untuk dikerjakan di rumah tetapi dikerjakan
dikelas secara bersama-sama.
B.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang
diuraikan di atas, maka disusun rumusan masalah sebagai berikut :
1.
Apakah
Pengertian CBSA dalam Belajar dan
pembelajaran ?
2.
Apa Saja Dasar-Dasar
Pemikiran Pendekatan CBSA ?
3. Bagaimanakah Hakikat Pendekatan CBSA ?
4.
Bagaimanakah
Rasionalisasi CBSA dalam Pembelajaran ?
5.
Bagaimanakah Kadar CBSA dalam
Pembelajaran ?
6. Bagaimanakah Rambu-Rambu Penyelenggaraan CBSA ?
7. Apa Saja Prinsip-Prinsip Pendekatan CBSA ?
8. Bagaimanakah Penerapan CBSA ?
9.
Bagaimanakah Pendekatan Keterampilan Proses sebagai Bagian dari CBSA ?
C.Tujuan dan Manfaat
Adapun tujuan dan Manfaat dari
makalah yang kami sajikan berikut ini yaitu :
1) Bagi siswa :
1. Diharapkan siswa dapat aktif baik
dalam mengajukan pertanyaan maupun dalam mencari bahan-bahan pelajaran yang
mendukung apa yang tengah dipelajari.
2. Bisa bekerjasama dengan membuat
kelompok-kelompok belajar.
3. Bersifat demokratis, berani
menyampaikan gagasan, mempertahankan gagasan dan sekaligus berani pula menerima
gagasan orang lain.
2) Bagi guru :
1. Harus lebih aktif, khususnya dalam
mempersiapkan bahan pelajaran.
2. Merencanakan proses yang akan
dilaksanakan, mempersiapkan evaluasi dan tindak lanjut.
BAB II
PEMBAHASAN TEORI
A.Pengertian
Pendekatan CBSA
Pada umumnya metode
lebih cenderung disebut sebuah pendekatan. Dalam bahasa Inggris dikenal
dengan*kata “approach” yang dimaksudnya juga “pendekatan”. Di dalam kata
pendekatan ada unsur psikhis seperti halnya yang ada pada proses belajar
mengajar. Semua guru profesional dituntut terampil mengajar tidak semata-mata
hanya menyajikan materi ajar. lapun dituntut memiliki pendekatan mengajar
sesuai dengan tujuan instruksional.
Sejak dulu selalu dibicarakan masalah cara
mengajar guru di kelas. Cara mengajar dipakainya dengan istilah metode
mengajar. Metode diartikan cara. Jika diperhatikan berbagai metode yang dikenal
dalam dunia pendidikan atau pembelajaran dan jumlahnya makin mengembang, maka
dipertanyakan apakah metode itu. Ada beberapa jawaban untuk itu di antaranya,
“Cara-cara penyajian bahan
pembelajaran”. Dalam bahasa Inggris disebut “method”. Dalam kata metode
tercakup beberapa faktor seperti, penentuan urutan bahan, penentuan tingkat
kesukaran bahan, dan suatu sistem tertentu untuk mencapai tujuan tertentu. Di
samping istilah metode yang diartikan sebuah “cara” ; bahkan ada yang
menggunakan istilah “model”.
Akan diajarkan. Piaget dan Chomsky berbeda pendapat dalam hal hakikat manusia. Piaget memandang anak-akalnya-sebagai agen yang aktif dan konstruktif yang secara perlahan-lahan maju dalam kegiatan usaha sendiri yang terus-menerus. Keduanya tidak menyukai pendekatan-pendekatan psikologis yang lebih awal. Pendekatan CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) menuntut keterlibatan mental siswa terhadap bahan yang dipelajari. Pendekatan CBSA menuntut keterlibatan mental vang tinggi sehmgga terjadi proses-proses mental yang berhubungan dengan aspek-aspek kognitif, afektif dan psikomolorik. Melalui proses kognitif pembelajar akan memiliki penguasaan konsep dan prinsip.
Apakah sebenarnya yang dimaksud dengan CBSA ? Konsep CBSA yang dalam
bahasa Inggris disebut Student Active Learning (SAL) dapat membantu pengajar
meningkatkan daya kognitif pembelajar. Kadar aktivitas pembelajar masih rendah
dan belum terpogram. Akan tetapi dengan CBSA para pembelajar dapat melatih diri
menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan kepada mereka. Tidak untuk dikerjakan
di rumah tetapi dikerjakan dikelas secara bersama-sama.
Pada umumnya metode lebih cenderung
disebut sebuah pendekatan. Dalam bahasa Inggris dikenal dengan kata “approach”
yang dimaksudnya juga “pendekatan”. Di dalam kata pendekatan ada unsur psikhis
seperti halnya yang ada pada proses belajar mengajar. Piaget dan Chomsky
berbeda pendapat dalam hal hakikat manusia. Piaget memandang
anak-akalnya-sebagai agen yang aktif dan konstruktif yang secara perlahan-lahan
maju dalam kegiatan usaha sendiri yang terus-menerus. Konsep CBSA yang dalam bahasa
Inggris disebut Student Active Learning (SAL) dapat membantu pengajar
meningkatkan daya kognitif pembelajar. Kadar aktivitas pembelajar masih rendah
dan belum terpogram. Setiap proses
pembelajaran pasti menampakan keaktifan orangyang belajar atau siswa. Pernyatan
ini tidak bisa kita bantah atau kita tolak kebenaran nya. Adanya kenyataan in,
menyebabkan sulitnya mendefinisikan pengertian pendekatan CBSA secara tepat.
Kepastian adanya keaktifan siswa dalam setiap proses
pembelajaran, memberikan kepastian kepada kita bahwa pendekatan CBSA bukan lah
suatu hal yang di kotomis. Hal ini berarti, setiap peristiwa pembelajaran yang
di selenggrakan oleh guru dapat di pastikan adanya penerapan pendekatan CBSA
dan tidak mungkin tidak terjadi penerapan pendekatan CBSA dalam peristiwa
pembelajaran.
Keaktifan siswa
dalam peristiwa pembelajaran mengambil beraneka bentuk kegiatan, dari kegiatan
fisik yang mudah diamati. Kegiatan fisik yang dapat diamati sampai kegiatan
psikis yang sulit diamati diantara nya dalam kegiatan membaca, mendengarkan, menulis,
meragakan, dan mengukur. Namun demikian, semua kegiatan tersebut harus
dipulangkan kepada suatu karekteristik, yaitu keterlibatan intelektual-emosional
siswa dalam pembelajaran.
Berdasarkan
dari alinea sebelumnya. Dapatlah di simpulkan mengenia pertain CBSA. Dimana
pendekatan CBSA dapat diertikan sebagai anutan pembelajaran yang mengarah
kepada pengoptimalisasian keterlibatan intelektual-emosional siswa dalam proses
pembelajaran, dalam pelibatan fisik siswa apabila diperlukan. Pelibatan
intelektual-emosional/fisik siswa serta oftimalisasi dalam pembelajaran,
diarahkan untuk membelajarkan siswa bagaimana belajar memperoleh dan memproses perolehan
belajar tentang pengetahuan, keterampilan,sikap, dan nilai
B. Dasar-Dasar Pemikiran Pendekatan
CBSA
Usaha penerapan dan peningkatan CBSA
dalam kegiatan Belajar Mengajar (KBM) merupakan usaha “proses pembangkitan
kembali” atau proses pemantapan
konsep CBSA yang telah ada. Untuk itu perlu dikaji alasan-alasan kebangkitan
kembali dan usaha peningkatan CBSA dasar dan alasan usaha peningkatan CBSA
secara rasional adalah sebagai berikut:
1. Rasional atau dasar pemikiran dan
alasan usaha peningkatan CBSA dapat ditinjau kembali pada hakikat CBSA dan
tujuan pendekatan itu sendiri. Dengan cara demikian pembelajar dapat diketahui
potensi, tendensi dan terbentuknya pengetahuan, keterampilan dan sikap yang
dimilikinya. Pada dasarnya dapat diketahui bahwa baik pembelajar. materi
pelajaran, cara penyajian atau disebut juga pendekatan-pendekatan berkembang.
Jadi hampir semua komponen proses belajar mengajar mengalami perubahan.
Perubahan ini mengarah ke segi-segi positif yang harus didukung oleh tindakan
secara intelektual, oleh kemauan, kebiasaan belajar yang teratur, mempersenang
diri pada waktu belajar hendaknya tercipta baik di sekolah maupun di rumah.
Bukankah materi pelajaran itu banyak, bervariasi dan ini akan memotivasi
pembelajar memiliki kebiasaan belalar. Dalam hubungannya dengan CBSA salah satu
kompetensi yang dituntut ialah memiliki kemampuan profesional, mampu memiliki
strategi dengan pendekatan yang tepat.
2. Implikasi
mental-intelektual-emosional yang semaksimal mungkin dalam kegiatan belajar
mengajar akan mampu menimbulkan nilai yang berharga dan gairah belajar menjadi
makin meningkat. Komunikasi dua arah (seperti halnya pada teori pusaran atau
kumparan elektronik) menantang pembelajar berkomunikasi searah yang kurang bisa
membantu meningkatkan konsentrasi. Sifat melit yang disebut juga ingin tahu
(curionsity) pembelajar dimotivasi oleh aktivitas yang telah dilakukan.
Pengalaman belajar akan memberi kesempatan untuk rnelakukan proses belajar
berikutnya dan akan menimbulkan kreativitas sesuai dengan isi materi pelajaran.
3. Upaya memperbanyak arah komunikasi
dan menerapkan banyak metode, media secara bervariasi dapat berdampak positif.
Cara seperti itu juga akan memberi peluang memperoleh balikan untuk menilai
efektivitas pembelajar itu. Ini dimaksud balikan tidak ditunggu sampai ujian
akhir tetapi dapat diperoleh pembelajar dengan segera. Dengan demikian
kesalahan-kesalahan dan kekeliruan dapat segera diperbaiki. Jadi, CBSA memberi
alasan untuk dilaksanakan penilaian secara efektif, secara terus-menerus melalui
tes akhir tatap muka, tes formatif dan tes sumatif.
4. Dilihat dari segi pemenuhan
meningkatkan mutu pendidikan di LP’TK (Lembaga Pendidikan Tenaga Pendidik) maka
strategi dengan pendekatan CBSA layak mendapat prioritas utama. Dengan wawasan
pendidikan sebagai proses belajar mengajar menggarisbawahi betapa pentingnya
proses belajar mengajar yang tanggung jawabnya diserahkan sepenuhnya kepada
pembelajar. Dalam hal ini materi pembelajar harus benar-benar dibuat sesuai
dengan kemampuan berpikir mandiri, pembentukan kemauan si pembelajar. Situasi
pembelajar mampu menumbuhkan kemampuan dalam memecahkan masalah secara abstrak,
dan juga mencari pemecahan secara praktik.
C. Hakikat Pendekatan CBSA
Siswa pada hakekatnya memiliki
potensi atau kemampuan yang belum terbentuk secara jelas, maka kewajiban
gurulah untuk merangsang agar mereka mampu menampilkan potensi itu. Para guru
dapat menumbuhkan keterampilan-keterampilan pada siswa sesuai dengan taraf
perkembangannya, sehingga mereka memperoleh konsep. Dengan mengembangkan
keterampilan-keterampilan memproses perolehan, siswa akan mampu menemukan dan
mengembangkan sendiri fakta dan konsep serta mengembangkan sikap nilai yang
dituntut. Proses belajar-mengajar seperti inilah yang dapat menciptakan siswa
belajar aktif.
Hakekat dari CBSA adalah proses
keterlibatan intelektual-emosional siswa dalam kegiatan belajar mengajar yang
memungkinkan terjadinya:
- Proses
asimilasi / pengalaman kognitif, yaitu: yang memungkinkan terbentuknya
pengetahuan.
- Proses
perbuatan / pengalaman langsung, yaitu: yang memungkinkan terbentuknya
keterampilan.
- Proses
penghayatan dan internalisasi nilai, yaitu: yang memungkinkan terbentuknya
nilai dan sikap.
Walaupun demikian, hakekat CBSA
tidak saja terletak pada tingkat keterlibatan intelektual-emosional, tetapi
terutama juga terletak pada diri siswa yang memiliki potensi, tendensi atau
kemungkinan yang menyebabkan siswa itu selalu aktif dan dinamis. Oleh sebab itu
guru diharapkan mempunyai kemampuan profesional sehingga ia dapat menganalisis
situasi instruksional kemudian mampu merencanakan sistem pengajaran yang
efektif dan efesien. Dalam menerapkan konsep CBSA, hakekat CBSA perlu
dijabarkan menjadi bagian-bagian kecil yang dapat kita sebut sebagai
prinsip-prinsip CBSA sebagai suatu tingkah laku konkret yang dapat diamati.
Dengan demikian dapat kita lihat tingkah laku siswa yang muncul dalam suatu
kegiatan belajar mengajar.
Dasar dan Hakikat CBSA
Usaha penerapan dan peningkatan CBSA
dalam kegiatan Belajar Mengajar (KBM) merupakan usaha “proses pembangkitan
kembali” atau proses pemantapan konsep CBSA yang telah ada. Untuk itu perlu
dikaji alasan-alasan kebangkitan kembali dan usaha peningkatan CBSA dasar dan
alasan usaha peningkatan CBSA secara rasional adalah sebagai berikut:
ü Rasional atau dasar pemikiran dan
alasan usaha peningkatan CBSA dapat ditinjau kembali pada hakikat CBSA dan
tujuan pendekatan itu sendiri. Dengan cara demikian pembelajar dapat diketahui
potensi, tendensi dan terbentuknya pengetahuan, keterampilan dan sikap yang
dimilikinya. Pada dasarnya dapat diketahui bahwa baik pembelajar. materi
pelajaran, cara penyajian atau disebut juga pendekatan-pendekatan berkembang.
Jadi hampir semua komponen proses belajar mengajar mengalami perubahan.
Perubahan ini mengarah ke segi-segi positif yang harus didukung oleh tindakan secara intelektual, oleh kemauan, kebiasaan belajar yang teratur, mempersenang diri pada waktu belajar hendaknya tercipta baik di sekolah maupun di rumah. Bukankah materi pelajaran itu banyak, bervariasi dan ini akan memotivasi pembelajar memiliki kebiasaan belalar. Dalam hubungannya dengan CBSA salah satu kompetensi yang dituntut ialah memiliki kemampuan profesional, mampu memiliki strategi dengan pendekatan yang tepat.
Perubahan ini mengarah ke segi-segi positif yang harus didukung oleh tindakan secara intelektual, oleh kemauan, kebiasaan belajar yang teratur, mempersenang diri pada waktu belajar hendaknya tercipta baik di sekolah maupun di rumah. Bukankah materi pelajaran itu banyak, bervariasi dan ini akan memotivasi pembelajar memiliki kebiasaan belalar. Dalam hubungannya dengan CBSA salah satu kompetensi yang dituntut ialah memiliki kemampuan profesional, mampu memiliki strategi dengan pendekatan yang tepat.
ü Implikasi
mental-intelektual-emosional yang semaksimal mungkin dalam kegiatan belajar
mengajar akan mampu menimbulkan nilai yang berharga dan gairah belajar menjadi
makin meningkat. Komunikasi dua arah (seperti halnya pada teori pusaran atau
kumparan elektronik) menantang pembelajar berkomunikasi searah yang kurang bisa
membantu meningkatkan konsentrasi. Sifat melit yang disebut juga ingin tahu
(curionsity) pembelajar dimotivasi oleh aktivitas yang telah dilakukan.
Pengalaman belajar akan memberi kesempatan untuk rnelakukan proses belajar
berikutnya dan akan menimbulkan kreativitas sesuai dengan isi materi pelajaran.
ü Upaya memperbanyak arah komunikasi
dan menerapkan banyak metode, media secara bervariasi dapat berdampak positif.
Cara seperti itu juga akan memberi peluang memperoleh balikan untuk menilai
efektivitas pembelajar itu. Ini dimaksud balikan tidak ditunggu sampai ujian
akhir tetapi dapat diperoleh pembelajar dengan segera. Dengan demikian
kesalahan-kesalahan dan kekeliruan dapat segera diperbaiki. Jadi, CBSA memberi
alasan untuk dilaksanakan penilaian secara efektif, secara terus-menerus
melalui tes akhir tatap muka, tes formatif dan tes sumatif.
ü Dilihat dari segi pemenuhan
meningkatkan mutu pendidikan di LP’TK (Lembaga Pendidikan Tenaga Pendidik) maka
strategi dengan pendekatan CBSA layak mendapat prioritas utama. Dengan wawasan
pendidikan sebagai proses belajar mengajar menggarisbawahi betapa pentingnya
proses belajar mengajar yang tanggung jawabnya diserahkan sepenuhnya kepada
pembelajar. Dalam hal ini materi pembelajar harus benar-benar dibuat sesuai
dengan kemampuan berpikir mandiri, pembentukan kemauan si pembelajar. Situasi
pembelajar mampu menumbuhkan kemampuan dalam memecahkan masalah secara abstrak,
dan juga mencari pemecahan secara praktik.
Siswa pada hakekatnya memiliki potensi atau kemampuan yang
belum terbentuk secara jelas, maka kewajiban gurulah untuk merangsang agar
mereka mampu menampilkan potensi itu. Para guru dapat menumbuhkan
keterampilan-keterampilan pada siswa sesuai dengan taraf perkembangannya,
sehingga mereka memperoleh konsep. Dengan mengembangkan
keterampilan-keterampilan memproses perolehan, siswa akan mampu menemukan dan
mengembangkan sendiri fakta dan konsep serta mengembangkan sikap dan nilai yang
dituntut. Proses belajar-mengajar seperti inilah yang dapat menciptakan siswa belajar
aktif.
Hakekat dari CBSA adalah proses keterlibatan
intelektual-emosional siswa dalam kegiatan belajar mengajar yang memungkinkan
terjadinya:
a. Proses asimilasi/pengalaman kognitif, yaitu: yang memungkinkan terbentuknya pengetahuan
b. Proses perbuatan/pengalaman langsung, yaitu: yang memungkinkan terbentuknya keterampilan
c. Proses penghayatan dan internalisasi nilai, yaitu: yang memungkinkan terbentuknya nilai dan sikap
Walaupun demikian, hakekat CBSA tidak saja terletak pada tingkat keterlibatan intelektual-emosional, tetapi terutama juga terletak pada diri siswa yang memiliki potensi, tendensi atau kemungkinan kemungkinan yang menyebabkan siswa itu selalu aktif dan dinamis. Oleh sebab itu guru diharapkan mempunyai kemampuan profesional sehingga ia dapat menganalisis situasi instruksional kemudian mampu merencanakan sistem pengajaran yang efektif dan efisien. Dalam menerapkan konsep CBSA, hakekat CBSA perlu dijabarkan menjadi bagian-bagian kecil yang dapat kita sebut sebagai prinsip-pninsip CBSA sebagai suatu tingkah laku konkret yang dapat diamati. Dengan demikian dapat kita lihat tingkah laku siswa yang muncul dalam suatu kegiatan belajar mengajar.
a. Proses asimilasi/pengalaman kognitif, yaitu: yang memungkinkan terbentuknya pengetahuan
b. Proses perbuatan/pengalaman langsung, yaitu: yang memungkinkan terbentuknya keterampilan
c. Proses penghayatan dan internalisasi nilai, yaitu: yang memungkinkan terbentuknya nilai dan sikap
Walaupun demikian, hakekat CBSA tidak saja terletak pada tingkat keterlibatan intelektual-emosional, tetapi terutama juga terletak pada diri siswa yang memiliki potensi, tendensi atau kemungkinan kemungkinan yang menyebabkan siswa itu selalu aktif dan dinamis. Oleh sebab itu guru diharapkan mempunyai kemampuan profesional sehingga ia dapat menganalisis situasi instruksional kemudian mampu merencanakan sistem pengajaran yang efektif dan efisien. Dalam menerapkan konsep CBSA, hakekat CBSA perlu dijabarkan menjadi bagian-bagian kecil yang dapat kita sebut sebagai prinsip-pninsip CBSA sebagai suatu tingkah laku konkret yang dapat diamati. Dengan demikian dapat kita lihat tingkah laku siswa yang muncul dalam suatu kegiatan belajar mengajar.
D. Rasionalisasi CBSA dalam Pembelajaran
Kita telah memasuki ambang
“masyarakat belajar” , yaitu masyarakat yang menghendaki pendidikan masa seumur
hidup (Husen, 1988;41). Untuk mempersiapkan siswa menghadapi hal tersebut.
Sedangkan Gege dan Berliner secara sederhana
mengungkapkan bahwa belajar dapat didefinisikan sebagai suatu proses yang
membuat seseorang mengalami perubahan tingkah laku sebagai hasil dari
pengalaman yang diperolehnya (Gege dan Berliner, 1984 : 252).
Walaupun telah
lama kita menyadari bahwa belajar memerlukan keterlibatan secara aktif dari
orang yang belaja, kenyatan nya masih menunjukan kecendrungan meminimalkan
peran dan keterlibatan siswa. Dominasi guru dalam proses pembelajaran menyebabkan siswa lebih banyak berperan dan
terlibat secara pasif, mereka lebih banyak menunggu sajian dari guru daripada
mencari dan menemukan sendiri pengetahuan, keterampilan serta sikap yang mereka
butuhkan. Apabila kondisi proses pembelajaran yang memaksimalkan peran dan
keterlibatan guru serta meminimalkan peran dan keterlibatan siswa yang terjadi
di pendidikan dasar, termasuk pada sekolah dasar akan mengakibatkan sulit
tercapai nya tujuan pendidikan dasar yakni meletakkan dasar yang dapat di pakai
sebagai batu lonjatan untuk menggapai pendidikan yang lebih tinggi, di samping
kemampuan dan kemauan untuk belajar terus-menerus sepanjang hayatnya.
Dengan penerapan CBSA, siswa di harapkan akan lebih
mampu mengenal dan mengembangkan kapasitas belajar dan potensi yang dimiliki
secara penuh, menyadari dan dapat menggunakan potensi sumber belajar yang terdapat
di sekitarnya.
1.Penerapan
CBSA dalam Proses belajar mengajar
Kita telah memasuki ambang “
masyarakat belajar”, yaitu masyarakat yang menghendaki pendidikan masa seumur hidup
(Huse, 1988: 41 ). Untuk mempersiapkan siswa menghendaki hal tersebut, kita
perlu memikirkan jawaban atas pertanyaan : Cara–cara bagaimana siswa memperoleh
dan meresepkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang menjadi kebutuhannya?
Dengan kata lain, guru hendaknya tidak hanya menyibukkan dirinya dengan
kegiatan pemaksimalan penyajian isi pelajaran saja. Yang lebih penting dari
pada itu, guru hendaknya memikirkan cara siswa belajar.
Untuk menjawab permasalahan yang terkandung dalam pertanyaan di atas, perlu kiranya mengkaji konsep belajar terlebih dahulu. Sudah sejak lama manusia mencoba mengkaji konsep belajar.
Untuk menjawab permasalahan yang terkandung dalam pertanyaan di atas, perlu kiranya mengkaji konsep belajar terlebih dahulu. Sudah sejak lama manusia mencoba mengkaji konsep belajar.
John
Dewey misalnya (1916 dalam Davies, 1987:31) menekankan bahwa:
untuk
dirinya sendiri, maka inisiatif harus datang dari murid-murid sendiri. Guru
adalah pembimbing dan pengarah, yang mengemudikan perahu, tetapi tenaga untuk
tampak dalam proses belajar mengajar?.
tampak dalam proses belajar mengajar?.
Kita
mengetahui, bahkan telah dan bisa melakukan, bahwa proses belajar mengajar
menempuh dua tahapan. Tahapan pertama adalah perencanaan dan tahapan kedua ialah Perencanaan
proses belajar mengajar berwujud dalam bentuk satuan pelajaran yang berisi
rumusan tujuan pengajaran (tujuan intruksional), bahan pengajaran, kegiatan
belajar siswa, metode dan alat bantu belajar, dan penilaian. Sedangkan tahap
pelaksanaan proses belajar mengajar adalah pelaksanaan satuan pelajaran pada
saat praktek pengajaran, yakni interaksi guru dan siswa pada saat pengajaran
itu berlangsung.
Cara
belajar siswa aktif (CBSA) harus tercermin dalam kedua hal di atas, yakni dalam
satuan pengajaran dan dalam praktek pengajaran. Dalam satuan pengajaran,
pemikran CBSA tercermin dalam rumusan isi satuan pelajaran sebab satuan
pelajaran pada hakikatnya adalah rencana atau proyeksi tindakan yang akan
dilakukan oleh guru pada waktu belajar. Dengan demikian, guru yang akan
mengajar dengan penekanan pada CBSA harus memikirkan hal-hal apa yang akan
dilakukan serta menuangkannya secara tertulis ke dalam satuan pelajaran. Di
mulai dari merumuskan tujuan instruksional khusus (TIK), guru harus memberikan
peluang bahwa pencapaian tujuan tersebut menuntut kegiatan belajar siswa yang
optimal. Merumuskan bahan pelajaran harus diatur agar menantang siswa aktif mempelajarinya.
Kegiatan belajar siswa ditetapkan dan diurutkan secara sistematis sehingga
memberi peluang adanya kegiatan belajar bersama, kegiatan belajar kelompok, dan
kegiatan belajar mandiri atau perseorangan. Metode belajar dan alat bantu
pengajar diusahakan dan dipilih oleh guru agar menumbuhkan belajar aktif siswa,
bukan mengajar aktif dari guru. Tempat posisi guru sebagai pemimpin dan
fasilitator belajar bagi siswa. Demikian pula dalam hal penilaian, guru
hendaknya menyusun sejumlah pertanyaan yang problematis, sehingga menuntut
siswa mencurahkan pemikirannya secara optimal; kalau perlu berkaitan
tugas-tugas yang harus dikerjakan di kelas ataupun di rumah.
Oleh
sebab itu, peranan satuan pelajaran dalam proses belajar mengajar yang
menekankan CBSA bukan semata-mata tuntutan administrasi guru, melainkan
merupakan bagian penting dari praktek pengajaran agar diperoleh hasil belajar
siswa yang optimal.
Sudah barang tentu pemikiran-pemikiran yang telah dituangkan ke dalam satuan pelajaran harus secara konsekuen dipraktekan pada waktu guru mengajar, bukan sekedar rencana di atas kertas.
Sudah barang tentu pemikiran-pemikiran yang telah dituangkan ke dalam satuan pelajaran harus secara konsekuen dipraktekan pada waktu guru mengajar, bukan sekedar rencana di atas kertas.
Praktek
pengajaran tersebut atau pelaksanaan satuan pelajaran yang telah dibuat,
wujudnya tidak lain adalah tindakan guru mengajar siswa, yakni adanya interaksi
antara guru dengan siswa dalam rangka mencapai tujuan pengajaran. Dengan
berpedoman kepada satuan pelajaran yang telah dibuat, guru harus menciptakan
lingkungan belajar yang mendorong semua siswa aktif melakuakan kegiatan belajar
secara nyata.
Ada beberapa ciri yang harus tampak dalam
proses belajar tersebut, yakni:
a. Situasi
kelas menantang siswa melakukan kegiatan belajar secara bebas, tetapi
terkendali.
b. Guru
tidak mendominasi pembicaraan tetapi lebih banyak memberikan rangsangan
berfikir kepada siswa untuk
memecahkan masalah.
c. Guru
menyediakan dan mengusahakan sumber belajar bagi siswa, bisa sumber
tertulis,
sumber manusia, misalnya murid itu sendiri menjelaskan permasalahan
kepada murud lainnya, berbagai media yang diperlukan, alat bantu pengajaran,
termasuk guru sendiri sebagai sumber belajar.
d. Kegiatan
belajar siswa bervariasi; ada kegiatan yang sifatnya bersama-sama dilakukan
oleh semua siswa, kelompok dan bentuk diskusui, dan ada pula kegiatan belajar
yang harus dilakukan oleh setiap siswa secara mandiri. Penetapan kegiatan
belajar tersebut diatur oleh guru secara mandiri. Penetapan kegiatan belajar
tersebut diatur guru secara sistematis dan terencana.
e. Hubungan
guru dan siswa sifatnya harus mencerminkanhubungan manusiawi bagaikan hubungan bapak-anak,
bukan hubungan pemimpin dengan bawahan. Guru menempatkan diri sebagai
pembimbing semua siswa yang memerlukan bantuan manakala mereka menghadapi
persoalan belajar.
f. Situasi dan kondisi kelas tidak kaku terikat
dengan suasana yang mati, tetapi sewaktu-waktu diubah sesuai dengan kebutuhan
siswa.
g. Belajar
tidak hanya diukur dan dilihat dari segi hasilyang dicapai siswa, tetapi juga
dilihat dan diukur dari segi proses belajar yang dilakukan oleh para siswa.
h. Adanya
keberanian siswa mengajukan pendapatnya melalui pertanyaan atau pernyataan
gagasannya, baik yang diajukan kepada guru maupun kepada siswa lainnya dalam
pemecahan masalah belajar.
i. Guru
senantiasa menghargai pendapat para siswa, terlepas dari benar atau salah, dan
tidak diperkenankan membunuh, mengurangi, atau menekan pendapat siswa di depan
siswa lainnya. Guru bahkan harus mendorong siswa agar selalu mengajukan
pendapatnyasecara bebas.
Ciri-ciri di atas merupakan sebagian kecil
dari hakikat dari hakikat belajar siswa aktif dalam praktek pengajaran. Untuk
dapat mewujudkan ciri-ciri di atas bukanlah hal yang mudah. Hal itu memerlukan
pengenalan teori strategi mengajar dan teori penyusunan satuan pengajaran.
Sedangkan Gage dan Berliner secara sederhana mengungkapkan bahwa belajar dapat didefinisikan sebagai suatu proses yang membuat seseorang mengalami Berliner, 1984 : 252)
Dari batasan belajar yang dikemukakan oleh Dewey serta Gage dan Berliner, kita dapat menandai bahwa belajar merupakan suatu proses yang melibatkan manusia secara orang per orang sebagai satu kesatuan organisasi sehingga terjadi perubahan pada pengetahuan, keterampilan, dan sikapnya.
Dengan demikian, dalam belajar orang tidak mungkin melimpahkan tugas-tugas belajarnya kepada orang lain. Orang yang belajar adalah orang yang mengalami sendiri proses belajar.
Sedangkan Gage dan Berliner secara sederhana mengungkapkan bahwa belajar dapat didefinisikan sebagai suatu proses yang membuat seseorang mengalami Berliner, 1984 : 252)
Dari batasan belajar yang dikemukakan oleh Dewey serta Gage dan Berliner, kita dapat menandai bahwa belajar merupakan suatu proses yang melibatkan manusia secara orang per orang sebagai satu kesatuan organisasi sehingga terjadi perubahan pada pengetahuan, keterampilan, dan sikapnya.
Dengan demikian, dalam belajar orang tidak mungkin melimpahkan tugas-tugas belajarnya kepada orang lain. Orang yang belajar adalah orang yang mengalami sendiri proses belajar.
Walaupun
telah lama kita menyadari bahwa belajar memerlukan keterlibatan secara aktif
orang yang belajar, kenyataan masih menunjukan kecendrungan yang berbeda. Dalam
proses pembelajaran masih tampak adanya kecendrungan meminimalkan peran dan
keterlibatan siswa. Dominasi guru dalam proses pembelajaran menyebabkan siswa
lebih banyak berperan dan terlibat secara pasif, mereka lebih banyak menunggu
sajian dari guru daripada mencari dan menemukan sendiri pengetahuan, keterampilan,
serta sikpa yang mereka butuhkan. Apabila kondisi proses pembelajaran yang
memaksimalkan peran dan keterlibatan guru serta meminimalkan peran dan
keterlibatan siswa terjadi pada pendidikan dasar, termasuk pada sekolah dasar
akan mengakibatkan sulit tercapainya tujuan pendiudikan dasar yakni meletakkan
dasar yang dapat di pakai sebagai batu loncatan untuk menggapai pendidikan yang
lebih tinggi, di samping kemampuan dan kemauan untuk belajar terus-menerus
sepanjang hayatnya.
Bertolak dari pemikiran-pemikiran yang terkandung dalam konsepsi pendidikan seumur hidup dan konsepsi belajar serta kenyataan proses pembelajaran, maka peningkatan penerapan CBSA merupakan kebutuhan yang harus terpenuhi. Guru hendaknya tidak lagi mengajar sekedar sebagai kegiatan menyampaikan pengetahuan, keterampilan sikap terhadap siswa. Guru hendaknya mengajar untuk membelajarkan siswa dalam konteks belajar bagaimana belajar mencari, menemukan dan meresepkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap.
Dengan penerapan CBSA, siswa diharapkan akan lebih mampu mengenal dan mengembangkan kapsitas belajar dan potensi yang dimilikinya secara penuh, menyadari dan dapat mengunakkan potensi sumber belajar yang terdapat di sekitarnya. Selain itu, siswa diharapkan lebih terlatih untuk berprakarsa, berpikir secara teratur, kritis, tanggap dan dapat menyelesaikan masalah sehari-hari, serta lebih terampil dalam menggali, menjelajah, mencari, dan mengembangkan informasi yang bermakna baginya (Raka Joni, 1992:1). Pencapaian keadaan siswa yang diharapkan melalui penerapan CBSA ini , akan memungkinkan pembentukkan sebagai ”pengabdi abadi pencari kebenaran ilmu”.
Di sisi yang lain, dengan penerapan CBSA, guru diharapkan bekerja secara professional, mengajar secara sitematis berdasarkan prinsip didaktik metodik yang berdaya guna berhasil guna ( efisien dan efektif ). Artinya guru dapat merekayasa sistem pembelajaran yang mereka laksanakan secara sistematis, dengan pemikiran mengapa dan bagaiamana menyelenggarakan kegiatan pembelajaran aktif ( Raka Joni 1992:11 ). Lambat laun penrapan CBSA pada gilirannya akan mencetak guru–guru yang potensial dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan alam dan sosial budaya.
Bertolak dari pemikiran-pemikiran yang terkandung dalam konsepsi pendidikan seumur hidup dan konsepsi belajar serta kenyataan proses pembelajaran, maka peningkatan penerapan CBSA merupakan kebutuhan yang harus terpenuhi. Guru hendaknya tidak lagi mengajar sekedar sebagai kegiatan menyampaikan pengetahuan, keterampilan sikap terhadap siswa. Guru hendaknya mengajar untuk membelajarkan siswa dalam konteks belajar bagaimana belajar mencari, menemukan dan meresepkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap.
Dengan penerapan CBSA, siswa diharapkan akan lebih mampu mengenal dan mengembangkan kapsitas belajar dan potensi yang dimilikinya secara penuh, menyadari dan dapat mengunakkan potensi sumber belajar yang terdapat di sekitarnya. Selain itu, siswa diharapkan lebih terlatih untuk berprakarsa, berpikir secara teratur, kritis, tanggap dan dapat menyelesaikan masalah sehari-hari, serta lebih terampil dalam menggali, menjelajah, mencari, dan mengembangkan informasi yang bermakna baginya (Raka Joni, 1992:1). Pencapaian keadaan siswa yang diharapkan melalui penerapan CBSA ini , akan memungkinkan pembentukkan sebagai ”pengabdi abadi pencari kebenaran ilmu”.
Di sisi yang lain, dengan penerapan CBSA, guru diharapkan bekerja secara professional, mengajar secara sitematis berdasarkan prinsip didaktik metodik yang berdaya guna berhasil guna ( efisien dan efektif ). Artinya guru dapat merekayasa sistem pembelajaran yang mereka laksanakan secara sistematis, dengan pemikiran mengapa dan bagaiamana menyelenggarakan kegiatan pembelajaran aktif ( Raka Joni 1992:11 ). Lambat laun penrapan CBSA pada gilirannya akan mencetak guru–guru yang potensial dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan alam dan sosial budaya.
2.Rasionalisasi
Pendekatan Keterampilan Proses Sebagai Bagian dari CBSA.
Rasionalisasi
Pendekatan Keterampilan Proses dalam Pengajaran Kegiatan pembelajaran
dimaksudkan agar tercipta kondisi yang memungkinkan terjadinya belajar pada
diri siswa. Dalam suatu kegiatan pembelajaran dapat dikatakan belajar, apabila
terjadi proses perubahan perilaku pada diri siswa sebagai hasil dari suatu
pengalaman.
Dari
jabaran kegiatan pembelajaran tersebut, maka dapat diidentifikasikan dua aspek
penting yang ada dalam kegiatan pembelajaran tersebut. Aspek pertama adalah
aspek hasil belajar yakni perubahan perilaku pada diri siswa. Aspek kedua
adalah aspek proses belajar yakni sejumlah pengalaman intelektual, emosional,
dan fisik pada diri siswa.
Bertolak
dari pembahasan sebelumnya, dapat secara jelas kita lihat bahwa tujuan pokok
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran di dekolah haruslah “membelajarkan siswa
bagaimana belajar”. Tujuan pokok penyelenggaraan kegiatan pembelajaran ini
mengandung makna harus tercapai, kalau kita ingin memenuhi tuntutan percepatan
perubahan yang berlangsung terus-menerus. Pada masa sekarang ini, bukanlah
waktunya lagi bagi guru untuk menjadi orang pertama-tama yang bertindak sebagai
komunikator “fakta-fakta, konsep dan prinsip-prinsip yang mantap”.
Adanya
berbagai penemuan penelitian, menyebutkan “fakta, konsep, prinsip” seringkali
berumur semakin “pendek”. Oleh karena itum tujuan pokok penyelenggaraan
kegiatan pembelajaran di sekolah secara operasional adalah membelajarkan siswa
agar mampu memproses dan memperoleh pengetahuan, keterampilan dan sikap yang
menjadi kebutuhannya. Penyelnggaraan pembelajaran seperti diidealkan pada
alinea sebelumnya, seringkali tidak terwujud dalam realitasnya di sekolah.
Kegiatan pengajaran seringkali didasarkan pada dua premis yang terkadang tidak
diungkapkan secara jelas.
Premis
pertama mengungkapkan bahwa siswa belajar sesuatu bukan karena hal yang
dipelajari menarik atau menyenangkan baginya, tetapi siswa belajar hanya ingin
mnghindarkan diri dari ketidaksenangan bila ia tidak belajar. Berdasarkan
premis ini, timbul tindakan yang mengkondisikan adanya ancaman tidak naik
kelas, nilai rendah, hukuman, dan yang lain, agar siswa belaajr. Premis kedua
mengungkapkan bahwa guru merupakan ”Motor Penggerak” yang membuat siswa terus-menerus
belajar, dari pihak siswa tiada kegiatan belajar spontan. Siswa seringkali
dipandang sebagai “gentong kosong” yang harus diisi oleh duru dengan air
pengetahuan.
Adanya dua premis seperti diungkapkan tersebut, mengakibatkan kegiatan pembelajaran cenderung menjadi kegiatan “penjajahan” atau “penjinakan” daripada sebagai kegiatan “pemanusiaan”. Terjadinya “penjajahan” atau “penjinakan”, karena siswa benar-benar dijadikan objek kegiatan pembelajaran. Berdasarkan uraian tentang kegiatan pembelajaran yang ideal dan realitas penyelnggaraan kegiatan pembelajaran di sekolah, timbul pertanyaan “apakah yang bisa dilakukan untuk mengidealkan kegiatan pembelajaran di sekolah?” Salah satu jawaban atas pertanyaan tersebut adalah penerapan Pendekatan Peterampilan Proses (PKP).
Adanya dua premis seperti diungkapkan tersebut, mengakibatkan kegiatan pembelajaran cenderung menjadi kegiatan “penjajahan” atau “penjinakan” daripada sebagai kegiatan “pemanusiaan”. Terjadinya “penjajahan” atau “penjinakan”, karena siswa benar-benar dijadikan objek kegiatan pembelajaran. Berdasarkan uraian tentang kegiatan pembelajaran yang ideal dan realitas penyelnggaraan kegiatan pembelajaran di sekolah, timbul pertanyaan “apakah yang bisa dilakukan untuk mengidealkan kegiatan pembelajaran di sekolah?” Salah satu jawaban atas pertanyaan tersebut adalah penerapan Pendekatan Peterampilan Proses (PKP).
Apabila
dikaji lebih lanjut, kita akan tiba pada kesimpulan bahwa penerapan PKP dalam
kegiatan pembelajaran didasarkan pada hal-hal berikut :
a. Percepatan perubahan
ilmu pengetahuan dan teknologi.
Percepatan perubahan IPTEK ini, tidak memungkinkan bagi guru bertindak sebagai satu-satunya orang yang menyalurkan semua fakta dan teori-teori. Untuk mengatasi hal-hal ini perlu pengembangan keterampilan memperoleh dan memproses semua fakta, konsep dan prinsip pada diri siswa.
Percepatan perubahan IPTEK ini, tidak memungkinkan bagi guru bertindak sebagai satu-satunya orang yang menyalurkan semua fakta dan teori-teori. Untuk mengatasi hal-hal ini perlu pengembangan keterampilan memperoleh dan memproses semua fakta, konsep dan prinsip pada diri siswa.
b. Pengalaman intelektual, emosional dan fisik.
Pengalaman intelektual, emosional dan fisik dibutuhkan agar didapatkan hasil belajar dari peserta didik yang optimal serta memiliki keahlian di bidangnya masing-masing. Ini berarti kegiatan pembelajaran yang mampu memberi kesempatan kepada siswa memperlihatkan unjuk-kerja melalui sejumlah keterampilan memproses semua fakta, dan prinsip sangat dibutuhkan.
Pengalaman intelektual, emosional dan fisik dibutuhkan agar didapatkan hasil belajar dari peserta didik yang optimal serta memiliki keahlian di bidangnya masing-masing. Ini berarti kegiatan pembelajaran yang mampu memberi kesempatan kepada siswa memperlihatkan unjuk-kerja melalui sejumlah keterampilan memproses semua fakta, dan prinsip sangat dibutuhkan.
c. Penanaman sikap dan nilai sebagai pengabdi
pencarian abadi kebenaran ilmu.
Hal ini menuntut adanya pengenalan terhadap tata-cara pemrosesan dan pemerolehan kebenaran ilmu yang bersifat kesemntaraan. Hal ini akan mengarahkan sispa pada kesadaran keterbatasan manusiawi dan keunggulan manusiawi, apabila dibandingkan dengan keterbatasan dan keunggulan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Hal ini menuntut adanya pengenalan terhadap tata-cara pemrosesan dan pemerolehan kebenaran ilmu yang bersifat kesemntaraan. Hal ini akan mengarahkan sispa pada kesadaran keterbatasan manusiawi dan keunggulan manusiawi, apabila dibandingkan dengan keterbatasan dan keunggulan ilmu pengetahuan dan teknologi.
3.Perkembangan
CBSA dengan Kurikulum yang Ada di Indonesia
Seperti
halnya dengan sejarah panjang Ujian Negara maka begitu juga dengan sejarah
kurikulum pada pendidikan di Indonesia. Hal yang menarik adalah bahwa KTSP
merupakan era baru, dari kurikulum yang bersifat nasional menjadi kurikulum
yang berbasiskan satuan pendidikan.
Harapan dari KTSP ini adalah akan lahir kurikulum-kurikulum berbasis lokal yang sesuai dengan kebutuhan lokal dan dihasilkan oleh orang-orang lokal dengan mengacu kepada standar-standar nasional yang dibuat Pusat. Namun hal ini berimpilikasi kembali dengan kemampuan seorang Guru untuk membuat KTSP, seorang Guru harus mampu melakukan inovasi dalam membuat kurikulum sesuai dengan kebutuhan murid dan sekolahnya tersebut.
Kurikulum ini juga merupakan salah satu hasil kurikulum lebih baik dibanding pendahulunya yang pernah di keluarkan Depdiknas, sekaligus kembali bersifat prospektif bila dibandingkan dengan kurikulum-kurikulum yang lain. Sebagai contoh ketika kurikulum pertama kali dikeluarkan yaitu pada tahun 1947, yang disebut dengan Rencana Pembelajaran yang isinya lebih mementingkan kepentingan Belanda dibandingkan dengan kepentingan rakyat Indonesia. Kemudian pada tahun 1952 dan tahun 1964 pada masa orde lama yang masih belum sempurna kurikulumnya bahkan masih terkesan prematur. Terlebih lagi pada permulaan masa orde baru pada tahun 1968 yang kurikulumnya berisikan bagaimana menjadi seorang manusia Pancasila sejati.
Harapan dari KTSP ini adalah akan lahir kurikulum-kurikulum berbasis lokal yang sesuai dengan kebutuhan lokal dan dihasilkan oleh orang-orang lokal dengan mengacu kepada standar-standar nasional yang dibuat Pusat. Namun hal ini berimpilikasi kembali dengan kemampuan seorang Guru untuk membuat KTSP, seorang Guru harus mampu melakukan inovasi dalam membuat kurikulum sesuai dengan kebutuhan murid dan sekolahnya tersebut.
Kurikulum ini juga merupakan salah satu hasil kurikulum lebih baik dibanding pendahulunya yang pernah di keluarkan Depdiknas, sekaligus kembali bersifat prospektif bila dibandingkan dengan kurikulum-kurikulum yang lain. Sebagai contoh ketika kurikulum pertama kali dikeluarkan yaitu pada tahun 1947, yang disebut dengan Rencana Pembelajaran yang isinya lebih mementingkan kepentingan Belanda dibandingkan dengan kepentingan rakyat Indonesia. Kemudian pada tahun 1952 dan tahun 1964 pada masa orde lama yang masih belum sempurna kurikulumnya bahkan masih terkesan prematur. Terlebih lagi pada permulaan masa orde baru pada tahun 1968 yang kurikulumnya berisikan bagaimana menjadi seorang manusia Pancasila sejati.
Lantas
tetap di era Orde Baru pada tahun 1975 keluarnya kurikulum Prosedur
Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI) yang lebih dikenal dengan Kurikulum
berbasis satuan pelajaran, namun ini mendapatkan banyhak kritikan karena Guru
disibukkan menuliskan rincian apa yang dikerjakan dalam setiap kegiatan
pembelajaran.
Sedikit berbeda pada tahun 1984 keluar kurikulum yang berbasis process skill approach. Siswa ditempatkan sebagai subjek belajar dari mulai pengamatan, pengelompokkan, diskusi hingga melaporkan atau sering disebut dengan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA). Namun dalam perjalanannya kurikulum ini juga tidak dapat direalisasikan seperti keinginan awalnya, karena seringkali terjadi banyak kesenjangan dan kurangnya pemahaman dari Sekolah. Guru yang tidak lagi melakukan metode ceramah kepada siswanya, namun belum bisa menguasai para siswanya dalam pembelajaran siswa aktif tersebut. Sehingga berujung kepada penolakkan dari model CBSA ini.
Lain lagi dengan kurikulum 1994 yang menggantikan kurikulum 1984 yang berupaya memadukan dari kurikulum-kurikulum sebelumnya, yang berupaya untuk mengkombinasikan antara kurikulum 1975 dan 1984, sehingga menimbukan sebuah kurikulum yang super padat, karena semua aspek komponen baik lokal dan Pusat dimasukkan kedalam kurikulum tersebut. Ketika kurikulum ini berjalan timbulah tragedi 1998, krisis ekonomi 1998 yang menjatuhkan Soeharto sekaligus menandakan berakhirnya Orde Baru. Yang juga melahirkan kurikulum baru yang bernama Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) pada tahun 2004.Jiwanya adalah setiap pelajaran diurai berdasarkan kompetensi apa yang mesti dicapai oleh siswa. Namun kerancuan muncul ketika akan mengukur kompetensi siswa, bila ini dilakukan maka tidak bisa lagi menggunakan alat ukur dengan menggunakan pilihan ganda akan tetapi tentunya menggunakan praktek yang mampu mengukur seberapa besar pemahaman dan kompetensi siswa. Kembali hal ini terbentur pada kemampuan Gurunya yang tidak memahami masalah pengukuran ini, karena hasil yang tidak memuaskan program ini dihentikan pada tahun 2006. Yang kemudian dilanjutkan dengan KTSP tersebut.
Sedikit berbeda pada tahun 1984 keluar kurikulum yang berbasis process skill approach. Siswa ditempatkan sebagai subjek belajar dari mulai pengamatan, pengelompokkan, diskusi hingga melaporkan atau sering disebut dengan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA). Namun dalam perjalanannya kurikulum ini juga tidak dapat direalisasikan seperti keinginan awalnya, karena seringkali terjadi banyak kesenjangan dan kurangnya pemahaman dari Sekolah. Guru yang tidak lagi melakukan metode ceramah kepada siswanya, namun belum bisa menguasai para siswanya dalam pembelajaran siswa aktif tersebut. Sehingga berujung kepada penolakkan dari model CBSA ini.
Lain lagi dengan kurikulum 1994 yang menggantikan kurikulum 1984 yang berupaya memadukan dari kurikulum-kurikulum sebelumnya, yang berupaya untuk mengkombinasikan antara kurikulum 1975 dan 1984, sehingga menimbukan sebuah kurikulum yang super padat, karena semua aspek komponen baik lokal dan Pusat dimasukkan kedalam kurikulum tersebut. Ketika kurikulum ini berjalan timbulah tragedi 1998, krisis ekonomi 1998 yang menjatuhkan Soeharto sekaligus menandakan berakhirnya Orde Baru. Yang juga melahirkan kurikulum baru yang bernama Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) pada tahun 2004.Jiwanya adalah setiap pelajaran diurai berdasarkan kompetensi apa yang mesti dicapai oleh siswa. Namun kerancuan muncul ketika akan mengukur kompetensi siswa, bila ini dilakukan maka tidak bisa lagi menggunakan alat ukur dengan menggunakan pilihan ganda akan tetapi tentunya menggunakan praktek yang mampu mengukur seberapa besar pemahaman dan kompetensi siswa. Kembali hal ini terbentur pada kemampuan Gurunya yang tidak memahami masalah pengukuran ini, karena hasil yang tidak memuaskan program ini dihentikan pada tahun 2006. Yang kemudian dilanjutkan dengan KTSP tersebut.
Di
era otonomi pendidikan ini, pemerintah menggulirkan kebijakan yang sama sekali
berbeda di masa silam. Berakhirnya KBK ditandai pula dengan dicabutnya penerapan
kurikulum nasional. Inilah era Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). KTSP
ditetapkan pada 23 mei 2006, berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
(Permendiknas) Nomor 22/2006 tentang Standar Isi Pendidikan dan Permendiknas No
23/2006 tentang Standar Kompetensi Kelulusan.
KTSP menghendaki kurikulum disusun dan dikembangkan sendiri oleh sekolah. Depdiknas dan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), lembaga yang tugasnya, antara lain membuat kurikulum, hanya memberikan kisi-kisi materi yang akan diujikan secara nasional. Pemerintah hanya membuat standar-standar nasional sedangkan isi kurikulum dibuat oleh Sekolah. Guru diberikan kebebasan mengembangkan indikator penilaian dan materi pokok sesuai dengan karakteristik daerah, lingkungan dan peserta didik. Disini kembali dituntut peran Guru yang amat besar untuk mampu melaksanakan kurikulum ini, bukan sekedar Guru yang hanya mencari nafkah dari pekerjaannya akan tetapi seorang Guru yang mengerti betul dengan filosofi pembelajaran dan menguasai betul secara mental untuk memberikan pengajaran kepada anak didiknya sebagai seorang manusia.
Sesungguhnya sosialisasi KTSP ini sudah dilaksanakan oleh Departemen Pendidikan Nasional melalui Ditjen PMPTK dengan berbagai cara dan kesempatan. Salah satu caranya adalah dengan mengembangkan CD yang berisikan KTSP, Widya Iswara pada LPMP dan P4TK seringkali melakukan kunjungan ke daerah untuk mensosialisasikannya, menggunakan metode Master TOT, melalui asosiasi Guru yang ada dan lain sebagainya. Dan sebenarnya sudah cukup dirasakan oleh Guru-guru yang ada di seluruh Indonesia, minimal mereka mengetahuinya.
Dan salah satu upaya yang sekarng ini amat dinantikan adalah peran serta masyarakat melalui LSM-LSM untuk dapat mensosialisasikannya, tidak hanya bisa mengkritisi akan tetapi tidak memberikan solusi yang terbaik bagi anak bangsa ini. Yang perlu menjadi catatan dengan KTSP ini adalah bukan hanya kepada sosialisasi akan tetapi kemampuan Guru untuk dapat mengembangkan kurikulum ini, karena kurikulum ini betul-betul membuthkan Guru yang capable dan mampu melakukan analisis-analisis untuk menghasilkan kurikulum terbaik bagi siswanya.
Peran dan konstribusi yang telah diberikan oleh Guru. Bila dilihat dari data guru kemungkinan profesi yang terbanyak dibanding profesi lain. Tercatat tak kurang dari 2.783.321 guru, dengan perincian 1.528.472 adalah pegawai negeri sipil (PNS) dan sisanya, 1.254. 849 guru swasta. Sayangnya, guru hanya unggul jumlah, sementara dari sisi kualitas baik dari kompetensi dan kualifikasi, masih menyisakan pekerjaan rumah besar. Dari sisi kualifikasi ternyata hanya sebagian saja yang lulus S1, belum lagi banyaknya Guru yang mengajar missmatch, kesemua ini tentunya hanya akan membuat anak didik di Indonesia akan menjadi semakin mundur. Hal yang sering terlupakan adalah bahwa dalam pembelajaran itu sarana dan prasarana bukan merupakan sebuah faktor yang paling penting, akan tetapi yang paling penting itu selain kualitas dan kompetensi adalah Mental Guru. Dahulu Guru begitu dihormati oleh masayarakat, mereka dianggap sebagai tokoh dalam komunitasnya. Namun kini semuanya semakin sirna karena berbagai tingkah laku Guru yang membuat muridnya menjadi tertawa.
Seperti pepatah mengatakan ‘Guru Kencing Berdiri Murid Kencing Berlari’. Bila seorang Guru mempunyai kemampuan dan mengerti metoda pendidikan ia akan dapat memberikan sebuah pengajaran yang luar biasa. Sebuah film yang diangkat dari Novel spektakuler ‘Laskar Pelangi” telah mencoba menunjukkan hal tersebut. Bahwa mengajarkan seseorang itu tidak perlu terikat dengan kurikulum atau lengkapnya sarana dan prasarana, namun bagaimana mengajar seorang anak didik itu dari hati, bagaimana mengajar seorang anak didik itu sesuai dengan bakatnya dan melihatnya sebagai sebuah kepribadian yang unik yang diciptakan oleh Allah SWT. Sebagai contoh, ketika zaman dahulu kita menulis dengan batu tulis, dimana ketika itu setelah ditulis kita harus langsung menghapusnya.
KTSP menghendaki kurikulum disusun dan dikembangkan sendiri oleh sekolah. Depdiknas dan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), lembaga yang tugasnya, antara lain membuat kurikulum, hanya memberikan kisi-kisi materi yang akan diujikan secara nasional. Pemerintah hanya membuat standar-standar nasional sedangkan isi kurikulum dibuat oleh Sekolah. Guru diberikan kebebasan mengembangkan indikator penilaian dan materi pokok sesuai dengan karakteristik daerah, lingkungan dan peserta didik. Disini kembali dituntut peran Guru yang amat besar untuk mampu melaksanakan kurikulum ini, bukan sekedar Guru yang hanya mencari nafkah dari pekerjaannya akan tetapi seorang Guru yang mengerti betul dengan filosofi pembelajaran dan menguasai betul secara mental untuk memberikan pengajaran kepada anak didiknya sebagai seorang manusia.
Sesungguhnya sosialisasi KTSP ini sudah dilaksanakan oleh Departemen Pendidikan Nasional melalui Ditjen PMPTK dengan berbagai cara dan kesempatan. Salah satu caranya adalah dengan mengembangkan CD yang berisikan KTSP, Widya Iswara pada LPMP dan P4TK seringkali melakukan kunjungan ke daerah untuk mensosialisasikannya, menggunakan metode Master TOT, melalui asosiasi Guru yang ada dan lain sebagainya. Dan sebenarnya sudah cukup dirasakan oleh Guru-guru yang ada di seluruh Indonesia, minimal mereka mengetahuinya.
Dan salah satu upaya yang sekarng ini amat dinantikan adalah peran serta masyarakat melalui LSM-LSM untuk dapat mensosialisasikannya, tidak hanya bisa mengkritisi akan tetapi tidak memberikan solusi yang terbaik bagi anak bangsa ini. Yang perlu menjadi catatan dengan KTSP ini adalah bukan hanya kepada sosialisasi akan tetapi kemampuan Guru untuk dapat mengembangkan kurikulum ini, karena kurikulum ini betul-betul membuthkan Guru yang capable dan mampu melakukan analisis-analisis untuk menghasilkan kurikulum terbaik bagi siswanya.
Peran dan konstribusi yang telah diberikan oleh Guru. Bila dilihat dari data guru kemungkinan profesi yang terbanyak dibanding profesi lain. Tercatat tak kurang dari 2.783.321 guru, dengan perincian 1.528.472 adalah pegawai negeri sipil (PNS) dan sisanya, 1.254. 849 guru swasta. Sayangnya, guru hanya unggul jumlah, sementara dari sisi kualitas baik dari kompetensi dan kualifikasi, masih menyisakan pekerjaan rumah besar. Dari sisi kualifikasi ternyata hanya sebagian saja yang lulus S1, belum lagi banyaknya Guru yang mengajar missmatch, kesemua ini tentunya hanya akan membuat anak didik di Indonesia akan menjadi semakin mundur. Hal yang sering terlupakan adalah bahwa dalam pembelajaran itu sarana dan prasarana bukan merupakan sebuah faktor yang paling penting, akan tetapi yang paling penting itu selain kualitas dan kompetensi adalah Mental Guru. Dahulu Guru begitu dihormati oleh masayarakat, mereka dianggap sebagai tokoh dalam komunitasnya. Namun kini semuanya semakin sirna karena berbagai tingkah laku Guru yang membuat muridnya menjadi tertawa.
Seperti pepatah mengatakan ‘Guru Kencing Berdiri Murid Kencing Berlari’. Bila seorang Guru mempunyai kemampuan dan mengerti metoda pendidikan ia akan dapat memberikan sebuah pengajaran yang luar biasa. Sebuah film yang diangkat dari Novel spektakuler ‘Laskar Pelangi” telah mencoba menunjukkan hal tersebut. Bahwa mengajarkan seseorang itu tidak perlu terikat dengan kurikulum atau lengkapnya sarana dan prasarana, namun bagaimana mengajar seorang anak didik itu dari hati, bagaimana mengajar seorang anak didik itu sesuai dengan bakatnya dan melihatnya sebagai sebuah kepribadian yang unik yang diciptakan oleh Allah SWT. Sebagai contoh, ketika zaman dahulu kita menulis dengan batu tulis, dimana ketika itu setelah ditulis kita harus langsung menghapusnya.
Sedangkan
sekarang ini begitu murah buku dan alat tulis untuk dibeli namun tetap saja
mutu pendidikan kita tidak menjadi lebih baik dari waktu ke waktu.
Guru kita sekarang tidak mampu memberikan inspirasi kepada anak didiknya. Sehingga saat ini lulusan dari Perguruan Tinggi ternyata lebih banyak menjadi ‘Penyemir Sepatu’ dari lulusan SD yang mempunyai keberanian untuk terjun dalam dunia kewirausahaan. Lulusan PT tidak mempunyai keberanian untuk menantang untung dan rugi, menantang hidup yang tidak tetap, menantang hidup yang tidak pasti, walau ternyat dengan ketekunan dunia itu tidak pernah membuat orangnya kelaparan dengan sebenar-benarnya. UU Guru dan Dosen telah jadi, seorang Guru disinyalir akan mendapatkan pendapatan yang cukup untuk hidupnya. Namun untuk mendapatkannya seorang Guru diharuskan mengikut uji sertifikasi dan fortopolio, lagi-lagi yang terjadi sungguh membuat mengerti kenapa pendidikan kita tidak maju. Guru mulai bermain-main dengan fortopolio, mulai membajak hasil diklat dan seminar temannya, mulai mencari ijazah palsu. Inilah mental kebanyakan Guru kita sekarang ini.
Bukannya kurikulum atau sarana dan prasarana itu tidak penting, namun itu semua menjadi tidak berguna apabila Guru kita mentalnya masih belum berubah, tidak mempunyai jiwa seorang pendidikan akan tetapi lebih kepada jiwa pedagang atau bahkan menjadi seorang birokrasi.
Seperti halnya dengan KKN, selama mental para Birokrasi tida berubah sebesar apapun gaji yang diberikan tidak akan pernah cukup, KKN itu akan terus terjadi. Hal ini mungkin terjadi karena dampak dari zaman sentralisasi di orde baru yang menyebabkan selama puluhan tahun Guru hanya dituntut untuk melaksanakan kurikulum yang telah dikeluarkan sesuai dengan kebijakan dan keinginan Pusat, sehingga menghilangkan jiwa kritis dari Guru tersebut. Bila seorang Guru seperti itu tentu dapat terbayangkan bagaimana muridnya, yang akhir lebih pintar untuk menghapal bukan melakukan inovasi-inovasi pemikiran. Ini pulalah yang menyebabkan Depdiknas tetap bersikeras untuk tetap melaksanakan UAN/UN, untuk memberikan sebuah pancingan atau stimulant terhadap pendidikan di Indonesia, sekaligus menjaga mutu dari mutu pendidikan kita, menggerakan jiwa sebagai pendidik dari Guru, menggugah masyarakat untuk berperan serta dalam pendidikan, menggugah Pemerintah Daerah untuk memperhatikan pendidikan didaerah dan lain sebagainya. Bahkan untuk menjaganya Pemerintah juga kerap berupaya untuk meningkatkan kesejahteraan Guru, memenuhi standar pendidikan pada satuan pendidikan, membantu dengan BOS, menetapkan Standar-standar Pendidikan, mengeluarkan UU yang pro kepada Pendidik dan Tenaga Kependidikan.
Guru kita sekarang tidak mampu memberikan inspirasi kepada anak didiknya. Sehingga saat ini lulusan dari Perguruan Tinggi ternyata lebih banyak menjadi ‘Penyemir Sepatu’ dari lulusan SD yang mempunyai keberanian untuk terjun dalam dunia kewirausahaan. Lulusan PT tidak mempunyai keberanian untuk menantang untung dan rugi, menantang hidup yang tidak tetap, menantang hidup yang tidak pasti, walau ternyat dengan ketekunan dunia itu tidak pernah membuat orangnya kelaparan dengan sebenar-benarnya. UU Guru dan Dosen telah jadi, seorang Guru disinyalir akan mendapatkan pendapatan yang cukup untuk hidupnya. Namun untuk mendapatkannya seorang Guru diharuskan mengikut uji sertifikasi dan fortopolio, lagi-lagi yang terjadi sungguh membuat mengerti kenapa pendidikan kita tidak maju. Guru mulai bermain-main dengan fortopolio, mulai membajak hasil diklat dan seminar temannya, mulai mencari ijazah palsu. Inilah mental kebanyakan Guru kita sekarang ini.
Bukannya kurikulum atau sarana dan prasarana itu tidak penting, namun itu semua menjadi tidak berguna apabila Guru kita mentalnya masih belum berubah, tidak mempunyai jiwa seorang pendidikan akan tetapi lebih kepada jiwa pedagang atau bahkan menjadi seorang birokrasi.
Seperti halnya dengan KKN, selama mental para Birokrasi tida berubah sebesar apapun gaji yang diberikan tidak akan pernah cukup, KKN itu akan terus terjadi. Hal ini mungkin terjadi karena dampak dari zaman sentralisasi di orde baru yang menyebabkan selama puluhan tahun Guru hanya dituntut untuk melaksanakan kurikulum yang telah dikeluarkan sesuai dengan kebijakan dan keinginan Pusat, sehingga menghilangkan jiwa kritis dari Guru tersebut. Bila seorang Guru seperti itu tentu dapat terbayangkan bagaimana muridnya, yang akhir lebih pintar untuk menghapal bukan melakukan inovasi-inovasi pemikiran. Ini pulalah yang menyebabkan Depdiknas tetap bersikeras untuk tetap melaksanakan UAN/UN, untuk memberikan sebuah pancingan atau stimulant terhadap pendidikan di Indonesia, sekaligus menjaga mutu dari mutu pendidikan kita, menggerakan jiwa sebagai pendidik dari Guru, menggugah masyarakat untuk berperan serta dalam pendidikan, menggugah Pemerintah Daerah untuk memperhatikan pendidikan didaerah dan lain sebagainya. Bahkan untuk menjaganya Pemerintah juga kerap berupaya untuk meningkatkan kesejahteraan Guru, memenuhi standar pendidikan pada satuan pendidikan, membantu dengan BOS, menetapkan Standar-standar Pendidikan, mengeluarkan UU yang pro kepada Pendidik dan Tenaga Kependidikan.
4.
Dasar Pemikiran Perlunya CBSA dalam Proses Pengajaran
Mengapa proses pengajaran harus mengoptimalkan kadar keaktifan siswa belajar atau CBSA?
Jawaban terhadap pertanyaan di atas dapat dikaji dari empat perangkat, yaitu asumsi mengenai (a) pendidikan (b) anak didik, (c) guru, dan (d) proses pengajaran.
Mengapa proses pengajaran harus mengoptimalkan kadar keaktifan siswa belajar atau CBSA?
Jawaban terhadap pertanyaan di atas dapat dikaji dari empat perangkat, yaitu asumsi mengenai (a) pendidikan (b) anak didik, (c) guru, dan (d) proses pengajaran.
a. Asumsi pendidikan
Pendidikan adalah usaha sadar memanusiakan manusia atau membudayakan manusia. Pendidikan adalah proses sosialisasi menuju kedewasaan intelektual, sosial, moral, sesuai dengan kemampuan dan martabatnya sebagai manusia. Atas dasar itu maka hakikat pendidikan: (1) adalah interaksi manusiawi, (2) membina dan mengembangkan potensi manusia, (3) berlangsung sepanjang hayat, (4) sesuai dengan kemampuan dan tingkat perkembangan individu, (5) ada dalam keseimbangan antara kebebasan subjek didik dengan kewibawaan guru, dan (6) meningkatkan kualitas hidup manusia.
Pendidikan adalah usaha sadar memanusiakan manusia atau membudayakan manusia. Pendidikan adalah proses sosialisasi menuju kedewasaan intelektual, sosial, moral, sesuai dengan kemampuan dan martabatnya sebagai manusia. Atas dasar itu maka hakikat pendidikan: (1) adalah interaksi manusiawi, (2) membina dan mengembangkan potensi manusia, (3) berlangsung sepanjang hayat, (4) sesuai dengan kemampuan dan tingkat perkembangan individu, (5) ada dalam keseimbangan antara kebebasan subjek didik dengan kewibawaan guru, dan (6) meningkatkan kualitas hidup manusia.
b. Asumsi anak didik
Asumsi anak didik didasarkan atas: (1) anak bukan manusia kecil, tetapi manusia seutuhnya yang mempunyai potensi untuk berkembang, (2) setiap individu atau anak didikberbeda kemampuannya, (3) individu atau anak didik pada dasarnya adalah insan yang aktif, kreatif, dan dinamis dalam menghadapi lingkungannya, (4) anak didik mempunyai motivasi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Asumsi anak didik didasarkan atas: (1) anak bukan manusia kecil, tetapi manusia seutuhnya yang mempunyai potensi untuk berkembang, (2) setiap individu atau anak didikberbeda kemampuannya, (3) individu atau anak didik pada dasarnya adalah insan yang aktif, kreatif, dan dinamis dalam menghadapi lingkungannya, (4) anak didik mempunyai motivasi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
c. Asumsi guru
Asumsi guru bertolak dari:
Asumsi guru bertolak dari:
(a)
bertanggung jawab atas tercapainya hasil belajar siswa,
(b)
memiliki kemampuan profesional sebagai pengajar,
(c)
mempunyai kode etik keguruan,
(d)
berperan sebagai sumber belajar, pemimpin belajar, dan fasilitator belajar
sehingga memungkinkan terciptanya kondisi yang baik bagi siswa untuk belajar.
d. Asumsi proses
pengajaran
Beberapa asumsi proses pengajaran antara lain adalah:
Beberapa asumsi proses pengajaran antara lain adalah:
(a)
proses pengajaran direncanakan dan dilaksanakan dalam suatu sistem,
(b)
peristiwa belajar terjadi apabila siswa berinteraksi dengan lingkungan belajar
yang diatur oleh guru,
(c)
proses pengajaran akan lebih efektif apabila menggunakan metode dan tekhnik
yang tepat dan berdaya guna,
(d)
pengajaran memberi tekanan kepada proses dan produk secara seimbang,
(e)
inti proses pengajaran adalah adanya kegiatan siswa belajar secara optimal.
Implikasi dari
perangkat asumsi di atas harus tampak dalam dua hal, yakni:
(a) dalam program pendidikan yang diberikan
kepada anak didik, bisa disebut dengan istilah kurukulum, dan
(b)
dalam pelaksanaan program pendidikan atau pengajaran ( proses belajar mengajar)
sebagai wujud nyata atau operasionalisasi kurikulum.
Mengingat program pendidikan (kurikulum)
telah dibuat dan telah ada sehingga guru dan aparat pendidikan lainnya tinggal
menggunakannya, maka implikasi dari perangkat asumsi tersebut secara nyata
dapat direalisasi dalam prises belajar mengajar. Bila mengkaji makna setiap
asumsi tadi, maka tidak ada pilihan lain bahwa untuk merealisasi proses belajar
mengajar, kita harus beralih kepada strategi belajar mengajar dengan menitik beratkan
cara belajar siswa aktif (CBSA)
KESIMPULAN
Berdasarkan
analisis serta pemecahan masalah yang ada dalam karya tulis ini, dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut :
a.
Dengan
penerapan CBSA,
siswa
diharapkan akan lebih mampu mengenal dan mengembangkan kapsitas belajar dan
potensi yang dimilikinya secara penuh, menyadari dan dapat menggunakkan potensi
sumber belajar yang terdapat di sekitarnya.
b.
Dengan
penerapan CBSA,
guru diharapkan bekerja secara professional,
mengajar secara sitematis berdasarkan prinsip didaktik metodik yang berdaya
guna berhasil guna ( efisien dan efektif ).
c. Rasionalisasi
Pendekatan Keterampilan Proses dalam Pengajaran
Kegiatan pembelajaran dimaksudkan agar tercipta kondisi yang memungkinkan terjadinya belajar pada diri siswa.
Kegiatan pembelajaran dimaksudkan agar tercipta kondisi yang memungkinkan terjadinya belajar pada diri siswa.
d. penerapan PKP dalam
kegiatan pembelajaran didasarkan pada hal-hal berikut :
1.Percepatan perubahan ilmu pengetahuan dan teknologi.
2.Pengalaman intelektual, emosional dan fisik
3.Penanaman sikap dan nilai sebagai pengabdi pencarian abadi kebenaran ilmu.
5. Pengajaran harus mengoptimalkan kadar keaktifan siswa belajar atau CBSA dapat dikaji dari empat perangkat, yaitu aasumsi mengenai (a) pendidikan (b) anak didik, (c) guru, dan (d) proses pengajaran.
6. Dalam satuan pengajaran, pemikran CBSA tercermin dalam rumusan isi satuan pelajaran sebab satuan pelajaran pada hakikatnya adalah rencana atau proyeksi tindakan yang akan dilakukan oleh guru pada waktu belaj. Pendidikan adalah proses sosialisasi menuju kedewasaan intelektual, sosial, moral, sesuai dengan kemampuan dan martabatnya sebagai manusia.
1.Percepatan perubahan ilmu pengetahuan dan teknologi.
2.Pengalaman intelektual, emosional dan fisik
3.Penanaman sikap dan nilai sebagai pengabdi pencarian abadi kebenaran ilmu.
5. Pengajaran harus mengoptimalkan kadar keaktifan siswa belajar atau CBSA dapat dikaji dari empat perangkat, yaitu aasumsi mengenai (a) pendidikan (b) anak didik, (c) guru, dan (d) proses pengajaran.
6. Dalam satuan pengajaran, pemikran CBSA tercermin dalam rumusan isi satuan pelajaran sebab satuan pelajaran pada hakikatnya adalah rencana atau proyeksi tindakan yang akan dilakukan oleh guru pada waktu belaj. Pendidikan adalah proses sosialisasi menuju kedewasaan intelektual, sosial, moral, sesuai dengan kemampuan dan martabatnya sebagai manusia.
Ø Atas
dasar itu maka hakikat pendidikan:
ü Interaksi manusiawi,
ü membina
dan mengembangkan potensi manusia,
ü berlangsung
sepanjang hayat,
ü sesuai dengan kemampuan dan tingkat perkembangan
individu,
ü ada dalam keseimbangan antara kebebasan subjek
didik dengan kewibawaan guru, dan.
ü meningkatkan kualitas hidup manusia.
E. Kadar CBSA dalam Pembelajaran
Rentangan
(kontinum) ini terjadi sebagai akibat dari adanya kecenderungan peristiwa
pembelajaran, yakni pelajaran yang berorientasi pada Guru dan pembelajaran yang
berorientasi pada siswa. CBSA akan lebih tanpak dan menunjukan kadar yang
tinggi apabila lebih berorientasi kepada siswa, dan akan terjadi sebaliknya
bila arah pembelajaran cenderung berorientasi kepada guru.
Mc Keachie
mengemukakan 7 (tujuh) dimensi proses pembelajaran yang mengakibatkan
terjadinya kadar ke-CBSA-an.
Adapun dimensi-dimensi yang dimaksud
adalah:
1.
Partisipasi Siswa dalam menetapkan tujuan
kegiatan pembelajaran.
2.
Tekanan pada aspek afektif dalam
belajar.
3.
Partisipasi siswa dalam kegiatan
pembelajaran, terutama yang berbentuk interaksi antar siswa’
4.
Kekohensifan (kekompaakan) kelas
sebagai kelompok.
5.
Kebebasan atau lebih tepat
kesempatan yang diberikan kepada siswa untuk mengambil keputusan-keputusan
penting dalam kehidupan sekolah, dan
6.
Jumlah waktu yang digunakan untuk
menanggulagi masalah pribadi siswa, baik yang berhubungan maupun yang tidak
berhubungan dengan sekolah/pembelajaran.
Raka Joni (1992 :
19-20) mengungkapkan bahwa sekolah yang ber-CBSA dengan baik mempunyai
karakteristik berikut:
1.
Pembelajaran yang dilakukan lebih
berpusat kepada siswa, sehingga siswa berperan lebih aktif dalam mengembangkan cara-cara
belajar mandiri, siswa berperan serta pada perencanaan, pelaksanaan, dan
penilaian proses belajar , pengalaman siswa lebih diutamakan dalam memutuskan
titik tolak kegiatan.
2.
Guru adalah pembimbing dalam terjadinya
pengalaman belajar , guru bukan satu-satunya sumber informasi, guru merupakan
salah satu sumber belajar, yang memberikan peluang bagi siswa agar dapat
memperoleh pengetahuan/keterampilan melalui usah sendiri,dapat mengembangkan
motivasi dari dalam dirinya, dan dapat mengembangankan pengalaman untuk membuat
suatu karya.
3.
Tujuan kegiatan tidak hanya untuk
sekedar mengejar standar akademis, selain pencapaian standar akademis kegiatan
ditekankan untuk mengembangkan kemampuan
siswa secara utuh dan seimbang.
4.
Pengelolaan kegiatan pembelajaran
lebih menekankan pada kreativitas siswa,
dan memperhatikan kemajuan siswa untuk menguasai konsep-konsep dengan mantap.
5.
Penilaian,dilaksanakan untuk
mengamati dan mengukur kegiatan dan kemajuan siswa, serta mengukur berbagai
keterampilan yang dikembangkan misalnya keterampilan berbahasa,keterampilan
social,keterampilan matematika, dan keterampilan proses dalam IPA dan keterampilan lainya, serta mengukur hasil
belajar siswa.
1. Kadar CBSA dalam Pembelajaran
Kadar CBSA ditandai oleh semakin
banyaknya dan bervariasinya keaktifan dan keterlibatan siswa dalam proses
belajar mengajar. Semakin banyak dan semakin beragamnya keaktifan dan
keterlibatan siswa, maka semakin tinggi pula kadar ke-CBSA-annya. Sebaliknya,
semakin sedikit keaktifan dan keterlibatan siswa dalam proses belajar mengajar,
maka berarti semakin rendah kadar CBSA tersebut.
Kadar CBSA itu dalam rangka sistem
belajar mengajar menunjukkan ciri-ciri, sebagai berilmu :
1)
Pada tingkat masukan, ditandai oleh:
1.
Adanya keterlibatan siswa dalam merumuskan kebutuhan
pembelajaran sesuai dengan kemampuan, minat, pengalaman, motivasi, aspirasi
yang telah dimiliki sebagai baban masukan untuk melakukan kegiatan belajar.
2.
Adanya keterlibatan siswa dalam menyusun rancangan belajar
dan pembelajaran, yang menjadi acuan baik bagi siswa mupun bagi guru.
3.
Adanya keterlibatan siswa dalam memilih dan menyediakan
sumber bahan pembelajaran.
4.
Adanya keterlibatan siswa dalam pengadaan media pembelajaran
yang akan digunakan sebagai alat bantu belajar.
5.
Adanya kesadaran dan keinginan belajar yang tinggi serta
motivasi untuk melakukan kegiatan belajar.
2)
Pada tingkat proses, kadar CBSA ditandai dengan:
1.
Adanya keterlibatan siswa secara fisik, mental, emosional,
intelektual, dan personal dalam proses belajar.
2.
Adanya berbagai keaktifan siswa mengenal, memahami,
menganalisis, berbuat, memutuskan, dan berbagai kegiatan belajar lainnya yang
mengandung unsur kemandirian yang cukup tinggi.
3.
Keterlibatan secara aktif oleh siswa dalam menciptakan
suasana belajar yang serasi, selaras dan seimbang dalam proses belajar dan
pembelajaran.
4.
Keterlibatan siswa menunjang upaya guru menciptakan
lingkungan belajar untuk memperoleh pengalaman belajar serta turut membantu
mengorganisasikan lingkungan belajar itu, baik secara individual maupun secara
kelompok.
5.
Keterlibatan siswa dalam meneari imformasi dari berbagai
sumber yang berdaya guna dan tepat guna bagi mereka sesuai dengan rencana
kegiatan belajar yang telah mereka rumuskan sendiri.
6.
Keterlibatan siswa dalam mengajukan prakarsa, memberikan
jawaban atas penanyaan guru, mengajukan penanyaan/ masalah dam berupaya
menjawabnya sendiri, menilai jawaban dari rekannya, dan memecahkan masalah yang
timbul selama berlangsungnya proses belajar mengajar tersebut.
3)
Pada tingkat produk, kadar CBSA ditandai oleh:
1.
Ketertibatan siswa dalam menilai diri sendiri, menilai teman
sekelas.
2.
Keterlibatan siswa secara mandiri mengerjakan tugas menjawab
tes dan mengisi instrumen penilaian lainnya yang diajukan oleh guru.
3.
Keterlibatan siswa menyusun laporan baik tertulis maupun
lisan yang berkenaan dengan hasil belajar.
4.
Keterlibatan siswa dalam menilai produk-produk kerja sebagal
hasil belajar dan pembelajaran.
Berdasarkan ciri-ciri tersebut dapat
ditentukan derajat kadar CBSA dalam suatu proses belajar mengajar, dan bila
mungkin di klasifikasikan menjadi: kadar tinggi, kadar sedang, dan kadar
rendah. Kendatipun tampak, bahwa keaktifan guru sangat menonjol, namun tidak
berarti keaktifan guru di abaikan. Tanpa upaya dan pengaruh serta arahan guru
sebagai fasilitator dan pengorganisasian belajar, maka kadar CBSA yang
diinginkan tak mungkin tercapai. Guru tetap bertanggungjawab menciptakan
lingkungan belajar yang mampu mengundang / menantang siswa untuk belajar.
Kebaikan dan
Kelemahan CBSA
a. Kebaikan
Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA)
Proses
belajar mengajar baru berhasil apabila guru memiliki kewibawaan di depan kelas.
Secara lahir kewibawaan guru banyak ditentukan oleh penampilannya, posisinya di
depan kelas, perkataan dan tulisannya. Secara batin kewibawaan ditumpang oleh
penguasaan bahan yang di ajarkan, penguasaan metode dan media pendidikan yang
dipilih dan digunakan, dan penguasaan alat penelitian yang diterapkan.
Kebaikan-kebaikan
Cara Belajar Siswa Aktif, sebagaimana dikemukakan oleh T. Raka Joni, bahwa:
1.
Prakarsa siswa / mahasiswa dalam kegiatan belajar,
yang ditujukan melalui keberanian memberikan urung pendapat tanpa secara
ekslusif diminta.
2.
Keterlibatan mental siswa / mahasiswa di dalam
kegiatan-kegiatan belajar yang telah berlangsung yang ditujukan dengan peningkatan
diri kepada tugas kegiatan.
3.
Peranan guru yang lebih banyak sebagai fasilitator
merupakan sisi lain daripada kadar tinggi prakarsa serta tanggung jawab siswa /
mahasiswa di dalam kegiatan belajar.
4.
Belajar dengan pengalaman lansung merupakan indikator
lain daripada kadar ke-CBSA-an kegiatan belajar mengajar.
5.
Kekayaan variasi bentuk dan alat kegiatan belajar
mengajar merupakan indikator lain dari pada kadar ke-CBSA-an.
6.
Kualitas interaksi antar siswa, baik intelektual
maupun sosial, emosional sehingga meningkatkan peluang pembentukan kepribadian
seutuhnya.
7.
Pembelajaran yang dilakukan lebih
berpusat kepada siswa, sehingga siswa berperan lebih aktif dalam mengembangkan
cara-cara belajar mandiri, siswa berperan serta pada perencanaan, pelaksanaan,
dan penilaian proses belajar , pengalaman siswa lebih diutamakan dalam
memutuskan titik tolak kegiatan.
8.
Guru adalah pembimbing dalam
terjadinya pengalaman belajar , guru bukan satu-satunya sumber informasi, guru
merupakan salah satu sumber belajar, yang memberikan peluang bagi siswa agar
dapat memperoleh pengetahuan/keterampilan melalui usah sendiri,dapat
mengembangkan motivasi dari dalam dirinya, dan dapat mengembangankan pengalaman
untuk membuat suatu karya.
9.
Tujuan kegiatan tidak hanya untuk
sekedar mengejar standar akademis, selain pencapaian standar akademis kegiatan
ditekankan untuk mengembangkan kemampuan
siswa secara utuh dan seimbang.
10.
Pengelolaan kegiatan pembelajaran
lebih menekankan pada kreativitas siswa,
dan memperhatikan kemajuan siswa untuk menguasai konsep-konsep dengan mantap.
11.
Penilaian,dilaksanakan untuk
mengamati dan mengukur kegiatan dan kemajuan siswa, serta mengukur berbagai
keterampilan yang dikembangkan misalnya keterampilan berbahasa,keterampilan
social,keterampilan matematika, dan keterampilan proses dalam IPA dan keterampilan lainya, serta mengukur hasil
belajar siswa.
Jadi
kebaikannya pada CBSA adalah kadar kegiatannya lebih diperbanyak untuk
mendorong siswa belajar mempraktikkan proses-proses intelektual.
b. Kelemahan CBSA
Terjadinya
kadar CBSA yang menurun ini terjadi akibat tidak keterlibatannya mental secara
optimal di dalam kelas maupun di luar kelas.
Kelemahan
dari CBSA sebagaimana dikemukakan oleh Oemar Hamalik bahwa:
1.
Tidak menjamin dalam melaksanakan keputusan
2.
Diskusi tak dapat diramalkan, pada mulanya diskusi di
organisasi secara baik tetapi selanjutnya mungkin saja mengarah ke tujuan lain.
3.
Memasyarakatkan agar semua siswa memiliki keterampilan
berdiskusi yang diperlukan untuk berpartisipasi secara aktif.
4.
Membentuk pengaturan fisik dan jadwal kegiatan secara
luwes.
Jadi
kelemahan dari CBSA adalah siswa yang pandai akan bertambah pandai, siswa yang
bodoh atau kurang pandai akan tertinggal.
Rentangan (kontinum) ini terjadi sebagai akibat dari adanya
kecenderungan peristiwa pembelajaran, yakni pelajaran yang berorientasi pada
Guru dan pembelajaran yang berorientasi pada siswa. CBSA akan lebih tanpak dan
menunjukan kadar yang tinggi apabila lebih berorientasi kepada siswa, dan akan
terjadi sebaliknya bila arah pembelajaran cenderung berorientasi kepada guru.
Mc Keachie mengemukakan 6 (enam) dimensi proses pembelajaran yang mengakibatkan terjadinya
kadar ke-CBSA-an.
Adapun dimensi-dimensi yang dimaksud adalah:
1.
Partisipasi Siswa dalam
menetapkan tujuan kegiatan pembelajaran.
2.
Tekanan pada aspek afektif dalam
belajar.
3.
Partisipasi siswa dalam kegiatan
pembelajaran, terutama yang berbentuk interaksi antar siswa’
4.
Kekohensifan (kekompakan) kelas
sebagai kelompok.
5.
Kebebasan atau lebih tepat
kesempatan yang diberikan kepada siswa untuk mengambil keputusan-keputusan
penting dalam kehidupan sekolah, dan
6.
Jumlah waktu yang digunakan untuk
menanggulagi masalah pribadi siswa, baik yang berhubungan maupun yang tidak
berhubungan dengan sekolah/pembelajaran.
F. Rambu-Rambu Penyelenggaraan CBSA
Hakikat CBSA adalah
ketelibatan intelektual-emosional siswa yang secara optimal dalam proses
pembelajaran ; dan setiap prose pembelajaran memiliki kadar CBSA yang
berbeda-beda. Yang di maksud dengan rambu-rambu CBSA adalah gejala-gejala yang
tampak pada perilaku siswa dan guru baik dalam program maupun dalam proses
pembelajaran.
Rambu-Rambu yang di
maksud adalah :
1) Kuantitas dan kualitas pengalaman yang membelajarkan.
2) Prakarsa dan keberanian siswa dealam mewujudkan minat,keinginan, dan
dorongan-dorongan yang ada pada diri nya.
3) Keberanian dan keinginan siswa untuk ikut serta dalam proses
pembelajaran.
4) Usaha dan kreativitas siswa dalam proses pembelajaran.
5) Keingintahuan pada diri siswa.
6) Rasa lapang dan bebas yang ada pada diri siswa.
7) Kuantitas dan kualitas usaha yang di lakukan guru dalam membina dan
mendorong keaktifan siswa.
8) Kualitas guru sebagai inovator dan fasilitator.
9) Tingkat sikap guru yang tidak mendominasi dalam proses pembelajaran.
10)
Kuantitas dan kualitas metode dan
media yang dimanfaat kan guru dalam proses pembelajaran.
11)
Keterikatan guru terhadap program
pembelajaran.
12)
Variasi interaksi guru-siswa dalam
proses pembelajaran.
13)
Kegiatan dan kegembiraan siswa dalam
belajar.
Yang dimaksud dengan rambu-rambu
CBSA adalah perwujudan prinsip-prinsip CBSA yang dapat diukur dan rentangan
yang paling rendah sampai pada rentangan yang paling tinggi, yang berguna untuk
menentukan tingkat CBSA dan suatu proses belajar-mengajar. Rambu-rambu tersebut
dapat dilihat dari beberapa dimensi. Rambu-rambu tersebut dapat digunakan
sebagai ukuran untuk menentukan apakah suatu proses belajar-mengajar memiliki
kadar CBSA yang tinggi atau rendah. Jadi bukan menentukan ada atau tidak adanya
kadar CBSA dalam proses belajar-mengajar. Bagaimanapun lemahnya seorang guru,
namun kadar CBSA itu pasti ada, walaupun rendah.
a.
Berdasarkan pengelompokan siswa
Strategi
belajar-mengajar yang dipilih oleh guru harus disesuaikan dengan tujuan
pengajaran serta materi tertentu. Ada materi yang sesuai untuk proses belajar
secara individual, akan tetapi ada pula yang lebih tepat untuk proses belajar
secara kelompok. Ditinjau dari segi waktu, keterampilan, alat atau media serta
perhatian guru, pengajaran yang berorientasi pada kelompok kadang-kadang lebih
efektif.
b.
Berdasarkan kecepatan Masing-Masing siswa
Pada
saat-saat tertentu siswa dapat diberi kebebasan untuk memilih materi pelajaran
dengan media pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan mereka masing-masing.
Strategi ini memungkinkan siswa untuk belajar lebih cepat bagi mereka yang
mampu, sedangkan bagi mereka yang kurang, akan belajar sesuai dengan batas
kemampuannya. Contoh untuk strategi belajar-mengajar berdasarkan kecepatan siswa
adalah pengajaran modul.
c. Pengelompokan berdasarkan
kemampuan
Pengelompokan
yang homogin dan didasarkan pada kemampuan siswa. Bila pada pelaksanaan
pengajaran untuk pencapaian tujuan tertentu, siswa harus dijadikan satu
kelompok maka hal ini mudah dilaksanakan. Siswa akan mengembangkan potensinya
secara optimal bila berada disekeliling teman yang hampir sama tingkat
perkembangan intelektualnya.
d.Pengelompokkan berdasarkan persamaan
minat
Pada
suatu guru perlu memberi kesempatan kepada siswa untuk berkelompok berdasarkan
kesamaan minat. Pengelompokan ini biasanya terbentuk atas kesamaan minat dan
berorientasi pada suatu tugas atau permasalahan yang akan dikerjakan.
e.Berdasarkan domein-domein tujuan
Strategi belajar-mengajar
berdasarkan domein/kawasan/ranah tujuan, dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1) Menurut Benjamin S. Bloom CS, ada
tiga domein ialah:
a) Domein kognitif, yang menitik beratkan aspek cipta.
b) Domein afektif, aspek sikap.
c) Dornein psikomotor, untuk aspek gerak.
a) Domein kognitif, yang menitik beratkan aspek cipta.
b) Domein afektif, aspek sikap.
c) Dornein psikomotor, untuk aspek gerak.
2) Gagne mengklasifikasi lima macam
kemampuan ialah:
a) Keterampilan intelektual.
b) Strategi kognitif.
c) Informasi verbal.
d) Keterampilan motorik.
b) Strategi kognitif.
c) Informasi verbal.
d) Keterampilan motorik.
e) Sikap dan nilai.
CBSA dapat diterapkan dalam setiap
proses belajar mengajar. Kadar CBSA dalam setiap proses belajar mengajar
dipengaruhi oleh penggunaan strategi belajar mengajar yang diperoleh. Dalam
mengkaji ke-CBSA-an dan kebermaknaan kegiatan belajar mengajar, Ausubel
mengemukakan dua dimensi, yaitu kebermaknaan bahan serta proses belajar
mengajar dan modus kegiatan belajar mengajar. Ausubel mengecam pendapat yang menganggap
bahwa kegiatan belajar mengajar dengan modus ekspositorik, misalnya dalam
bentuk ceramah mesti kurang bermakna bagi siwa dan sebaliknya kegiatan belajar
mengajar dengan modus discovery dianggap selalu bermakna secara optimal.
Menurutnya kedua dimensi yang dikemukakan adalah independen, sehingga mungkin
saja terjadi pengalaman belajar mengajar dengan modus ekspositorik sangat
bermakna dan sebaliknya mungkin saja terjadi pengalaman belajar mengajar dengan
modus discovery tetapi tanpa sepenuhnya dimengerti oleh siswa. Yang penting
adalah terjadinya asimilasi kognitif pengalaman belajar itu sendiri oleh siswa.
G.Prinsip-Prinsip Pendekatan CBSA
Prinsip-prinsip CBSA dalam Dimensi Program Pembelajaran
Prinsip-prinsip yang perlu ada pada dimensi
program pembelajaran adalah sebagai berikut
;
1. Penentuan tujuan dan isi pelajaran
Prinsip ini menuntut agar dalam mengembangkan program pembelajaran hendaknya dilakukan penyesuaian
antara tujuan dari isi pembelajaran dengan karakteristik siswa, sehingga dapat memenuhi kebutuhan, minat dan kemampuan siswa.
2. Pengembangan konsep dan aktivitas siswa.
Prinsip ini mempersyaratkan agar program mampu menyajikan alternatif kegiatan yang mengarah pada pengembangan konsep aktifitas belajar siswa.
3. Pemilihan dan penggunaan berbagai metode clan media
Prinsip ini menuntut agar guru mampu memilih dan sekaligus mampu menggunakan berbagai strategi dan metode belajar-mengajar, sehingga dapat menciptakan kondisi belajar yang dapat membelajarkan siswa secara aktifdan penuh makna.
4. Penentuan metode dan media
Prinsip ini mempersyaratkan agar dalam program pembelajaran diberikan altematif metode dan media yang dapat dipilih secara luwes, maksudnya pengembangan program hendaknya mampu memilih metode atau media sebagai alternatif memilih kesetaraan.
Prinsip CBSA Pada Dimensi Situasi Belajar Mengajar
1. Komunikasi yang bersahabat antara guru dan siswa.
2. Kegairahan dan kegembiraan dalam belajar.
Berikut ini akan diuraikan salah satu pendekatan yang berciri khas CBSA, yaitu pendekatan keterampilan proses, pengembangan keterampilan intelektual, sosial dan fisik yang bersumber pada kemampuan peserta didik.
Banyak keaktifan siswa yang sangat sulit untuk diamati, seperti kemampuan berpikir untuk memecahkan masalah baru adalah merupakan keaktifan siswa yang tidak dapat diamati sebagai suatu bentuk keaktifan. Mungkin siswa-yang bersangkutan hanya diam bahkan kelihatannya mengantuk padahal dia sedang me.ngarahkan segala kemampuan yang dimilikinya untuk memecahkan masalah. Guru baru dapat mengamatinya apabila siswa itu telah bertindak.
1. Penentuan tujuan dan isi pelajaran
Prinsip ini menuntut agar dalam mengembangkan program pembelajaran hendaknya dilakukan penyesuaian
antara tujuan dari isi pembelajaran dengan karakteristik siswa, sehingga dapat memenuhi kebutuhan, minat dan kemampuan siswa.
2. Pengembangan konsep dan aktivitas siswa.
Prinsip ini mempersyaratkan agar program mampu menyajikan alternatif kegiatan yang mengarah pada pengembangan konsep aktifitas belajar siswa.
3. Pemilihan dan penggunaan berbagai metode clan media
Prinsip ini menuntut agar guru mampu memilih dan sekaligus mampu menggunakan berbagai strategi dan metode belajar-mengajar, sehingga dapat menciptakan kondisi belajar yang dapat membelajarkan siswa secara aktifdan penuh makna.
4. Penentuan metode dan media
Prinsip ini mempersyaratkan agar dalam program pembelajaran diberikan altematif metode dan media yang dapat dipilih secara luwes, maksudnya pengembangan program hendaknya mampu memilih metode atau media sebagai alternatif memilih kesetaraan.
Prinsip CBSA Pada Dimensi Situasi Belajar Mengajar
1. Komunikasi yang bersahabat antara guru dan siswa.
2. Kegairahan dan kegembiraan dalam belajar.
Berikut ini akan diuraikan salah satu pendekatan yang berciri khas CBSA, yaitu pendekatan keterampilan proses, pengembangan keterampilan intelektual, sosial dan fisik yang bersumber pada kemampuan peserta didik.
Banyak keaktifan siswa yang sangat sulit untuk diamati, seperti kemampuan berpikir untuk memecahkan masalah baru adalah merupakan keaktifan siswa yang tidak dapat diamati sebagai suatu bentuk keaktifan. Mungkin siswa-yang bersangkutan hanya diam bahkan kelihatannya mengantuk padahal dia sedang me.ngarahkan segala kemampuan yang dimilikinya untuk memecahkan masalah. Guru baru dapat mengamatinya apabila siswa itu telah bertindak.
Dengan
perkataan lain, keaktifan dalam rangka CBSA menunjuk kepada keaktifan mental,
meskipun untuk mencapai maksud ini dipersyaratka keterlibatan langsung berbagai
bentuk keaktifan fisik.
Pendekatan Keterampilan Proses
Tugas utama guru adalah menciptakan suasana kelas sedemikian rupa agar terjadi interaksi belajar-mengajar yang dapat memotivasi siswa untuk belajar dengan baik dan sungguh-sungguh. CBSA akan berjalan sebagaimana diharapkan apabila dalam prakteknya CBSA mampu mengembangkan keterampilan memproses perolehan.
Pendekatan Keterampilan Proses
Tugas utama guru adalah menciptakan suasana kelas sedemikian rupa agar terjadi interaksi belajar-mengajar yang dapat memotivasi siswa untuk belajar dengan baik dan sungguh-sungguh. CBSA akan berjalan sebagaimana diharapkan apabila dalam prakteknya CBSA mampu mengembangkan keterampilan memproses perolehan.
Jadi
apabila keterampilan proses dikaitkan dengan CBSA, maka akan tampak keduanya
mempunyai ciri sebagai berikut;
• menekankan pentingnya keberartian belajar untuk mencapai hasil belajar yang memadai;
• menekankan pentingnya keterlibatan siswa dalam proses belajar.
• tenekankan bahwa belajar adalah proses dua arah yang menekankan hasil belajar secara tuntas.
• menekankan pentingnya keberartian belajar untuk mencapai hasil belajar yang memadai;
• menekankan pentingnya keterlibatan siswa dalam proses belajar.
• tenekankan bahwa belajar adalah proses dua arah yang menekankan hasil belajar secara tuntas.
Mengapa
keterampilan proses diperlukan?
Dalam proses belajar-mengajar, pengembangan konsep harus dipadukan dengan pengembangan nilai dalam diri anak didik. Tujuannya adalah menghasilkan manusia yang ahli sekaligus manusiawi. Artinya, lulusan yang diharapkan mempunyai pengetahuan yang luas, manusiawi dan keduanya menyatu dalam pribadi yang serasi, selaras dan seimbang.
Prinsip CBSA adalah tingkah laku belajar yang berdasarkan pada kegiatan-kegiatan yang nampak, yang menggambarkan tingkat keterlibatan siswa dalam proses belajar-mengajar baik intelektual-emosional maupun fisik, Prinsip-Prinsip CBSA yang nampak pada 4 dimensi sebagai berikut:
Dalam proses belajar-mengajar, pengembangan konsep harus dipadukan dengan pengembangan nilai dalam diri anak didik. Tujuannya adalah menghasilkan manusia yang ahli sekaligus manusiawi. Artinya, lulusan yang diharapkan mempunyai pengetahuan yang luas, manusiawi dan keduanya menyatu dalam pribadi yang serasi, selaras dan seimbang.
Prinsip CBSA adalah tingkah laku belajar yang berdasarkan pada kegiatan-kegiatan yang nampak, yang menggambarkan tingkat keterlibatan siswa dalam proses belajar-mengajar baik intelektual-emosional maupun fisik, Prinsip-Prinsip CBSA yang nampak pada 4 dimensi sebagai berikut:
a. Dimensi subjek didik :
- Keberanian
mewujudkan minat, keinginan, pendapat serta dorongan-dorongan yang ada
pada siswa dalam proses belajar-mengajar. Keberanian tersebut terwujud
karena memang direncanakan oleh guru, misalnya dengan format mengajar
melalui diskusi kelompok, dimana siswa tanpa ragu-ragu mengeluarkani
pendapat.
- Keberanian
untuk mencari kesempatan untuk berpartisipasi dalam persiapan maupun
tindak lanjut dan suatu proses belajar-mengajar maupun tindak lanjut dan
suatu proses belajar mengajar. Hal mi terwujud bila guru bersikap
demokratis.
- Kreatifitas
siswa dalam menyelesaikan kegiatan belajar sehingga dapat mencapai suatu
keberhasilan tertentu yang memang dirancang oleh guru.
- Kreatifitas
siswa dalam menyelesaikan kegiatan belajar sehingga dapat mencapai suatu
keberhasilan tertentu, yang memang dirancang oleh guru.
- Peranan
bebas dalam mengerjakan sesuatu tanpa merasa ada tekanan dan siapapun
termasuk guru.
b. Dimensi Guru
- Adanya
usaha dan guru untuk mendorong siswa dalam meningkatka kegairahan serta
partisipasi siswa secara aktif dalam proses belajar-mengajar.
- Kemampuan
guru dalam menjalankan peranannya sebagai inovator dan motivator.
- Sikap
demokratis yang ada pada guru dalam proses belajar-mengajar.
- Pemberian
kesempatan kepada siswa untuk belajar sesuai dengan cara serta tingkat
kemampuan masing-masing.
- Kemampuan
untuk menggunakan berbagai jenis strategi belajar-mengajar serta
penggunaan multi media. Kemampuan mi akan menimbulkan lingkuñgan belajar
yang merangsang siswa untuk mencapai tujuan.
c. Dimensi Program
- Tujuan
instruksional, konsep serta materi pelajaran yang memenuhi kebutuhan,
minat serta kemampuan siswa; merupakan suatu hal yang sangat penting
diperhatikan guru.
- Program
yang memungkinkan terjadinya pengembangan konsep maupun aktivitas siswa
dalam proses belajar-mengajar.
- Program
yang fleksibel (luwes); disesuaikan dengan situasi dan kondisi.
d. Dimensi situasi belajar-mengajar
- Situasi
belajar yang menjelmakan komunikasi yang baik, hangat, bersahabat, antara
guru-siswa maupun antara siswa sendiri dalam proses belajar-mengajar.
Prinsip
CBSA Pada Dimensi Situasi Belajar Mengajar ;
1. Komunikasi yang bersahabat antara guru dan siswa.
2. Kegairahan dan kegembiraan dalam belajar.
Berikut ini akan diuraikan salah satu pendekatan yang berciri khas CBSA, yaitu pendekatan keterampilan proses, pengembangan keterampilan intelektual, sosial dan fisik yang bersumber pada kemampuan peserta didik.
1. Komunikasi yang bersahabat antara guru dan siswa.
2. Kegairahan dan kegembiraan dalam belajar.
Berikut ini akan diuraikan salah satu pendekatan yang berciri khas CBSA, yaitu pendekatan keterampilan proses, pengembangan keterampilan intelektual, sosial dan fisik yang bersumber pada kemampuan peserta didik.
Banyak keaktifan siswa yang sangat
sulit untuk diamati, seperti kemampuan berpikir untuk memecahkan masalah baru
adalah merupakan keaktifan siswa yang tidak dapat diamati sebagai suatu bentuk
keaktifan. Mungkin siswa-yang bersangkutan hanya diam bahkan kelihatannya
mengantuk padahal dia sedang me.ngarahkan segala kemampuan yang dimilikinya
untuk memecahkan masalah. Guru baru dapat mengamatinya apabila siswa itu telah
bertindak.
Dengan perkataan lain, keaktifan dalam rangka CBSA menunjuk kepada keaktifan mental, meskipun untuk mencapai maksud ini dipersyaratka keterlibatan langsung berbagai bentuk keaktifan fisik.
Dengan perkataan lain, keaktifan dalam rangka CBSA menunjuk kepada keaktifan mental, meskipun untuk mencapai maksud ini dipersyaratka keterlibatan langsung berbagai bentuk keaktifan fisik.
1. Penentuan tujuan dan isi
pelajaran
Prinsip ini menuntut agar dalam mengembangkan program pembelajaran hendaknya dilakukan penyesuaian antara tujuan dari isi pembelajaran dengan karakteristik siswa, sehingga dapat memenuhi kebutuhan, minat dan kemampuan siswa.
Prinsip ini menuntut agar dalam mengembangkan program pembelajaran hendaknya dilakukan penyesuaian antara tujuan dari isi pembelajaran dengan karakteristik siswa, sehingga dapat memenuhi kebutuhan, minat dan kemampuan siswa.
2. Pengembangan konsep dan
aktivitas siswa.
Prinsip ini mempersyaratkan agar program
mampu menyajikan alternatif kegiatan yang mengarah pada pengembangan konsep
aktifitas belajar siswa.
3.Pemilihan
dan penggunaan berbagai metode clan media
Prinsip ini menuntut agar guru mampu
memilih dan sekaligus mampu menggunakan berbagai strategi dan metode belajar-mengajar,
sehingga dapat menciptakan kondisi belajar yang dapat membelajarkan siswa
secara aktifdan penuh makna.
4.Penentuan
metode dan media
Prinsip ini mempersyaratkan agar
dalam program pembelajaran diberikan altematif metode dan media yang dapat
dipilih secara luwes, maksudnya pengembangan program hendaknya mampu memilih
metode atau media sebagai alternatif memilih kesetaraan.
Contoh penerapan Prinsip CBSA ;
Penerapan
prinsip-prinsip cara belajar siswa aktif (CBSA) dalam meningkatkan keefektifan
proses pembelajaran IPA di SD di kodya tegal
Pembelajaran IPA yang menggunakan
pendekatan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) di SD mempunyai peranan strategis
dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Bila CBSA dapat diterapkan dengan baik
siswa akan mampu belajar secara efektif. Menurut Eggen & Kauchak (1998),
siswa belajar secara efektif bila siswa secara aktif terlibat dalam
pengorganisasian dan penemuan pertalian-pertalian (relationships) dalam
informasi yang dihadapi. Aktivitas siswa ini menghasilkan kemampuan belajar dan
peningkatan pengetahuan serta pengembangan keterampilan berpikir (thinking
skills).
Kedua
ahli tersebut menjelaskan bahwa ada enam ciri pembelajaran yang efektif, yaitu:
(1) siswa menjadi pengkaji yang aktif terhadap lingkungannya melalui
mengobservasi, membandingkan, menemukan kesamaan-kesamaan dan
perbedaan-perbedaan serta membentuk konsep dan generalisasi berdasarkan
kesamaan-kesamaan yang ditemukan, (2) guru menyediakan materi sebagai fokus
berpikir dan berinteraksi dalam pelajaran, (3) aktivitas-aktivitas siswa
sepenuhnya didasarkan pada pengkajian, (4) guru secara aktif terlibat dalam
pemberian arahan dan tuntunan kepada siswa dalam menganalisis informasi, (5)
orientasi pembelajaran penguasaan isi pelajaran dan pengembangan keterampilan
berpikir, serta (6) guru menggunakan teknik mengajar yang bervariasi sesuai
dengan tujuan dan gaya mengajar guru.
Strategi pembelajaran IPA didasarkan
pada ciri-ciri pembelajaran yang efektif. Pembelajaran IPA menekankan
keterlibatan siswa secara langsung dalam mengkaji alam sekitar untuk
menganalisisnya, memahami konsep-konsep yang terkandung didalamnya dan
merumuskan generalisasi berdasarkan konsep-konsep tersebut, merumuskan hukum
berdasarkan generalisasi-generalisasi, serta memecahkan masalah dalam kehidupan
sehari-hari berdasarkan hukum IPA secara memadai. Konsekuensinya, dalam
pembelajaran IPA guru sesuai dengan kemahirannya (ciri 6) harus menyediakan
bahan pelajaran sebagai fokus untuk berpikir dan berinteraksi dalam pelajaran
(ciri 2) serta memberikan arahan dan tuntunan kepada siswa dalam proses
mencapai tujuan pembelajaran yang telah diterapkan. Sementara itu, siswa aktif
mengkaji materi (ciri 3) dalam upaya memecahkan masalah (ciri 5).
Pembelajaran
IPA yang efektif mampu membantu siswa mencapai kategori-kategori tujuan
pembelajaran (Gagne, dalam Raka Joni, 1980), yang dapat dikelompokkan dalam instruction
effects ‘hasil pengajaran’ dan nurturant effects ‘hasil pengiring’.
Hasil pengajaran berupa penguasaan materi (substansi) IPA (pengetahuan, konsep,
generalisasi, hukum) dan keterampilan ke-IPA-an (melakukan demonstrasi,
eksperimen). Sedangkan hasil pengiring berupa pengembangan keterampilan
intelektual dan strategi kognitif yang tinggi dalam menghadapi masalah serta
pembentukan sikap positif terhadap lingkungan fisik.
Ada sejumlah prinsip CBSA untuk siswa
dan untuk guru yang perlu diperhitungkan dalam setiap proses pembelajaran.
Prinsip-prinsip CBSA untuk siswa meliputi: keberanian mewujudkan minat,
keinginan, dan gagasan; keberanian untuk ikut serta mempersiapkan pelajaran;
kemauan dan kreativitas dalam menyelesaikan kegiatan belajar; adanya rasa aman
dan bebas untuk melakukan kegiatan belajar; dan adanya rasa ingin tahu. Sedang
prinsip-prinsip CBSA untuk guru meliputi: pemberian kesempatan kepada siswa
untuk melakukan berbagai kegiatan belajar, sementara itu guru berperan sebagai
sumber belajar, motivator, dan fasilitator; pemberian dorongan untuk kreatif;
pemberian layanan berdasakan perbedaan individual; penggunaan berbagai sumber
belajar; pemberian umpan balik terhadap hasil belajar; dan penilaian hasil
belajar dengan berbagai cara (Benny Karyadi, 1993).
Penerapan prinsip-prinsip CBSA secara
benar dalam pembelajaran IPA mampu membantu siswa menguasai materi (content)
IPA dan mengembangkan keterampilan berpikir (thinking skills) yang
tinggi. Kemampuan itu terbentuk bila dalam proses pembelajaran guru aktif
berperan sebagai seorang sumber dan fasilitator yang menuntun siswa yang tengah
aktif berpikir (mengkaji lingkungan, menganalisis informasi, memecahkan
masalah).
Kurikulum IPA-SD telah mengarahkan
pembelajaran IPA pada strategi berpikir tingkat tinggi dan menerapkan strategi
pembelajaran CBSA (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993). Namun, pada
kenyataannya hasil pembelajaran IPA di SD masih belum memuaskan. Hasil EBTANAS
Murni SD/MI se-Kodya Tegal tahun ajaran 1997/1998 menunjukkan bahwa nilai IPA
tertinggi 7,30 dan terendah 4,25 dengan rata-rata 5,84.
Dari latar belakang teoritis dan kondisi
yang ada, untuk memberikan masukan dalam upaya peningkatan keefektifan
pembelajaran IPA, maka terdapat lima hal pokok yang akan dibahas, yaitu:
1. Deskripsi
proses pembelajaran IPA di sekolah.
2. Kadar
keaktifan siswa dalam menerapan prinsip-prinsip CBSA.
3. Ciri-ciri
keaktifan siswa dalam menerapkan prinsip-prinsip CBSA sesuai dengan nilai yang
diperoleh.
4. Kadar
keaktifan guru dalam penerapan prinsip-prinsip CBSA.
5. Ciri-ciri
keaktifan guru dalam menerapkan prinsip-prinsip CBSA sesuai dengan nilai yang
diperoleh.
Penelitian
dilakukan pada tanggal 21 April – 8 Mei 1999 di Kodya Tegal dengan melibatkan
51 guru kelas 4, 5, dan 6. Data dikumpulkan melalui observasi dengan
menggunakan instrumen "Lembar Observasi". Data diolah dengan
menggunakan analisis deskriptif (Hadi, S. 1970).
DESKRIPSI KBM
Guru
mengajar dengan menggunakan metode-metode yang dipandang sesuai dengan tujuan
yang akan dicapai dan kemampuan profesionalnya. Dari 51 guru subyek penelitian,
54,90% (sebagian besar) menggunakan metode eskperimen, 31,37% (hampir
setengahnya) metode demonstrasi, 11,76% (sebagian kecil) metode tanya jawab,
dan 1,96% (hampir tidak ada) metode ceramah. Menurut Winarno Surachmad, metode
eksperimen membantu siswa untuk mengerjakan sesuatu, mengamati prosesnya, dan
mengamati hasilnya. Metode demonstrasi membantu siswa untuk memahami proses
kerja suatu alat atau pembuatan sesuatu. Metode tanya jawab membantu siswa
mengetahui fakta tertentu yang sudah diajarkan atau proses pemikiran yang telah
diketahui siswa. Sedangkan metode ceramah membantu siswa untuk mengetahui fakta
dan pendapat, sementara tidak terdapat bahan bacaan yang merangkumnya.
Kegiatan
belajar-mengajar bervariasi sesuai dengan karakteristik metode yang diterapkan
dan gaya mengajar masing-masing guru. Penyampaian materi (apersepsi sampai
dengan pembuatan rangkuman, sebelum evaluasi) berlangsung paling cepat 25 menit
dan paling lama 80 menit, rata-rata 52,16 menit atau 65,20% dari waktu 80 menit
yang disediakan. Kegiatan-kegiatan dalam proses pembelajaran mencakup:
apersepsi (memberitahu judul materi, penjelasan dan/atau tanya-jawab),
pemberian materi pokok, pemberian latihan, evaluasi, dan tindak lanjut.
Apersepsi dilaksanakan oleh 98,04% (hampir seluruh) guru. Pemberian materi
pokok sesuai dengan karakteristik masing-masing metode dilakukan oleh seluruh
guru. 11,76% (sebagian kecil) memberikan latihan. Sebagian kecil guru membuat
kesimpulan/rangkuman (17,65%) dan 54,90% melakukan evaluasi. Tidak ada guru
yang melakukan tindak lanjut.
Gaya mengajar guru sangat individual.
Bertolak dari pengertian gaya sebagai suatu cara atau teknik tertentu yang
digunakan seseorang untuk mengerjakan, menciptakan, atau menampilkan sesuatu (A
Merriam Webster, 1985), menunjukkan gaya mengajar di sini adalah prosedur yang
dipilih guru untuk menyelesaikan tugas mengajarnya. Pemilihan prosedur ini
pertama-tama dipengaruhi oleh motivasi kerja guru, terutama komponen
kepercayaan diri akan kemampuannya melaksanakan tugas dan komponen reaksi
emosional atas pelaksanaan tugas tersebut (Pintrich, 1990). Pemilihan prosedur
mengajar yang dianggap paling cocok ini juga dipengaruhi oleh berbagai faktor
yang terpadu, seperti tujuan pembelajaran, kemampuan siswa, kemahiran kerja
guru dalam menerapkan metode mengajar, dan ketersediaan fasilitas dan waktu
belajar. Sesuai dengan karakteristik masing-masing guru dan berbagai faktor
lainnya yang mempengaruhi pemilihan prosedur mengajar tersebut, penampilan
mengajar antara guru yang satu dengan yang lainnya berbeda, walaupun mereka
menggunakan metode dan peralatan yang sama.
Kebervariasian kegiatan belajar-mengajar
karena perbedaan gaya mengajar guru yang satu dengan lainnya tampak dalam
pemilihan dan pelaksanaan serentetan kegiatan pembelajaran. Dalam menyampaikan
materi dengan metode eksperimen, 46,43% mulai dengan percobaan kelas (klasikal)
oleh guru, siswa, atau guru bersama-sama dengan siswa dan 53,57% mulai dengan
percobaan kelompok. Setelah percobaan awal ini, secara bervariasi muncul
kegiatan-kegiatan: percobaan lain, tanya-jawab, diskusi kelompok, menjawab
lembar kerja (LK), laporan hasil diskusi kelompok, pembahasan LK, pemberian
komentar, pengerjaan latihan, pemberian rangkuman/kesimpulan, dan evaluasi.
Dalam penyampaian materi dengan metode
demonstrasi guru memulai pelajaran dengan mengadakan demonstrasi kelas,
demonstrasi kelompok, atau demonstrasi individual. Setelah demonstrasi awal,
berbagai kegiatan muncul, seperti: demonstrasi lainnya, pemberian penjelasan,
diskusi kelompok, pembahasan LK, tanya-jawab, latihan, perumusan kesimpulan,
dan evaluasi.
Sementara itu penerapan metode
tanya-jawab ditandai dengan guru mengadakan tanya-jawab tentang serentetan
materi yang telah disusun, dilanjutkan dengan diskusi kelompok, latihan, pemberian
rangkuman, dan evaluasi. Akhirnya, penerapan metode ceramah ditandai dengan
guru menjelaskan berbagai materi yang telah disusun sebelumnya dilanjutkan
dengan evaluasi.
Dari berbagai kegiatan siswa dan
kegiatan guru dalam proses pembelajaran di atas, keaktifan siswa dan keaktifan
guru sesuai dengan prinsip-prinsip CBSA dapat diidentifikasi dan kadar
masing-masing keaktifan dapat diperhitungkan. Kadar keaktifan siswa dan kadar
keaktifan guru masing-masing ditetapkan berdasarkan jumlah skor pemunculan
seluruh indikator variabel keaktifan siswa (untuk kadar keaktifan siswa) dan
keaktifan guru (untuk kadar keaktifan guru) dengan menggunakan skala penilaian
1-10. Nilai dideskripsikan secara kualitatif seperti nilai rapor sekolah.
KADAR KEAKTIFAN SISWA
Secara umum, kadar keaktifan siswa dalam
pembelajaran IPA cukup tinggi, dengan Ms = 6,373. Dengan SDM =
0,239 dan T.K. = 0,95 diestimasikan Mp = 5,905-6,841 (hampir
cukup-cukup). Penyebaran nilai keaktifan siswa dari yang tertinggi ke yang
terendah: 10,00 (4%), 9,29 (2%), 8,57 (8%), 7,86 (10%), 7,14 (22%), 6,43 (16%),
5,71 (6%), 5,00 (16%), 4,29 (10%), 3,57 (6%), dan 2,86 (2%).
Kadar keaktifan siswa pada kelas-kelas
yang diobservasi tidak merata, ada yang istimewa (nilai 10) dan ada yang buruk
(nilai 2,86); 38% di bawah cukup (nilai 5,71 ke bawah). Kadar keaktifan siswa
yang di bawah cukup ini terjadi karena beberapa sebab, seperti kebiasaan siswa
belajar, semangat belajar, dan ketersediaan fasilitas belajar. Ada siswa yang
terbiasa belajar dengan menghafalkan materi, kurang terangsang untuk
menganalisis, memprediksi, dan memecahkan masalah (Wardani, 2000). Hal ini
terjadi karena guru cenderung mendominasi kelas dengan menjelaskan materi
terus-menerus. Semangat siswa untuk bersekolah (terutama di pinggiran kota)
belum tinggi dan guru belum berhasil mengubahnya. Jam masuk sekolah lebih siang
dan pulangnya lebih cepat serta banyak siswa sering tidak masuk karena siswa
membantu orang tua mencari nafkah (banyak orang tua bekerja sebagai petani
kecil/buruh tani, buruh pabrik, dan nelayan). Rendahnya semangat bersekolah ini
mempengaruhi daya kritis dan kreativitas siswa dalam belajar. Akhirnya, banyak
SD (terutama di pinggiran kota) tidak memiliki alat peraga/media dan
bahan-bahan untuk percobaaan IPA yang memadai. Pengadaan dana untuk penyediaan
fasilitas cukup sulit. Ketersediaan alat peraga/media dan bahan-bahan untuk
percobaan mutlak diperlukan untuk mengaktifkan siswa karena taraf berpikir
siswa (terutama pada kelas rendah) masih pada taraf operasi konkrit.
DESKRIPSI KEAKTIFAN SISWA
Kadar keaktifan siswa dalam penerapan
prinsip-prinsip CBSA dalam pembelajaran IPA sejalan dengan munculnya
indikator-indikator seluruh variabel keaktifan siswa. Variabel-variabel yang
dimaksud meliputi: keikutsertaan mempersiapkan pelajaran, kegembiraan dalam
belajar, kemauan dan kreativitas dalam belajar, keberanian menyampaikan gagasan
dan minat, sikap kritis dan ingin tahu, kesungguhan bekerja sesuai dengan
prosedur, pengembangan penalaran induktif, dan pengembangan penalaran deduktif.
KADAR KEAKTIFAN GURU
Secara umum, kadar keaktifan guru dalam
pembelajaran IPA hampir cukup, dengan Ms = 5,848. dengan SDM
= 0,194 dan T.K. = 0,95 diestimasikan Mp = 5,468-6,228 (hampir
cukup-cukup). Penyebaran nilai kadar keaktifan guru: 8,13 (2%), 7,50 (14%),
6,88 (24%), 6,25 (14%), 5,63 (12%), 5,00 (14%), 4,38 (8%), 3,75 (8%), 3,13
(14%), dan 2,50 (2%).
Bila dilihat secara keseluruhan, kadar
keaktifan guru yang hanya hampir cukup tentu kurang menggembirakan. Bila
dilihat dari masing-masing proses pembelajaran, 46% mendapatkan nilai hampir
cukup ke bawah (5,63-2,50), jumlah yang tidak kecil. Hal ini terjadi karena
profesionalisme dan komitmen kerja guru yang rendah. Dari guru yang diobservasi,
masih 24% yang berpendidikan SPG/sederajat, sementara lainnya Diploma II (65%),
sarjana muda (2%), dan sarjana (8%). Tidak sedikit kepala sekolah dan pengawas
TK/SD yang mengeluh bahwa banyak lulusan Diploma II tidak berbeda dengan
lulusan SPG dalam mengajar, setelah mereka berusaha mengajar sebaik-baiknya
waktu diuji praktik mengajar dan mendengarkan pesan Kepala Kandepdiknas
Kecamatan supaya penampilan mengajar yang baik diteruskan di SD dalam tugas
sehari-hari. Tidak sedikit guru yang tidak membuat rencana pembelajaran yang
baik untuk pedoman mengajarnya. Dalam mengajar guru kurang mengembangkan
kemampuan siswa untuk memecahkan masalah, guru cenderung memberikan materi
untuk dihafalkan, dan ada pula guru yang tidak menguasai materi yang diajarkan.
Komitmen
kerja guru yang rendah dapat dilihat dari rendahnya kedisiplinan kerja guru,
banyak guru yang mengajar dengan santai. Mereka berorientasi pada kepentingan
diri sendiri, yaitu mengajar demi gaji bukan untuk kepentingan siswa.
DESKRIPSI KEAKTIFAN GURU
Kadar keaktifan guru dalam penerapan
prinsip-prinsip CBSA dalam pembelajaran IPA sejalan dengan munculnya
indikator-indikator variabel keaktifan guru. Variabel-variabel keaktifan guru
yang dimaksud meliputi: pemberian kesempatan untuk melakukan berbagai kegiatan,
dorongan untuk aktif, dorongan untuk berinteraksi dalam kelompok, dorongan
untuk kreatif, pelayanan berdasarkan perbedaan individual, penggunaan berbagai
sumber belajar, pemberian umpan balik terhadap hasil belajar, dan penilaian
hasil belajar dengan berbagai cara.
H. Penerapan CBSA
Dari uraian
tentang pengertian, rasionalisasi,
kadar, dan rambu-rambu CBSA, kita dapat menandai adanya prasyarat yang harus
dimiliki oleh guru untuk meningkatkan kadar CBSA dari suatu proses
pembelajaran. Peningkatan kadar CBSA dari suatu proses pembelajaran berarti
pula mengarahkan proses pembelajaran yang berorientasi pada siswa atau dengan
kata lain menciptakan pembelajaran berdasarkan siswa (student based
Intruction).
Konsekuensi yang
harus diterima dari adanya pembelajaran berdasarkan siswa , ialah:
1.
Guru merupakan seorang pengelola
(manager) dan perancang (designer) dari pengalaman belajar.
2.
Guru dan Siswa menerima peran
kerja sama (partnership).
3.
Bahan-bahan pembelajaran dipilih
berdasarkan kelayakannya.
4.
Penting untuk melakukan
identifikasi dan penuntasan syarat-syarat belajar (learning requirement).
5.
Siswa dilibatkan dalam
pembelajaran.
6.
Tujuan ditulis secara jelas.
7.
Semua tujuan diukur/dites.
Konsekuensi diatas
dapat meningkatkan kadar CBSA lebih jauh menuntut agar Guru:
1.
Memiliki khasanah pengetahuan
yang luas tentang teknik/cara system penyampaian.
2.
Memiliki kriteria tertentu untuk
memilih system penyampaian yang tepat untuk memberikan pengalaman belajar
kepada siswa yang terlibat dalam proses pembelajaran.
Nilai Interistik gerakan untuk
meningkatkan kadar CBSA dalam proses pembelajaran juga muncul sebagai reaksi
terhadap kecenderungan umum penerapan pembelajaran berdasarkan Guru
(teacher-Based Intruction). Menunjukkan Guru sebagai Leveransir (purveyor)
informasi, sehingga pembelajaran hanya sebagai proses perekaman oleh siswa.
Pembelajaran yang
paling adalah strategi yang bersifat ekspositorik. Sistem ini sangat diminati
karena banyak memberikan otoritas kepada Guru, ada kalanya dengan variasi yang
kurang bermutu.
Ditinjau dari
karakteristik tiap-tiap system penyampaian menunjukan kadar potensial
keterlibatan mental guru-siswa yang berbeda-beda.
Faktor-faktor
penentu tersebut adalah:
1)
Karakteristik tujuan, yang
mencakup pengetahuan, keterampilan, dan nilai yang ingin dicapai atau
ditingkatkan sebagai hasil kegiatan.
2)
Karakteristik mata
pelajaran/bidang studi, yang meliputi tujuan, isi pelajaran, urutan, dan cara
mempelajarinya.
3)
Karakteristik siswa, mencakup
karakteristik perilaku masukkan kognip dan afektif, usia, jenis kelamin, dan
lain.
4)
Karakteristik lingkunngan/setting
pembelajaran, mencakup kuantitas prasarana, alokasi jam pertemuan, dan yang
lainya.
5)
Karakteristik Guru, meliputi
filosofinya tentang pendidikan dan pembelajaran, kompetensinya dalam teknik
pembelajaran , kompetensinya dalam teknik pembelajaran, kebiasaannya,
pengalaman kependidikannya, dan yang lain.
(Gale, 1975:204)
Adanya konsekuensi dari penerapan pembelajaran berdasarkan siswa yang akan dapat meningkatkan kadar CBSA suatu proses pembelajaran, lebih jauh menuntut agar guru:
Adanya konsekuensi dari penerapan pembelajaran berdasarkan siswa yang akan dapat meningkatkan kadar CBSA suatu proses pembelajaran, lebih jauh menuntut agar guru:
a.
Memiliki khasanah pengetahuan yang luas tentang teknik/cara penyampaian atau system penyampaian,
b.
memiliki criteria tertentu untuk memilih system penyampaian yang
tepat untuk memberikan pengalaman belajar kepada siswa yang terlibat dalam proses pembelajaran.
Selain itu, nilai intrinsik gerakan untuk meningkatkan kadar CBSA dalam proses pembelajaran juga muncul sebagai reaksi terhadap kecenderungan umum penerapan pembelajaran berdasarkan guru (Teacher Based Instruction). Pembelajaran berdasarkan guru menunjukkan peran guru sebagai leveransir (purveyor) informasi, sehingga pembelajaran hanya sekedar proses perekaman informasi oleh siswa. Dalam situasi pembelajaran berdasarkan guru, strategi pembelajaran yang dominan adalah strategi yang bersifat ekspositorik.
Selain itu, nilai intrinsik gerakan untuk meningkatkan kadar CBSA dalam proses pembelajaran juga muncul sebagai reaksi terhadap kecenderungan umum penerapan pembelajaran berdasarkan guru (Teacher Based Instruction). Pembelajaran berdasarkan guru menunjukkan peran guru sebagai leveransir (purveyor) informasi, sehingga pembelajaran hanya sekedar proses perekaman informasi oleh siswa. Dalam situasi pembelajaran berdasarkan guru, strategi pembelajaran yang dominan adalah strategi yang bersifat ekspositorik.
Adanya pembelajaran berdasarkan guru ini mengakibatkan kecenderungan umum, untuk menyadarkan diri kepada ceramah sebagai sistem penyampaian yang memberikan kesempatan paling besar kepada guru untuk melaksanakan tugasnya sebagai leveransir informasi sekaligus menunjukkan otoritasnya sebagai “sang mahatahu”.
Ditinjau dari karakteristik tiap-tiap sistem penyampaian menunjukkan kadar potensial keterlibatan mental guru-siswa yang
berbeda-beda.
Adapun contoh-contoh tersebut adalah:
1. Tabel perkalian, termasuk belajar reseptif yang menyajikan infoirmasi untuk dihafalkan oleh siswa tanpa tuntutan bagi siswa untuk memahaminya.
Contoh: Tabel Perkalian 1 Sampai dengan 5
2. Penerapan formula(rumus) untuk pemecahan masalah, termasuk belajar dengan penemuan terbimbing yang menuntut siswa menghafal bagaimana menerapkan suatu formula untuk memecahkan masalah.
Contoh: Untuk menemukan panjang sisi miring segitiga siku-siku, siswa menghafal penerapan rumus phythagoras.
3. Pemecahan “teka-teki” dengan coba-salah, termasuk belajar dengan penemuan mandiri yang kurang bermakna karena siswa menghafal tanpa pemahaman.
Contoh: Siswa diminta menebak nama-nama binatang yang ditunjukkan oleh guru.
4. Kerja laboratories sekolah, termasuk belajar dengan penemuan terbimbing, yang lebih bermakna dari pada tiga modus pembelajaran sebelumnya.
Contoh: Siswa berdasarkan lembar kerja yang dibuat oleh guru melakukan percobaan pengaruh panas terhadap tumbuhan.
5. Ceramah atau penyajian buku teks pada umumnya merupakan modus belajar reseptif yang lebih bermakna bagi siswa dibandingkan dengan empat modus sebelumnya.
Contoh: guru ceramah dengan berbagai topik.
6. “Penelitian” atau hasil intelektual rutin pada umumnya merupakan modus belajar dengan penemuan mandiri yang kebermaknaannya sama dengan ceramah.
Contoh: siswa meneliti tentang keajegan (konsistensi) waktu terbit matahari.
7. Klasifikasi keterhubungan antar konsep yakni modus belajar reseptif yang penuh kebermaknaan dan paling bermakna dibandingkan dengan dua modus belajar reseptif yang lain.
Contoh: guru menjelaskan keterhubungan antara konsep pahlawan dengan konsep membela tanah air.
8. Pembelajran audio-tutorial yang dirancang dengan baik merupakan modus belajar dengan penemuan terbimbing yang paling bermakna dari pada dua modus belajar dengan penemuan mandiri yang lain.
Contoh: siswa belajar menemukan konsep-konsep yang disajikan melalui video-tape.
9. Penelitian ilmiah, merupakan modus belajar dengan penemuan mandiri yang paling bermakna dibandingkan dengan dua modus belajar dengan penemuan mandiri yang lain.
Contoh: Siswa merancang konstruksi kincir angin sederhana sehingga mereka dapat menemukan konstruksi yang paling kokoh.
Adapun contoh-contoh tersebut adalah:
1. Tabel perkalian, termasuk belajar reseptif yang menyajikan infoirmasi untuk dihafalkan oleh siswa tanpa tuntutan bagi siswa untuk memahaminya.
Contoh: Tabel Perkalian 1 Sampai dengan 5
2. Penerapan formula(rumus) untuk pemecahan masalah, termasuk belajar dengan penemuan terbimbing yang menuntut siswa menghafal bagaimana menerapkan suatu formula untuk memecahkan masalah.
Contoh: Untuk menemukan panjang sisi miring segitiga siku-siku, siswa menghafal penerapan rumus phythagoras.
3. Pemecahan “teka-teki” dengan coba-salah, termasuk belajar dengan penemuan mandiri yang kurang bermakna karena siswa menghafal tanpa pemahaman.
Contoh: Siswa diminta menebak nama-nama binatang yang ditunjukkan oleh guru.
4. Kerja laboratories sekolah, termasuk belajar dengan penemuan terbimbing, yang lebih bermakna dari pada tiga modus pembelajaran sebelumnya.
Contoh: Siswa berdasarkan lembar kerja yang dibuat oleh guru melakukan percobaan pengaruh panas terhadap tumbuhan.
5. Ceramah atau penyajian buku teks pada umumnya merupakan modus belajar reseptif yang lebih bermakna bagi siswa dibandingkan dengan empat modus sebelumnya.
Contoh: guru ceramah dengan berbagai topik.
6. “Penelitian” atau hasil intelektual rutin pada umumnya merupakan modus belajar dengan penemuan mandiri yang kebermaknaannya sama dengan ceramah.
Contoh: siswa meneliti tentang keajegan (konsistensi) waktu terbit matahari.
7. Klasifikasi keterhubungan antar konsep yakni modus belajar reseptif yang penuh kebermaknaan dan paling bermakna dibandingkan dengan dua modus belajar reseptif yang lain.
Contoh: guru menjelaskan keterhubungan antara konsep pahlawan dengan konsep membela tanah air.
8. Pembelajran audio-tutorial yang dirancang dengan baik merupakan modus belajar dengan penemuan terbimbing yang paling bermakna dari pada dua modus belajar dengan penemuan mandiri yang lain.
Contoh: siswa belajar menemukan konsep-konsep yang disajikan melalui video-tape.
9. Penelitian ilmiah, merupakan modus belajar dengan penemuan mandiri yang paling bermakna dibandingkan dengan dua modus belajar dengan penemuan mandiri yang lain.
Contoh: Siswa merancang konstruksi kincir angin sederhana sehingga mereka dapat menemukan konstruksi yang paling kokoh.
I.Pendekatan Keterapilan Proses sebagai Bagian dari CBSA
1. Pengertian Pendekatan
Keterampilan Proses
Pendekatan
Keterampilan proses adalah wahana pengembangan keterampilan-keterampilan
intelektual, sosial, dan fisik yang bersumber dari kemampuan-kemampuan mendasar
yang pada prinsipnya telah ada dalam diri siswa.
Dimiyati dan Mudjiono (1999) menyimpulkan bahwa :
a. Pendekatan keterampilan proses memberikan kepada siswa pengertian yang tepat tentang hakikat ilmu pengetahuan. Siswa dapat mengalami rangsangan ilmu pengetahuan dan dapat lebih baik mengerti fakta dan konsep ilmu pengetahuan.
b. Proses pengajaran yang berlangsung memberi kesempatan kepada peserta didik untuk bekerja dengan ilmu pengetahuan tidak sekedar mendengar cerita atau penjelasan guru mengenai sesuatu ilmu pemgetahuan. Justru di sisi lain siswa merasa berbahagia dengan peran aktifnya di dalam proses pengajaran.
c. Pendekatan keterampilan proses mengantarkan siswa untuk belajar ilmu pengetahuan, baik sebagai proses ataupun sebagai produk ilmu pengetahuan sekaligus.
Dimiyati dan Mudjiono (1999) menyimpulkan bahwa :
a. Pendekatan keterampilan proses memberikan kepada siswa pengertian yang tepat tentang hakikat ilmu pengetahuan. Siswa dapat mengalami rangsangan ilmu pengetahuan dan dapat lebih baik mengerti fakta dan konsep ilmu pengetahuan.
b. Proses pengajaran yang berlangsung memberi kesempatan kepada peserta didik untuk bekerja dengan ilmu pengetahuan tidak sekedar mendengar cerita atau penjelasan guru mengenai sesuatu ilmu pemgetahuan. Justru di sisi lain siswa merasa berbahagia dengan peran aktifnya di dalam proses pengajaran.
c. Pendekatan keterampilan proses mengantarkan siswa untuk belajar ilmu pengetahuan, baik sebagai proses ataupun sebagai produk ilmu pengetahuan sekaligus.
Secara
singkat dapat dikatakan bahwa pendekatan keterampilan proses menekankan pada
upaya membelajarkan siswa bagaimana belajar. Oleh karena itu, hubungan antara
CBSA dan PKP sangat erat dan berinterksi secara timbal balik. Pendekatan
keterampilan proses dapat dikatakan
merupakan
perwujudan dari upaya pembelajaran melalui CBSA.
2.
Jenis Keterampilan dalam PKP
a. Keterampilan-keterampilan Dasar (Basic Skills)
Keterampilan-keterampilan Dasar terdiri dari :
• Mengamati
• Mengklasifikasikan
• Mengkomunikasikan
• Mengukur
• Memprediksi
• Menyimpulkan
b. Keterampilan-keterampilan Terintegrasi (Integrated Skills)
Keterampilan-keterampilan Terintegrasi terdiri dari :
• Mengenali variabel
• Membuat tabel data
• Membuat grafik
• Menggambarkan hubungan antar variabel
• Mengumpulkan dan mengolah data
• Menganalisis penelitian
• Menyusun hipotesis
• Mendefinisikan variabel
• Bereksperimen
a. Keterampilan-keterampilan Dasar (Basic Skills)
Keterampilan-keterampilan Dasar terdiri dari :
• Mengamati
• Mengklasifikasikan
• Mengkomunikasikan
• Mengukur
• Memprediksi
• Menyimpulkan
b. Keterampilan-keterampilan Terintegrasi (Integrated Skills)
Keterampilan-keterampilan Terintegrasi terdiri dari :
• Mengenali variabel
• Membuat tabel data
• Membuat grafik
• Menggambarkan hubungan antar variabel
• Mengumpulkan dan mengolah data
• Menganalisis penelitian
• Menyusun hipotesis
• Mendefinisikan variabel
• Bereksperimen
3.Rasionalisasi Pendekatan Keterampilan Proses dalam Pengajaran
Kegiatan pembelajaran dimaksud agar
tercipta kondi yang memungkinkan terjadi belajar pada diri siswa. Dalam suatu
kegiatan pembelajaran dapat dikatakan terjadinya belajar, apabila terjadi
proses perubahan perilaku pada diri siswa sebagai hasil dari suatu pengalaman.
Kegiatan pengajaran seringkali
didasarkan pada dua premis yangterkadang tidak diungkapkan secara jelas.
Premis pertama mengungkapkan bahwa
siswa belajar sesuatu bukan karna hal
yang di pelajari menarik atau menyenangkan bagi nya, tetapi siswa belajar hanya
ingin menghindarkan diri ketidak senangan bila tidak
belajar. Berdasarkan premis ini, timbul tindakan yang mengondisikan adanya
ancaman tidak naik kelas, nilai rendah, hukuman dan yang lain, agar siswa
belajar.
Premis
kedua mengungkapkan bahwa guru merupakan “Motor Penggerak” yang membuat
siswa terus-menerus belajar, dari pihak siswa tiada kegiatan spontan.
Tugas utama guru adalah menciptakan
suasana kelas sedemikian rupa agar terjadi interaksi belajar-mengajar yang
dapat memotivasi siswa untuk belajar dengan baik dan sungguh-sungguh. CBSA akan
berjalan sebagaimana diharapkan apabila dalam prakteknya CBSA mampu
mengembangkan keterampilan memproses perolehan. Jadi apabila keterampilan
proses dikaitkan dengan CBSA, maka akan tampak keduanya mempunyai ciri sebagai
berikut;
• menekankan pentingnya keberartian belajar untuk mencapai hasil belajar yang memadai;
• menekankan pentingnya keterlibatan siswa dalam proses belajar.
• tenekankan bahwa belajar adalah proses dua arah yang menekankan hasil belajar secara tuntas.
• menekankan pentingnya keberartian belajar untuk mencapai hasil belajar yang memadai;
• menekankan pentingnya keterlibatan siswa dalam proses belajar.
• tenekankan bahwa belajar adalah proses dua arah yang menekankan hasil belajar secara tuntas.
Mengapa keterampilan proses diperlukan?
Dalam proses belajar-mengajar,
pengembangan konsep harus dipadukan dengan pengem¬bangan nilai dalam diri anak
didik. Tujuannya
adalah menghasilkan manusia yang ahli sekaligus manusiawi. Artinya, lulusan
yang diharapkan mempunyai pengetahuan yang luas, manusiawi dan keduanya menyatu
dalam pribadi yang serasi, selaras dan seimbang.
Adanya dua premis seperti diungkapkan tersebut,
mengakibatkan kegiatan pembelajaran cendrung menjadi kegiatan “penjajahan” atau
“penjinakan” dari pada sebagai kegiatan “pemanusian”. Terjadinya “penjajahan”
atau “penjinakan” , karna siswa benar-benar dijadikan objek kegiatan
pembelajaran.
Apabila dikaji
lebih lanjut, kita akan tiba pada kesimpulan bahwa penerapan PKP dalam kegiatan
pembelajaran didasarkan pada hal-hal berikut ;
a.
Percepatan perubahan ilmu
pengetahuan dan teknologi
b.
Pengalaman intelektual,
emosional, dan fisik di butuhkan agar didapatkan hasil belajar yang optimal.
c.
Penanaman sikap dan nilai sebagai
pengabdi pencarian abadi kebenaran ilmu.
4.Pengertian Pendekatan Keterampilan Proses dan Keterkaitannya dengan CBSA
Pendekatan
keterampilan proses dapat diartikan sebagai wawasan atau anutan pengembangan
keterampilan-keterampilan intelektual, social, dan fisik yang bersumber dari
kemampuan-mendasar yang pada prinsip nya telah dad dalam diri siswa(Depdikbud,
1986 b:7).
Uraian tentang pendekatan Keterampilan
Proses ini adalah :
a.
PKP sebagai wahana penemuan dan
pengembangan fakta, konsep, dan prinsip ilmu pengetahuan bagi diri siswa.
b.
Fakta, konsep, dan prionsip ilmu
pengetahuan yang ditemukan dan dikembangkan siswa berperan dalam menunjang
pengembangan keterampilan dalam diri siswa.
c.
Interaksi antara pengembangan
keterampilan proses dengan fakta, konsep, serta prinsip ilmu pengetahuan, pada
akhirnya mengembangkan sikap dan nilai ilmuan pada diri siswa.
5.Jenis-jenis Keterampilan dalam keterampialan Proses.
Sejumlah
keterampilan proses yang dikemukakan oleh Funk, dalam kurikulum (pedoman dan
proses belajar mengajar) dikelompokan menjadi tujuh keterampilan proses. Adapun
tujuh keterampilan proses resebut adalah mengamati, menggolongkan, menafsirkan,
meramalkan, menerapkan, merencanakan penelitian, dan mengkomunikasikan
(Depdikbud, 1986 b:9-10)
Funk (1985) lebih
lanjut mengemukakan, meskipun keterampilan-keterampilan tersebut saling
bergantung, masing-masing menitik beratkan pada pengembangan suatu area keterampilan
khusus.
Keterampilan proses
terintegrasi yang lebih konflek yang pada hakekatnya merupakan
keterampilan-keterampilan yang diperlukan untuk melakukan penelitian. Adapun
sepuluh keterampilan terintegrasi tersebut ialah; Mengenali variabel, membuat
tabel data, membuat grafik, menggambarkan hubungan antar-variabel, mengumpulkan
dan mengolah data, menganalisis penelitian, menyusun hipotesis, mendefinisikan
variabel, merancang penelitian, bereksperimen.
6.Penerapan Keterampilan Prose dalam pembelajaran
Untuk dapat menerapkan PKP dalam
pembelajaran, kita perlu memperhatikan dan mempertimbangkan karakteristik siswa
dan karakteristik mata pelajaran atau bidang studi. Kita perlu menyadari bahwa
dalam kegiatan pembelajaran dapat
terjadi pengembangan lebih dari satu macam keterampilan proses.
Keterampilan dasar yakni
mengobservasi, mengklasifikasi, memprediksi, mengukur, menyimpulkan, dan
mengkomunukasikan pengembangannya tidak berhenti pada jenjang Sekolah Dasar.
Penerapan keterampilan dasar PKP pada semua jenjang pendidikan di perlukan
untuk mendukung penerapan keterampilan terintegrasi PKP. Dalam penerapan
keterampilan dasar PKP tidak diperlukan lagi uraian teori nya bagi siswa SLTP
dan Sekolah Menengah, yang mampu melakukankan nya.
Penerapan keterampilan terintegrasi
PKP dalam pembelajaran jenjang Pendidikan SLTP dan sekolah menengah atas (SMA)
memerlukan pembahasan teori dari tiap keterampilan yang ada didalamnya.
Mengingat keterampilan terintegrasi dalam PKP merupakan keterampilan
melaksanakan suatu kegiatan penelitian, maka penerapannya dalam pembelajaran
hendaknya dilakukan dengan urutan Hierarkis. Dengan kata lain, sebelum satu
keterampilan dikuasai siswa jangan berpindah kepada keterampilan yang lainnya.
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Untuk dapat mengelola dan merancang program pembelajaran dan
proses pembelajaran, seorang guru hendaknya mengenal faktor – faktor penentu
kegiatan pembelajaran. Faktor – faktor penentu tersebut adalah :
1. Karakteristik tujuan, yang mencangkup pengetahuan,
keterampilan, dan nilai yang ingin dicapai atau ditingkatkan sebagai hasil
kegiatan.
2. Karakteristik mata pelajaran/ bidang studi, yang meliputi
tujuan, isi pelajaran, urutan, dan cara mempelajarinya.
3. Karakteristik siswa, mencangkup karakteristik perilaku
masukan kognitif dan afektif, usia, jenis kelamin, dan yang lain.9u, mencangkup
kuantitas dan kualitas prasarana, alokasi jam pertemuan, dan yang lainnya
5. Karakteristik guru, meliputi filosofinya tentang
pendidikan dan pembelajaran, kompetisinya dalam teknik pembelajaran,
kebiasaannya, pengalaman kependidikannya, dan yang lain.
- Mendidik
subjek didik untuk membangun dirinya sendiri dan bertanggung jawab atas
pembangunan bangsa dalam dunia dan masyarakat dan terus-menerus berubah
mampu menuntut dia mampu berfikir sendiri. Hal ini perlu memahami dan
memperlakukan tuntutan peningkatan teknologi sains dan teknologi pada
suatu generasi yang sebagian tumbuh di pedesaan ,akan mempunyai dampak
pada kehidupan lama yang sebelumnya belum dialaminya. Pertumbuhan dan
pendidikan sikap yang sesuai diperlukan supaya tekaman – tekaman hidup
sebagai konsekuensi dari perkembangan sains dan teknologi tidak
menjerumuskan kita dalam suatu pertumbuhan masyarakat ekonomi yang serba
materialis,konsutif dan individualisti yang meruan dampak peningkatan
ekonomi .apa yang dihasilkan oleh sekolah merupakn persiapan dalam
menghadapi tuntutan jaman dn masa depan yang diakaitakan.untuk itu ,tidak
saja ia harus mengwujudkan potensinya secara alamiah dalam menghadapi masa
depan tetapi ia harus mampu membangun dan menguasai masa depan itu.disini
terlekak factor pengembangan sikap untu sepenuhynya bertanggung jawab
terhadap tugasnya(matra afektif)yamg mewujudkan tekad kecendurungan
(tendency) dan kejadian (event) dari masa depan itu.keterampilan fisik dan
mental(matra psikomotorik)dan perolehan pengetahuan(kognitif)untuk
berpikir mandiri diperoleh denga pendekatan keterampilan prose situ
merupakan penyatu kaitan yang mendalam(interpenetrasi)dari empat
matra,yang membuka suasana kondusif yang ditandai oleh kepekaan intuitif
(matra interaktif) terhadap berbagi masalah, sekaligus menampilkan
kreatifitasnya
Dari pembahasan makalah ini kami
dapat menarik kesimpulan bahwa dalam pembelajaran ditemukan adanya dua pelaku,
guru berinteraksi dengan siswa, yang keduanya mencapai tujuan pembelajaran atau
sasaran belajar yang serupa. Kadar CBSA dalam interaksi tersebut berbeda-beda.
Pembelajaran ber-CBSA baik berciri (i) pembelajaran berpusat pada siswa, (ii)
guru bertindak sebagai pembimbing pengalaman belajar, (iii) orientasi tujuan
pada perkembangan kemampuan siswa secara utuh dan seimbang, (iv) pengelolaan
pembelajaran menekankan pada kreativitas siswa, dan (v) optimalisasi kadar CBSA
tersebut dapat diprogramkan dalam desain instruksional (persiapan mengajar) guru.
Pembelajaran ber-CBSA merupakan wujud kegiatan atau unjuk kerja guru. Hampir
dapat dikatakan bahwa guru profesional diduga berkemampuan mengelola
pembelajaran berkadar CBSA tinggi.
B. Saran
Setelah membaca makalah ini kami
mengharapkan agar dalam hal ini materi pembelajar harus benar-benar dibuat
sesuai dengan kemampuan berpikir mandiri, pembentukan kemauan si pembelajar.
Situasi pembelajar mampu menumbuhkan kemampuan dalam memecahkan masalah secara
abstrak, dan juga mencari pemecahan secara praktik. Disamping itu juga,
guru diharapkan dapat merangsang siswa untuk mampu menampilkan potensinya,
betapapun sederhananya serta guru dapat menumbuhkan keterampilan-keterampilan
pada siswa sesuai dengan taraf perkembangannya, sehingga mereka memperoleh
konsep. Dengan mengembangkan keterampilan keterampilan memproses perolehan,
siswa akan mampu menemukan dan mengembangkan sendiri fakta dan kosep serta
mengembangkan sikap dan nilai yang dituntut.
DAFTAR PUSTAKA
Cony Semiawan, dkk.. 1986. Pendekatan keterampilan proses:
Bagaimana Siswa dalam belajar?. Jakarta : PT Gramedia.
Davies, Ivor K., penerjemah: Sudarsono Sudirjo dkk.
1987. Pengelolaan Belajar. Jakarta:
PAU-UT dan CV Rajawali.
Depdikbud. 1986a. Kurikulum: Landasan, Program dan Pengembangan. Jakarta : Depdikbud.
Depdikbud.1986b. Kurikulum : Pedoman Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Depdikbud.
Funk, James H. dkk.. 1985. Learning Science Process Skills, Lowa : Kendal/Hunt Publishing
Company.
Gage, N.L. dan David C. Berliner. 1984. Educational Psychology. Chicago : Rand
McNally College Publishing Company.
Joni, T. Raka. 1992. Peningkatan Mutu Pendidikan Dasar dan Menengah Melalui Strategi
Pembelajaran Aktif (cara belajar Siswa Aktif) dan Pembinaan Profesional Guru,
Kepala Sekolah, Penilik dan Pengawas Sekolah serta Pembina lainya. Jakarta
: Depdikbud.
Singaribun, Masri dan Sofian Effendi. 1986. Metode Penelitian Survai. Jakarta :
LP3ES.
Surakhmad, Winarno. 1978. Dasar dan Teknik Reseach :
Pengantar Metodologi Ilmiah. Bandung :
Tarsito.
Dimyati, Mudjiono. 1994. Belajar dan Pembelajaran.
Jakarta : Depdikbud
Dimyati dan Mudjiono.
2009. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Sudjana, Hana. 1996. Cara Belajar Siswa Aktif Dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algesindo
Sudjana, Hana. 1996. Cara Belajar Siswa Aktif Dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algesindo
Tim Dosen. 2009. Perancanaan Pembelajaran Biologi.
Medan : FMIPA UNIMED