BAB. 1
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Abad XXI ini dikenal dengan era
globalisasi dan era informasi. Dalam era ini laju informasi berjalan dengan
sangat cepat. Segala sesuatu yang terjadi di dunia dapat diakses dan diketahui
dalam hitungan detik. Begitu juga masalah-masalah budaya, ilmu pengetahuan,
teknologi berkembang pesat, dan persaingan hampir dalam seluruh segmen
kehidupan terjadi dan terbuka lebar. Dalam zaman atau era seperti ini dibutuhkan
pribadi-pribadi yang tangguh dan mempunyai kemandirian tinggi dalam rangka
mengarungi kehidupannya. Dari sinilah dibutuhkan sebuah keluarga yang mampu
membimbing dan mendidik anak atau remaja yang mandiri dan bertanggungjawab atas
masa depannya.
Sebab keluarga sebagai unit
terkecil merupakan entitas pertama dan utama dimana anak tersebut tumbuh, dan
dibesarkan, dibimbing dan diajarkan nilai-nilai kehidupan sesuai dengan harapan
sosial (social expectacy) dimana keluarga tersebut tinggal. Hingga nantinya
sang anak atau remaja siap menghadapi tantangan dalam kehidupannya dan mampu
mengemban amanat besar sebagai penerus estafet perjuangan bangsa.
Perkembangan kemandirian
emosional, tidak terlepas dari penerapan pengasuhan orang tua melalui interaksi
antara ibu dan ayah dengan anaknya. Keluarga merupakan lingkungan pertama yang
paling berperan dalam pengasuhan anak, sehingga mempunyai pengaruh yang paling
besar pada pembentukan kemandirian.
Selain itu lingkungan pendidikan
juga memberikan pengaruh pada perkembangan kemandirian. Bagaimana cara mereka
diperlakukan dalam lingkungan sekolah, dan bagaimana cara guru mendidik mereka
merupakan salah factor yang mempengaruhi berkembangnya kemandirian seseorang.
Bagi anak sekolah tingkat lanjutan, yaitu: Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dan
Sekolah Lanjutan Tingkat Atas atau sekolah-sekolah lain yang menerapkan system
full day school, lingkungan sekolah merupakan aspek yang sangat mempengaruhi
proses berkembangnya kemandirian seorang anak.
Hal itu terjadi karena waktu anak
tersebut banyak dihabiskan di sekolah. Sehingga kurun waktu untuk berinteraksi
dengan orang lain yang berada di lingkungan sekolah lebih banyak.
Lain halnya dengan orang yang sudah bekerja atau seorang mahasiswa / mahasiswi
maka lingkungan masyarakat lah yang berpengaruh besar. Karena kebanyakan dari
mereka akan merantau ke tempat yang jauh dari asal mereka, sehingga
kecenderungan untuk berinteraksi dengan masyarakat jauh lebih banyak.
Dari uraian di atas dapat
dinyatakan bahwa perkembangan kemandirian seseorang dipengaruhi oleh beberapa
faktor. Dan proses perkembangan tersebut berlangsung secara bertahap atau step
by step, yaitu mulai dari tingkatan yang terendah sampai tingkatan perkembangan
kemandirian tertinggi. Diperlukan beberapa upaya untuk mewujudkan perkembangan
kemandirian pada seorang anak. Dan untuk mewujudkan hal tersebut terdapat
beberapa penyebab yang dapat menghambat proses perkembangan kemandirian.
B. Rumusan
Masalah
Hubungan antara seorang anak dan
orang tua sebagai orang yang paling dekat dan berarti baginya, sangat berperan
dalam perkembangan kepribadian seorang anak. Sejak awal kehidupannya, seorang
anak mempersepsi bagaimana orang tua bersikap dan memperlakukan dirinya. Sikap
dan perlakuan orang tua terhadap remaja merupakan iklim psikologis yang timbul
dalam bentuk interaksi antara orang tua dan remaja di lingkungan keluarga,
dapat mempengaruhi perkembangan kemandirian remaja.
Gaya-gaya pengasuhan yang
diterapkan oleh orang tua terhadap anaknya dalam berinteraksi sehari-hari di
rumah, merupakan suatu stimulasi yang berkaitan erat dengan perkembangan
kemandirian seorang anak. Gaya-gaya yang diterapkan seperti orang tua yang
terlalu menuntut tanpa memperhatikan kebutuhan anak, selalu memberikan sanksi
tanpa melihat jenis kesalahannya, tidak pernah melibatkan anak dalam
membicarakan masalah-masalah anak, serta tidak melibatkan dalam pengambilan
keputusan merupakan bentuk interaksi yang otoriter, yang pada gilirannya akan
mempengaruhi perkembangan psikososial anak.
Selain itu keadaan pada lingkungan
pendidikan anak juga mempengaruhi proses perkembangan kemandirian, terutama
anak yang sedang duduk di bangku Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dan Sekolah
Lanjutan Tingkat Atas. Bagaimana seorang anak mendapatkan didikan dan bagaimana
mereka diperlakukan dalam lingkungan pendidikan perlu diperhatikan. Karena
dalam proses tersebut anak akan mengembangkan kemandirian mereka dengan tujuan
belajar untuk hidup lebih mandiri dan tidak bergantung lagi pada orang tua atau
keluarga.
Di samping itu lingkungan
masyarakat tempat anak tersebut berada juga memberikan pengaruh. Bagaimana cara
masyarakat memperlakukan anak tersebut dan memberikan kesempatan kepada anak
tersebut untuk mengembangkan kemandiriannya.
Persoalan-persoalan mendasar
tersebut erat kaitannya dengan masalah-masalah kemandirian anak sebagaimana
telah diuraikan di atas merupakan hal yang menarik untuk diteliti, hal ini
patut diteliti sebab perkembangan kemandirian anak tersebut tidak muncul begitu
saja, tetapi hal ini merupakan hasil interaksi antara individu satu dengan
individu lainnya yang diawali dengan interaksi dengan individu yang ada dalam
keluarganya serta dengan kelompok-kelompok teman sebayanya.
Selain itu kemandirian anak juga
merupakan perwujudan dari kemampuan seorang individu untuk menampilkan diri
pada kehidupan sosialnya didalam lingkungan keluarganya, lingkungan sekolah
atau teman-teman sebayanya serta lingkungan sosial lain yang lebih luas yakni
masyarakat sekitar.
C. Tujuan
Sesuai dengan masalah yang telah
dirumuskan di atas, maksud dari penelitian ini adalah menghimpun bahan dan
informasi secara sistematis dan terencana mengenai perkembangan kemandirian
anak. Sedangkan tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui pengertian
kemandirian, tingkatan dan karakteristik kemandirian, faktor-faktor lain yang
mempengaruhinya, upaya pengembangan kemandirian remaja dan implikasinya bagi
pendidikan, dan hambatan perkembangan kemandirian.
D. Manfaat
Penelitian ini menekankan pada
area kajian psikologi perkembangan diharapkan dapat menggali informasi dan
pengetahuan yang memberi manfaat bagi pengembangan ilmu dan guna laksana bagi
praktisi di lapangan, sebagai berikut :
1.
Kegunaan ilmiah
informasi dan
pengetahuan tentang hubungan antara gaya pengasuhan orang tua dan kemandirian
remaja yang dapat digali melalui penelitian ini, bisa sebagai bahan masukan
empiris dan untuk menambah referensi dalam bidang ilmu pengetahuan, khususnya
dalam kajian psikologi perkembangan yang menyangkut pembentukan dan
perkembangan kemandirian emosional remaja dalam kaitannya dengan gaya
pengasuhan orang tua di masyarakat kabupaten Konawe Selatan.
2.
Kegunaan praktis
Sebagai bahan
pertimbangan atau informasi tambahan yang bermanfaat, baik bagi para orang tua,
para pendidik, maupun kalangan masyarakat umumnya, dalam pembinaan remaja.
BAB 2
PEMBAHASAN
PERKEMBANGAN KEMANDIRIAN
A. Pentingnya
Kemandirian Bagi Peserta Didik
Situasi
kehidupan dewasa ini sudah semakin kompleks, Kompleksitas kehidupan itu, yang
pada saat sekarang seolah-olah telah menjadi bagian yang mapan dari kehidupan
masyarakat, sebagian demi sebagian akan bergeser atau bahkan mungkin hilang
sama sekali karena digantikan oleh pola kehidupan baru pada masa mendatang yang
diprakirakan akan semakin lebih kompleks.
Kecenderungan yang muncul di
permukaan dewasa ini, ditunjang oleh laju perkembangan teknologi dan arus gelombang kehidupan global
yang sulit atau tidak mungkin untuk dibendung, mengisyaratkan bahwa kehidupan
masa mendatang akan menjadi sarat pilihan yang rumit. Ini mengisyaratkan pula
bahwa manusia akan semakin didesak kearah kehidupan yang amat kompetitif.
Andersen (1993:718) memprediksikan si-tua-si-kehidupan semacam itu dapat
menyebabkan manusia menjadi serba bingung atau bahkan larut ke dalam situasi
baru itu tanpa dapat menyeleksi lagi jika tidak memiliki ketahanan hidup yang
memadai karena tata-nilai lama yang telah mapan ditantang oleh nilai-nilai yang
belum banyak dipahami.
Situasi kehidupan semacam itu
memiliki pengaruh kuat terhadap dinamika kehidupan remaja, apalagi remaja,
secara psikologis, tengah berada pada masa topan dan badai dan tengah mencari
jati-diri. Pengaruh kompleksitas kehidupan dewasa ini sudah tampak pada
berbagai fenomena remaja yang perlu memperoleh perhatian pendidikan. Fenomena
yang tampak akhir-akhir ini antara lain perkelahian antar pelajar,
penyalahgunaan obat dan alcohol, reaksi emosional yang berlebihan, dan berbagai
perilaku yang mengarah pada tindak criminal.
Dalam konteks proses belajar,
gejala negatif yang tampak adalah kurang mandiri dalam belajar yang berakibat
pada gangguan mental setelah memasuki
perguruan tinggi, kebiasaan belajar yang kurang baik yakni tidak tahan
lama dan baru belajar setelah menjelang ujian, membolos, menyontek dan mencari
kebocoran soal ujian.
Problem remaja di atas, yang
merupakan perilaku-perilaku reaktif, semakin meresahkan jika dikaitkan dengan
situasi masa depan remaja yang diprakirakan akan semakin kompleks dan penuh
tantangan itu. Menurut Tilaar (1987:2), tantangan kompleksitas masa depan itu
memberikan dua alternatif: pasrah kepada nasib atau mempersiapkan diri sebaik
mungkin. Misi pendidikan yang juga berdimensi masa depan tentunya menjatuhkan
pilihannya pada alternatif kedua. Artinya, pendidikan mengemban tugas untuk
mempersiapkan remaja bagi peranannya di masa depan agar kelak menjadi manusia
berkualitas dan memiliki kemandirian yang tinggi.
Pentingnya ikhtiar
mempersiapkan remaja bagi masa depannya itu, disamping mereka tengah mencari
jati-diri, karena mereka juga tengah berada pada tahap perkembangan yang amat
potensial. Perkembangan kognitifnya, menurut teori perkembangan kognitif dan
piaget, telah mencapai tahap puncak perkembangan kognitif: masa munculnya
kemampuan berpikir sistematis dalam menghadapi persoalan-persoalan abstrak dan
hipotesis karena telah mencapai tahap operasional formal. Perkembangan moralnya
tengah berada pada tingkatan konvensional: suatu tingkatan yang ditandai dengan
adanya kecenderungan tumbuhnya kesadaran bahwa norma-norma yang ada dalam
masyarakat perlu dijadikan acuan dalam hidupnya, menyadari kewajibannya
melaksanakan norma-norma itu, dan mempertahankan perlunya ada norma.
Perkembangan fisiknya juga tengah pada masa perkembangan fisik yang amat pesat.
Melihat potensi remaja itu,
menjadi penting dan amat menguntungkan manakala ikhtiar pengembangannya
difokuskan pada aspek-aspek positif remaja itu daripada lebih menyoroti sisi
negatifnya. Sebab, meskipun ada remaja yang menunjukkan perilaku negatif,
sebenarnya hanya sebagian kecil saja dari sekian banyaknya remaja yang ada,
yakni hanya kurang dari 1% dari jumlah remaja Indonesia. Ikhtiar mempersiapkan
remaja menghadapi masa depan yang serba kompleks itu, salah satunya, dengan
mengembangkan “kemandirian”.
Ikhtiar pendidikan yang
dilakukan secara sungguh-sungguh untuk mengembangkan kemandirian menjadi sangat
penting karena selain problema remaja dalam bentuk perilaku negatif sebagaimana
dipaparkan di atas, ada juga sejumlah gejala negative yang tampaknya menjauhkan
individu dari kemandirian. Gejala-gejala tersebut dapat dipaparkan berikut ini
:
1. Ketergantungan
disiplin kepada control luar dan bukan
karena niat sendiri yang ikhlas. Perilaku seperti ini akan mengarah kepada
perilaku formalistic dan ritualistic serta tidak konsisten. Situasi seperti ini
akan menghambat pembentukan etos kerja dan etos kehidupan yang mapan sebagai
salah satu ciri dari kualitas sumber daya dan kemandirian manusia.
2. Sikap
tidak peduli terhadap lingkungan hidup. Manusia mandiri bukanlah manusia yang
lepas dari lingkungannya, melainkan manusia yang bertrtansenden terhadap
lingkungannya. Ketidak pedulian terhadap lingkungan hidup merupakan gelaja
perilaku implusif yang menunjukkan bahwa kemandirian masyarakat masih rendah.
3. Sikap
hidup konformistik tanpa pemahaman dan kompromistik dengan mengorbankan
prinsip. Gejala mitos bahwa segala sesuatunya bisa diatur yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat merupakan petunjuk adanya ketidakjujuran berpikir
dan bertindak serta kemandirian yang masih rendah.
Gejala-gejala di atas merupakan
sebagian dari kendala utama dalam mempersiapkan individu-individu yang mampu
mengarungi kehidupan masa mendatang yang semakin kompleks dan penuh tantangan.
Oleh sebab itu perkembangan kemandirian
remaja menuju kea rah kesempurnaan menjadi sangat penting untuk
diikhtiarkan secara serius, sistematis dan terprogram. Sebab, problema
kemandirian sesungguhnya bukanlah hanya merupakan masalah “intergeneration”
(dalam generasi), tetapi juga merupakan masalah “between-generation” (antar
generasi). Perubahan tata nilai yang terjadi dalam generasi dan antar generasi
akan tetap memposisikan kemandirian sebagai isu actual dalam perkembangan
manusia.
B. Pengertian Kemandirian
Kata
“kemandirian “ berasal dari kata dasar “diri” yang mendapatkan awalan “ke” dan
akhiran “an” yang kemudian membentuk suatu kata keadaan atau kata benda. Karena
kemandirian berasal dari kata dasar “diri”, maka pembahasan mengenai
kemandirian tidak dapat dilepaskan dari pembahasan mengenai perkembangan “diri”
itu sendiri, yang dalam konsep Carl Rogers disebut dengan istilah “self” karena
“diri” itu merupakan inti dari kemandirian. Kalau menelusuri berbagai
literature, sesungguhnya banyak sekali istilah
yang berkenaan dengan “diri” ini. Terdapat sejumlah istilah yang
dikemukakan oleh para ahli yang makna dasarnya relevan dengan “diri” yakni:
self-determinism (Emil Durkheim), autonomous morality (Jean Piaget), ego
integrity (Erick E. Erickson), the creative self (Alfred Adler),
self-actualization (Abraham H. Maslow), self-system (Harry Stack Sullivan),
real self (Caren Horney), self-effisentience, self-sufficiency,
self-expression, self-direction, self-structure, self-contempt, self-control,
self-righteousness, self-effacement (Hall dan Linzey).
Sedemikian banyaknya istilah
atau konsep yang berkenaan dengan “diri” itu, namun jika dikaji lebih mendalam
lagi ternyata tidak selalu merujuk kepada kemandirian. Konsep yang sering kali
digunakan atau yang berdekatan dengan kemandirian adalah yang sering disebut
dengan istilah “autonomy”.
Upaya mendefinisikan
kemandirian dan proses perkembangannya, ada berbagai sudut pandang yang sejauh
perkembangannya dalam kurun waktu sedemikian lamanya telah dikembangkan oleh
para ahli. Emil Durkheim, misalnya, melihat makna dan perkembangan kemandirian
dari sudut pandang yang berpusat pada masyarakat. Pandangan ini dikenal juga
dengan pandangan konformistik. Dengan menggunakan sudut pandang ini, Durkheim
berpendirian bahwa kemandirian itu merupakan elemenesensial ketiga dari
moralitas yang bersumber pada kehidupan masyarakat. Durkheim berpendapat bahwa
kemandirian itu tumbuh dan berkembang karena adanya dua faktor yang merupakan
elemen prasyarat bagi kemandirian, yaitu :
1. Adanya
disiplin yaitu adanya aturan bertindak dan otoritas
2. Adanya
komitmen terhadap kelompok.
Dalam pandangan konformistik,
kemandirian merupakan konformitas terhadap prinsip moral kelompok rujukan. Oleh
sebab itu, individu yang memiliki kemandirian pengambilan keputusan pribadinya
dilandasi oleh pemahaman mendalam akan konsekuensi dari tindakannya dan
disertai dengan keberanian diri menerima segala konsekuensi dari tindakannya
itu. Dengan demikian, dalam pandangan konformistik dari tindakannya itu. Dengan
demikian, dalam pandangan konformistik ini pemahaman mendalam tentang hukum moralitas menjadi
faktor utama pendukung perkembangan kemandirian. Bahkan, menurut Sunaryo
Kartadinata (1988), faktor pemahaman inilah yang membedakan kemandirian
(self-determinism) dari kepatuhan (submission) karena dengan pemahaman inilah
individu akan terhindar dari konformitas pasif.
Masih dalam perspektif
konformistik ini, maka konsep kemandirian konformistik juga dapat ditelusuri
dalam pemikiran McDougal yang berpandangan bahwa perilaku mandiri itu sebagai
“hallmark” dari kematangan, dan berarti juga sebagai pendorong perilaku sosial.
Dijelaskan dalam pandangan McDougal bahwa kemandirian merupakan konformistik
khusus, yang berarti suatu konformistik terhadap kelompok yang
terinternalisasi. Lebih lanjut ditegaskan bahwa setiap individu itu selalu
berkonformitas, dan yang membedakan konformitas antara individu satu dengan
lainnya adalah variabel kelompok rujukan yang disukainya. Sampai di sini
menjadi semakin tampak jelas bahwa antara pemikiran Emil Durkheim maupun
McDougal sama-sama berpandangan bahwa antara kemandirian dengan konformitas
merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan.
Secara hakiki, perkembangan
kemandirian individu sesungguhnya merupakan perkembangan hakikat eksistensial
manusia. Penghampiran terhadap kemandirian dengan menggunakan perspektif yang
berpusat pada masyarakat cenderung memandang bahwa lingkungan masyarakat
merupakan kekuasaan luar biasa yang menentukan kehidupan individu. Dari sudut
pandang ini, seolah-olah individu itu tidak memiliki kekuatan apa-apa untuk
menentukan perbuatannya sendiri. Pandangan yang berpusat pada masyarakat akan
cenderung memposisikan pendidikan sebagai proses transmisi budaya yang lebih
menekankan pada proses penanaman harapan
dan aturan masyarakat. Dapat dikatakan juga bahwa pandangan ini lebih bersifat
pasif-reaktif.
Atas dasar kelemahan yang
melekat pada pandangan yang berpusat pada masyarakat itu, maka kemandirian
perlu dihampiri dengan menggunakan perspektif lain yang bersifat
aktif-progresif. Dalam konteks ini, Sunaryo Kartadinata (1988) mengajukan
konsep bahwa proses perkembangan manusia
harus di pandang sebagai “proses interaksional dinamis”. Dikatakannya
bahwa proses ini mengimplikasikan bahwa manusia berhak memberikan makna
terhadap dunianya atas dasar “proses mengalami” sebagai konsekuensi dari
perkembangan berpikir dan penyesuaian kehendaknya. Dalam perspektif ini,
kemandirian menjadi berpusat pada “ego” atau “diri” sebagai dimensi pemersatu
organisasi kepribadian.
Kemandirian yang sehat adalah
yang sesuai dengan hakikat manusia yang paling dasar. Perilaku mandiri adalah
perilaku memelihara hakikat eksistensi diri. Oleh karena itu, kemandirian
bukanlah hasil dari proses internalisasi aturan otoritas melainkan suatu proses
perkembangan diri sesuai dengan hakikat eksistensi manusia. Dlam konteks ini,
Erick Fromm menyebut perilaku ini sebagai hakikat humanistik.
Pada pembahasan terdahulu telah
dikatakan bahwa proses perkembangan manusia harus dipandang sebagai “proses
interaksional dinamis”. Interaksional mengandung makna bahwa kemandirian
berkembang melalui proses keragaman manusia dalam kesamaan dan kebersamaan;
bukan dalam kevakuman. Dalam konteks kesamaan dan kebersamaan ini, Abrahaman H.
Maslow (1971) membedakan kemandirian menjadi dua, yaitu :
1. Kemandirian
aman
2. Kemandirian
taka man.
Kemandirian aman adalah
kekuatan untuk menumbuhkan cinta kasih pada dunia, kehidupan, dan orang lain,
sadar akan tanggungjawab bersama, dan tumbuh rasa percaya terhadap kehidupan.
Kekuatan ini digunakan untuk mencintai kehidupan dan membantu orang lain.
Sedangkan kemandirian tak aman adalah kekuatan kepribadian yang dinyatakan
dalam perilaku menentang dunia. Maslow menyebut kondisi seperti ini sebagai
“selfish autonomy” atau kemandirian mementingkan diri sendiri.
Masih dalam konteks kemandirian
ini, Maslow (1971) mengajukan suatu konsep yang disebut “self-transcendence”
itu bukanlah “self-obliteration” atau peleburan-diri melainkan suatu proses
perkembangan kekuatan kemandirian dan pencapaian identitas diri. Melalui proses
transendensi ini juga ditegaskan bahwa antara “autonomy” dengan “homonomy”
merupakan dua hal yang berhubungan dan tumbuh serta berkembang bersamaan, ini
mengandung makna bahwa kemandirian sesungguhnya mengandung aspek keterkaitan,
yakni pengakuan dan kesadaran akan ketergantungan dalam berbagai faset kehidupan.
Dalam kaitannya dengan kesadaran akan ketergantungan ini, Stephen R. Covey
(1989) melalui bukunya yang meraih Bestseller yang berjudul “The Seven Habits
of Highly Effective People” memperkenalkan bahwa dalam paradigm manajemen
modern dan kehidupan modern justru yang paling tinggi adalah interdependensi.
Tahapannya adalah paling rendah ketergantungan (dependence), di pertengahan
adalah kemandirian (independence). Kata saling ketergantungan atau
“enterdependence” mengandung makna yang luas; bukan hanya saling ketergantungan
antar manusia saja melainkan juga saling ketergantungan antar berbagai motif
dan nilai yang melandasi perilaku yang muncul dalam interaksi antar manusia
tersebut. Dengan demikian, keputusan dan tindakan tidak semata-mata didasarkan atas
kebutuhan dalam dimensi ruang dan waktu, tetapi juga dimensi nilai.
Perkembangan kemandirian adalah
proses yang menyangkut unsur-unsur normative. Ini tergantung makna bahwa
kemandirian merupakan suatu proses yang terarah. Karena perkembangan kemandirian
sejalan dengan hakikat eksistensial manusia, maka arah perkembangan tersebut
harus sejalan dengan dan berlandaskan pada tujuan hidup manusia.
Pada pembahasan terdahulu juga
dikatakan bahwa “ego” juga merupakan inti perkembangan kemandirian. Konsep ini
mengandung makna bahwa perkembangan manusia mengarah kepada penemuan makna diri
dan dunianya. Cara individu memberikan makna terhadap diri dan dunianya sangat
bervariasi tergantung pada persepsi individu itu terhadap diri dan dunianya.
Konsep ini menyiratkan bahwa kegiatan memberikan makna itu merupakan suatu
proses selektif. Oleh karena itu, bangun kehidupan yang terbentuk dalam setiap
diri individu menjadi berbeda-beda. Dalam konsep transendensi lingkungan yang
dikemukakan Maslow dikatakan bahwa individu dengan lingkungan tidak lagi
bersifat interaksi antara subjek dengan objek melainkan hubungan antar
subjektivitas atau dapat dikatakan sebagai proses dialog dalam diri.
Jika dikatakan bahwa proses
memaknai diri dan dunianya itu bersifat selektif, maka sifat selektif itu
menunjukkan bahwa apa yang dipersepsi dan dimaknai oleh manusia itu ditentukan
melalui proses memilih. Proses memilihitu tidak terlepas dari proses kognitif
dalam menimbang berbagai alternative yang selalu terkait dengan system nilai;
bukan proses yang bersifat reaktif atau implusif. Mekanisme proses kognitif dan
penyesuaian kehendak terhadap berbagai dimensi kehidupan akan mewarnai cara
individu memaknai dunianya.
Pada hakikatnya, manusia ketika
lahir kedunia berada dalam ketidak tahuan tentang diri dan dunianya. Dalam
kondisi seperti itu, individu menyatu dengan dunianya; dalam pengertian belum
memahami hubungan sebjek dengan objek. Berbekal perkembangan kemampuan berpikir,
kreativitas dan imajinasi, individu mampu membedakan diri dari individu lain
dan lingkungannya serta keterpautan
dirinya dengan orang lain atau dengan lingkungannya. Proses seperti ini,
oleh Sunaryo Kartadinata (1988) dinamakan dengan proses peragaman. Dalam proses
ini, sedikit demi sedikit individu berupaya melepaskan diri dari otoritas dan
menuju hubungan mutualistik, mengembangkan kemampuan menuju spesialisasi
tertentu, mengembangkan kemampuan instrumental agar mampu memenuhi sendiri
kegiatan hidupnya. Proses semacam ini oleh Chikering (1971) disebut dengan
independensi emosional dan instrumental yang merupakan dua komponen penting
dalam perkembangan kemandirian. Dalam perkembangannya yang secara bertahap
mengarah kepada pengakuan dan penerimaan akan saling-ketergantungan individu,
keduanya bersifat komplementer.
Meskipun dalam proses peragaman
manusia sudah memiliki kemampuan instrumental, tetapi belum sampai kepada
kemandirian karena pemunculannya baru pada aspek-aspek kehidupan tertentu. Proses
peragaman ini sesungguhnya baru sampai pada suatu titik antara yang disebut
dengan proses pemilikan pengetahuan, keterampilan, teknologi. Padahal, suatu
titik dimensi kehidupan yang lebih penting dan harus dicapai oleh manusia.
Proses peragaman harus berkembang
terus sampai pada suatu tingkat integrasi atau tingkat mendunia. Perkembangan
individu sudah sampai pada tingkat mendekatkan diri pada dunia yang dihadapi
dan dihidupinya. Interaksi dan dinamika perkembangankemandirian manusia
menujutahapan intergrasi dapat digambarkan dengan lima karakteristik inheren
dan isensial yang saling berinteraksi dalam kehidupan, yaitu:
1. Kendirian
2. Komunikasi
3. Keterarahan
4. Dinamika
5. Sistem
nilai
C. Tingkatan dan Karakteristik
Kemandirian
Sebagai suatu dimensi psikologis yang kompleks, dalam
perkembangannya memiliki tingkatan-tingkatan. Lovinger mengemukaka tingkatan
kemandirian beserta ciri-cirinya sebagai berikut:
1. Tingkatan pertama, adalah
tingkat implusif dan melindungi diri
2. Tingkatan kedua, adalah tingkat
konformistik
3. Tingkatan ketiga, adalah
tingkat sadar diri
4. Tingkat keempat, adalah tingkat
seksama (conscientious)
5. Tingkatan kelima, adalah
tingkat individualistic
6. Tingkat keenam, adalah tingkat
mandiri
Ciri-ciri tingkatan ini adalah:
a) Memiliki
pandangan hidup sebagai suatu keseluruhan.
b) Cenderung
bersikap realistik dan objektikal terhadap diri sendiri maupun orang lain.
c) Peduli
terhadap faham-faham absrak, seperti keadilan social.
d) Mampu
mengintergrasikan nilai-nilai yang bertentangan.
e) Toleran
terhadap ambiguistas.
f) Peduli
akan pemenuhan diri (self-fulfilment).
g) Ada
keberanian untuk menyelesaikan konflik internal.
h) Respek
terhadap kemandirian orang lain.
i)Sadar
akan adanya saling ketergantungan dengan orang lain.
j)Mampu
mengekspresikan perasaan dengan penuh keyakinan dan keceriaan.
Dengan menggunakan perspektif
tingkatan-tingkatan diatas menunjukan bahwa tingkat kemandirian remaja pada
umumnya bervariasi dan menyebar pada tingkatan sadar diri, seksama,
individualistik, dan mandiri. Proses penyesuaian diri terhadap situasi dan
peranan yang dihadapi tidak dilakukan secara mekanis belaka karena dalam diri
remaja telah tumbuh dan berkembang tentang hubungan dirinya dengan kelompok.
Remaja ada juga yang kemandiriannya
berada pada tingkat seksama menunjukan bahwa proses pengambilan keputusan yang
dilakukan bukan saja didasarkan pada kemampuan berpikir alternative melainkan
didasarkan pada patokan atau prinsip sendiri dan disertai kesadaran akan
tanggungjawab atas keputusan yang diambil meskipun keputusan yang dilakukan
berbeda dengan yang dilakukan oleh orang lain.
Jika temuan penelitian pada umumnya
menunjukan bahwa tingkat kemandirian remaja menyebar pada tingkatan sadar diri,
seksama, individualistik, dan mandiri, dapat ditafsirkan secara rinci masing-masing
tingkatan sebagai berikut.
1. Tingkat
sadar diri
2. Tingkat
seksama
3. Tingkat
individualistik
4. Tingkat
mandiri
D. Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Kemandirian Remaja
Kemandirian bukanlah semata-mata
merupakan pembawaan yang melekat pada diri individu sejak lahir.
Perkembangannya dipengaruhi oleh berbagai stimulasi yang datang dari
lingkungannya, selain potensi yang telah dimiliki sejak lahir sebagai keturunan
dari orang tuanya.
Faktor yang mempengaruhi kemandirian
yaitu:
1. Gene
atau keturunan orang tua,
2. Pola
asuh orang tua
3. Sistem
pendidikan di sekolah
4. Sistem
kehidupan di masyarakat
E. Upaya Pengembangan Kemandirian
Remaja dan Implikasinya bagi Pendidikan
Dengan asumsi bahwa kemandirian sebagai aspek psikologis
itu berkembang tidak dalam kevakuman atau diturunkan oleh orang tuanya, maka
intervensi-intervensi positif melalui ikhtiar pengembangan atau pendidikan sangat diperlukan bagi kelancaran perkembagan
kemandirian remaja.
Sejumlah
intervensi dapat dilakukan antara lain sebagai berikut:
1. Penciptaan
partisipasi dan keterlibatan remaja dalam keluarga.
2. Penciptaan
keterbukaan.
3. Penciptaan
kebebasan untuk mengeksplorasikan lingkungan.
4. Penerimaan
positif tanpa syarat.
5. Empati
terhadap remaja.
6. Penciptaan
kehangatan hubungan dengan remaja.
BAB
3
PENUTUP
A. Kesimpulan
Situasi kehidupan dewasa ini sudah
semakin kompleks, Kompleksitas kehidupan itu, yang pada saat sekarang
seolah-olah telah menjadi bagian yang mapan dari kehidupan masyarakat, sebagian
demi sebagian akan bergeser atau bahkan mungkin hilang sama sekali karena
digantikan oleh pola kehidupan baru pada masa mendatang yang diprakirakan akan
semakin lebih kompleks.
Kecenderungan yang muncul di
permukaan dewasa ini, ditunjang oleh laju perkembangan teknologi dan arus gelombang kehidupan global
yang sulit atau tidak mungkin untuk dibendung, mengisyaratkan bahwa kehidupan
masa mendatang akan menjadi sarat pilihan yang rumit. Ini mengisyaratkan pula
bahwa manusia akan semakin didesak kearah kehidupan yang amat kompetitif.
Andersen (1993:718) memprediksikan si-tua-si-kehidupan semacam itu dapat
menyebabkan manusia menjadi serba bingung atau bahkan larut ke dalam situasi
baru itu tanpa dapat menyeleksi lagi jika tidak memiliki ketahanan hidup yang
memadai karena tata-nilai lama yang telah mapan ditantang oleh nilai-nilai yang
belum banyak dipahami.
Kata “kemandirian “ berasal dari
kata dasar “diri” yang mendapatkan awalan “ke” dan akhiran “an” yang kemudian
membentuk suatu kata keadaan atau kata benda. Karena kemandirian berasal dari
kata dasar “diri”, maka pembahasan mengenai kemandirian tidak dapat dilepaskan
dari pembahasan mengenai perkembangan “diri” itu sendiri, yang dalam konsep
Carl Rogers disebut dengan istilah “self” karena “diri” itu merupakan inti dari
kemandirian. Kalau menelusuri berbagai literature, sesungguhnya banyak sekali
istilah yang berkenaan dengan “diri”
ini.
Pada hakikatnya, manusia ketika
lahir kedunia berada dalam ketidak tahuan tentang diri dan dunianya. Dalam
kondisi seperti itu, individu menyatu dengan dunianya; dalam pengertian belum
memahami hubungan sebjek dengan objek. Berbekal perkembangan kemampuan berpikir,
kreativitas dan imajinasi, individu mampu membedakan diri dari individu lain
dan lingkungannya serta keterpautan
dirinya dengan orang lain atau dengan lingkungannya. Proses seperti ini,
oleh Sunaryo Kartadinata (1988) dinamakan dengan proses peragaman.
DAFTAR
ISI
Sunaryo
Kartadinata (1988). Profil kemandirian
dan orientasi timbangan sosial mahasiswa serta kaitannya dengan perilaku
Empatik dan Orientasi Nilai Rujukan. Bandung : disertakan Doktor pada
Fakultas Pascasarjana IKIP Bandung.
Fawzia
Aswin Hadis (1991) perilaku menyimpang
remaja di tinjau dari Psikologi Perkembangan. Jakarta : Makalah Disampaikan
pada seminar tentang Problematika Remaja Kita dan Tantangan Masa Depannya, 5
Nopember 1991.
Soemadi
Soerjabarta (1975). Psikologi
Perkembangan. Yogyakarta ; Rake Press.
Dedi
Supriadi (1989). Kreativitas, Kebudayaan,
& Perkembangan Iptek. Bandung : Alfabeta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar