Selasa, 26 Juni 2012

Perkembangan Kemandirian


BAB. 1
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Abad XXI ini dikenal dengan era globalisasi dan era informasi. Dalam era ini laju informasi berjalan dengan sangat cepat. Segala sesuatu yang terjadi di dunia dapat diakses dan diketahui dalam hitungan detik. Begitu juga masalah-masalah budaya, ilmu pengetahuan, teknologi berkembang pesat, dan persaingan hampir dalam seluruh segmen kehidupan terjadi dan terbuka lebar. Dalam zaman atau era seperti ini dibutuhkan pribadi-pribadi yang tangguh dan mempunyai kemandirian tinggi dalam rangka mengarungi kehidupannya. Dari sinilah dibutuhkan sebuah keluarga yang mampu membimbing dan mendidik anak atau remaja yang mandiri dan bertanggungjawab atas masa depannya.
Sebab keluarga sebagai unit terkecil merupakan entitas pertama dan utama dimana anak tersebut tumbuh, dan dibesarkan, dibimbing dan diajarkan nilai-nilai kehidupan sesuai dengan harapan sosial (social expectacy) dimana keluarga tersebut tinggal. Hingga nantinya sang anak atau remaja siap menghadapi tantangan dalam kehidupannya dan mampu mengemban amanat besar sebagai penerus estafet perjuangan bangsa.
Perkembangan kemandirian emosional, tidak terlepas dari penerapan pengasuhan orang tua melalui interaksi antara ibu dan ayah dengan anaknya. Keluarga merupakan lingkungan pertama yang paling berperan dalam pengasuhan anak, sehingga mempunyai pengaruh yang paling besar pada pembentukan kemandirian.
Selain itu lingkungan pendidikan juga memberikan pengaruh pada perkembangan kemandirian. Bagaimana cara mereka diperlakukan dalam lingkungan sekolah, dan bagaimana cara guru mendidik mereka merupakan salah factor yang mempengaruhi berkembangnya kemandirian seseorang. Bagi anak sekolah tingkat lanjutan, yaitu: Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas atau sekolah-sekolah lain yang menerapkan system full day school, lingkungan sekolah merupakan aspek yang sangat mempengaruhi proses berkembangnya kemandirian seorang anak.
Hal itu terjadi karena waktu anak tersebut banyak dihabiskan di sekolah. Sehingga kurun waktu untuk berinteraksi dengan orang lain yang berada di lingkungan sekolah lebih banyak.
Lain halnya dengan orang yang sudah bekerja atau seorang mahasiswa / mahasiswi maka lingkungan masyarakat lah yang berpengaruh besar. Karena kebanyakan dari mereka akan merantau ke tempat yang jauh dari asal mereka, sehingga kecenderungan untuk berinteraksi dengan masyarakat jauh lebih banyak.

Dari uraian di atas dapat dinyatakan bahwa perkembangan kemandirian seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor. Dan proses perkembangan tersebut berlangsung secara bertahap atau step by step, yaitu mulai dari tingkatan yang terendah sampai tingkatan perkembangan kemandirian tertinggi. Diperlukan beberapa upaya untuk mewujudkan perkembangan kemandirian pada seorang anak. Dan untuk mewujudkan hal tersebut terdapat beberapa penyebab yang dapat menghambat proses perkembangan kemandirian.
B.     Rumusan Masalah
Hubungan antara seorang anak dan orang tua sebagai orang yang paling dekat dan berarti baginya, sangat berperan dalam perkembangan kepribadian seorang anak. Sejak awal kehidupannya, seorang anak mempersepsi bagaimana orang tua bersikap dan memperlakukan dirinya. Sikap dan perlakuan orang tua terhadap remaja merupakan iklim psikologis yang timbul dalam bentuk interaksi antara orang tua dan remaja di lingkungan keluarga, dapat mempengaruhi perkembangan kemandirian remaja.
Gaya-gaya pengasuhan yang diterapkan oleh orang tua terhadap anaknya dalam berinteraksi sehari-hari di rumah, merupakan suatu stimulasi yang berkaitan erat dengan perkembangan kemandirian seorang anak. Gaya-gaya yang diterapkan seperti orang tua yang terlalu menuntut tanpa memperhatikan kebutuhan anak, selalu memberikan sanksi tanpa melihat jenis kesalahannya, tidak pernah melibatkan anak dalam membicarakan masalah-masalah anak, serta tidak melibatkan dalam pengambilan keputusan merupakan bentuk interaksi yang otoriter, yang pada gilirannya akan mempengaruhi perkembangan psikososial anak.
Selain itu keadaan pada lingkungan pendidikan anak juga mempengaruhi proses perkembangan kemandirian, terutama anak yang sedang duduk di bangku Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas. Bagaimana seorang anak mendapatkan didikan dan bagaimana mereka diperlakukan dalam lingkungan pendidikan perlu diperhatikan. Karena dalam proses tersebut anak akan mengembangkan kemandirian mereka dengan tujuan belajar untuk hidup lebih mandiri dan tidak bergantung lagi pada orang tua atau keluarga.
Di samping itu lingkungan masyarakat tempat anak tersebut berada juga memberikan pengaruh. Bagaimana cara masyarakat memperlakukan anak tersebut dan memberikan kesempatan kepada anak tersebut untuk mengembangkan kemandiriannya.
Persoalan-persoalan mendasar tersebut erat kaitannya dengan masalah-masalah kemandirian anak sebagaimana telah diuraikan di atas merupakan hal yang menarik untuk diteliti, hal ini patut diteliti sebab perkembangan kemandirian anak tersebut tidak muncul begitu saja, tetapi hal ini merupakan hasil interaksi antara individu satu dengan individu lainnya yang diawali dengan interaksi dengan individu yang ada dalam keluarganya serta dengan kelompok-kelompok teman sebayanya.
Selain itu kemandirian anak juga merupakan perwujudan dari kemampuan seorang individu untuk menampilkan diri pada kehidupan sosialnya didalam lingkungan keluarganya, lingkungan sekolah atau teman-teman sebayanya serta lingkungan sosial lain yang lebih luas yakni masyarakat sekitar.

C.    Tujuan
Sesuai dengan masalah yang telah dirumuskan di atas, maksud dari penelitian ini adalah menghimpun bahan dan informasi secara sistematis dan terencana mengenai perkembangan kemandirian anak. Sedangkan tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui pengertian kemandirian, tingkatan dan karakteristik kemandirian, faktor-faktor lain yang mempengaruhinya, upaya pengembangan kemandirian remaja dan implikasinya bagi pendidikan, dan hambatan perkembangan kemandirian.
D.    Manfaat
Penelitian ini menekankan pada area kajian psikologi perkembangan diharapkan dapat menggali informasi dan pengetahuan yang memberi manfaat bagi pengembangan ilmu dan guna laksana bagi praktisi di lapangan, sebagai berikut :
1.      Kegunaan ilmiah
informasi dan pengetahuan tentang hubungan antara gaya pengasuhan orang tua dan kemandirian remaja yang dapat digali melalui penelitian ini, bisa sebagai bahan masukan empiris dan untuk menambah referensi dalam bidang ilmu pengetahuan, khususnya dalam kajian psikologi perkembangan yang menyangkut pembentukan dan perkembangan kemandirian emosional remaja dalam kaitannya dengan gaya pengasuhan orang tua di masyarakat kabupaten Konawe Selatan.
2.      Kegunaan praktis
Sebagai bahan pertimbangan atau informasi tambahan yang bermanfaat, baik bagi para orang tua, para pendidik, maupun kalangan masyarakat umumnya, dalam pembinaan remaja.

BAB 2
PEMBAHASAN
PERKEMBANGAN KEMANDIRIAN

A.   Pentingnya Kemandirian Bagi Peserta Didik
                 Situasi kehidupan dewasa ini sudah semakin kompleks, Kompleksitas kehidupan itu, yang pada saat sekarang seolah-olah telah menjadi bagian yang mapan dari kehidupan masyarakat, sebagian demi sebagian akan bergeser atau bahkan mungkin hilang sama sekali karena digantikan oleh pola kehidupan baru pada masa mendatang yang diprakirakan akan semakin lebih kompleks.
                 Kecenderungan yang muncul di permukaan dewasa ini, ditunjang oleh laju perkembangan  teknologi dan arus gelombang kehidupan global yang sulit atau tidak mungkin untuk dibendung, mengisyaratkan bahwa kehidupan masa mendatang akan menjadi sarat pilihan yang rumit. Ini mengisyaratkan pula bahwa manusia akan semakin didesak kearah kehidupan yang amat kompetitif. Andersen (1993:718) memprediksikan si-tua-si-kehidupan semacam itu dapat menyebabkan manusia menjadi serba bingung atau bahkan larut ke dalam situasi baru itu tanpa dapat menyeleksi lagi jika tidak memiliki ketahanan hidup yang memadai karena tata-nilai lama yang telah mapan ditantang oleh nilai-nilai yang belum banyak dipahami.
                 Situasi kehidupan semacam itu memiliki pengaruh kuat terhadap dinamika kehidupan remaja, apalagi remaja, secara psikologis, tengah berada pada masa topan dan badai dan tengah mencari jati-diri. Pengaruh kompleksitas kehidupan dewasa ini sudah tampak pada berbagai fenomena remaja yang perlu memperoleh perhatian pendidikan. Fenomena yang tampak akhir-akhir ini antara lain perkelahian antar pelajar, penyalahgunaan obat dan alcohol, reaksi emosional yang berlebihan, dan berbagai perilaku yang mengarah pada tindak criminal.
                 Dalam konteks proses belajar, gejala negatif yang tampak adalah kurang mandiri dalam belajar yang berakibat pada gangguan mental setelah memasuki  perguruan tinggi, kebiasaan belajar yang kurang baik yakni tidak tahan lama dan baru belajar setelah menjelang ujian, membolos, menyontek dan mencari kebocoran soal ujian.
                 Problem remaja di atas, yang merupakan perilaku-perilaku reaktif, semakin meresahkan jika dikaitkan dengan situasi masa depan remaja yang diprakirakan akan semakin kompleks dan penuh tantangan itu. Menurut Tilaar (1987:2), tantangan kompleksitas masa depan itu memberikan dua alternatif: pasrah kepada nasib atau mempersiapkan diri sebaik mungkin. Misi pendidikan yang juga berdimensi masa depan tentunya menjatuhkan pilihannya pada alternatif kedua. Artinya, pendidikan mengemban tugas untuk mempersiapkan remaja bagi peranannya di masa depan agar kelak menjadi manusia berkualitas dan memiliki kemandirian yang tinggi.
                 Pentingnya ikhtiar mempersiapkan remaja bagi masa depannya itu, disamping mereka tengah mencari jati-diri, karena mereka juga tengah berada pada tahap perkembangan yang amat potensial. Perkembangan kognitifnya, menurut teori perkembangan kognitif dan piaget, telah mencapai tahap puncak perkembangan kognitif: masa munculnya kemampuan berpikir sistematis dalam menghadapi persoalan-persoalan abstrak dan hipotesis karena telah mencapai tahap operasional formal. Perkembangan moralnya tengah berada pada tingkatan konvensional: suatu tingkatan yang ditandai dengan adanya kecenderungan tumbuhnya kesadaran bahwa norma-norma yang ada dalam masyarakat perlu dijadikan acuan dalam hidupnya, menyadari kewajibannya melaksanakan norma-norma itu, dan mempertahankan perlunya ada norma. Perkembangan fisiknya juga tengah pada masa perkembangan fisik yang amat pesat.
                 Melihat potensi remaja itu, menjadi penting dan amat menguntungkan manakala ikhtiar pengembangannya difokuskan pada aspek-aspek positif remaja itu daripada lebih menyoroti sisi negatifnya. Sebab, meskipun ada remaja yang menunjukkan perilaku negatif, sebenarnya hanya sebagian kecil saja dari sekian banyaknya remaja yang ada, yakni hanya kurang dari 1% dari jumlah remaja Indonesia. Ikhtiar mempersiapkan remaja menghadapi masa depan yang serba kompleks itu, salah satunya, dengan mengembangkan “kemandirian”.
                 Ikhtiar pendidikan yang dilakukan secara sungguh-sungguh untuk mengembangkan kemandirian menjadi sangat penting karena selain problema remaja dalam bentuk perilaku negatif sebagaimana dipaparkan di atas, ada juga sejumlah gejala negative yang tampaknya menjauhkan individu dari kemandirian. Gejala-gejala tersebut dapat dipaparkan berikut ini :
       1.    Ketergantungan disiplin kepada  control luar dan bukan karena niat sendiri yang ikhlas. Perilaku seperti ini akan mengarah kepada perilaku formalistic dan ritualistic serta tidak konsisten. Situasi seperti ini akan menghambat pembentukan etos kerja dan etos kehidupan yang mapan sebagai salah satu ciri dari kualitas sumber daya dan kemandirian manusia.
       2.    Sikap tidak peduli terhadap lingkungan hidup. Manusia mandiri bukanlah manusia yang lepas dari lingkungannya, melainkan manusia yang bertrtansenden terhadap lingkungannya. Ketidak pedulian terhadap lingkungan hidup merupakan gelaja perilaku implusif yang menunjukkan bahwa kemandirian masyarakat masih rendah.
       3.    Sikap hidup konformistik tanpa pemahaman dan kompromistik dengan mengorbankan prinsip. Gejala mitos bahwa segala sesuatunya bisa diatur yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat merupakan petunjuk adanya ketidakjujuran berpikir dan bertindak serta kemandirian yang masih rendah.
                 Gejala-gejala di atas merupakan sebagian dari kendala utama dalam mempersiapkan individu-individu yang mampu mengarungi kehidupan masa mendatang yang semakin kompleks dan penuh tantangan. Oleh sebab itu perkembangan kemandirian  remaja menuju kea rah kesempurnaan menjadi sangat penting untuk diikhtiarkan secara serius, sistematis dan terprogram. Sebab, problema kemandirian sesungguhnya bukanlah hanya merupakan masalah “intergeneration” (dalam generasi), tetapi juga merupakan masalah “between-generation” (antar generasi). Perubahan tata nilai yang terjadi dalam generasi dan antar generasi akan tetap memposisikan kemandirian sebagai isu actual dalam perkembangan manusia.
B.   Pengertian Kemandirian
                 Kata “kemandirian “ berasal dari kata dasar “diri” yang mendapatkan awalan “ke” dan akhiran “an” yang kemudian membentuk suatu kata keadaan atau kata benda. Karena kemandirian berasal dari kata dasar “diri”, maka pembahasan mengenai kemandirian tidak dapat dilepaskan dari pembahasan mengenai perkembangan “diri” itu sendiri, yang dalam konsep Carl Rogers disebut dengan istilah “self” karena “diri” itu merupakan inti dari kemandirian. Kalau menelusuri berbagai literature, sesungguhnya banyak sekali istilah  yang berkenaan dengan “diri” ini. Terdapat sejumlah istilah yang dikemukakan oleh para ahli yang makna dasarnya relevan dengan “diri” yakni: self-determinism (Emil Durkheim), autonomous morality (Jean Piaget), ego integrity (Erick E. Erickson), the creative self (Alfred Adler), self-actualization (Abraham H. Maslow), self-system (Harry Stack Sullivan), real self (Caren Horney), self-effisentience, self-sufficiency, self-expression, self-direction, self-structure, self-contempt, self-control, self-righteousness, self-effacement (Hall dan Linzey).
                 Sedemikian banyaknya istilah atau konsep yang berkenaan dengan “diri” itu, namun jika dikaji lebih mendalam lagi ternyata tidak selalu merujuk kepada kemandirian. Konsep yang sering kali digunakan atau yang berdekatan dengan kemandirian adalah yang sering disebut dengan istilah “autonomy”.
                 Upaya mendefinisikan kemandirian dan proses perkembangannya, ada berbagai sudut pandang yang sejauh perkembangannya dalam kurun waktu sedemikian lamanya telah dikembangkan oleh para ahli. Emil Durkheim, misalnya, melihat makna dan perkembangan kemandirian dari sudut pandang yang berpusat pada masyarakat. Pandangan ini dikenal juga dengan pandangan konformistik. Dengan menggunakan sudut pandang ini, Durkheim berpendirian bahwa kemandirian itu merupakan elemenesensial ketiga dari moralitas yang bersumber pada kehidupan masyarakat. Durkheim berpendapat bahwa kemandirian itu tumbuh dan berkembang karena adanya dua faktor yang merupakan elemen prasyarat bagi kemandirian, yaitu :
       1.    Adanya disiplin yaitu adanya aturan bertindak dan otoritas
       2.    Adanya komitmen terhadap kelompok.
                 Dalam pandangan konformistik, kemandirian merupakan konformitas terhadap prinsip moral kelompok rujukan. Oleh sebab itu, individu yang memiliki kemandirian pengambilan keputusan pribadinya dilandasi oleh pemahaman mendalam akan konsekuensi dari tindakannya dan disertai dengan keberanian diri menerima segala konsekuensi dari tindakannya itu. Dengan demikian, dalam pandangan konformistik dari tindakannya itu. Dengan demikian, dalam pandangan konformistik ini pemahaman  mendalam tentang hukum moralitas menjadi faktor utama pendukung perkembangan kemandirian. Bahkan, menurut Sunaryo Kartadinata (1988), faktor pemahaman inilah yang membedakan kemandirian (self-determinism) dari kepatuhan (submission) karena dengan pemahaman inilah individu akan terhindar dari konformitas pasif.
                 Masih dalam perspektif konformistik ini, maka konsep kemandirian konformistik juga dapat ditelusuri dalam pemikiran McDougal yang berpandangan bahwa perilaku mandiri itu sebagai “hallmark” dari kematangan, dan berarti juga sebagai pendorong perilaku sosial. Dijelaskan dalam pandangan McDougal bahwa kemandirian merupakan konformistik khusus, yang berarti suatu konformistik terhadap kelompok yang terinternalisasi. Lebih lanjut ditegaskan bahwa setiap individu itu selalu berkonformitas, dan yang membedakan konformitas antara individu satu dengan lainnya adalah variabel kelompok rujukan yang disukainya. Sampai di sini menjadi semakin tampak jelas bahwa antara pemikiran Emil Durkheim maupun McDougal sama-sama berpandangan bahwa antara kemandirian dengan konformitas merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan.
                 Secara hakiki, perkembangan kemandirian individu sesungguhnya merupakan perkembangan hakikat eksistensial manusia. Penghampiran terhadap kemandirian dengan menggunakan perspektif yang berpusat pada masyarakat cenderung memandang bahwa lingkungan masyarakat merupakan kekuasaan luar biasa yang menentukan kehidupan individu. Dari sudut pandang ini, seolah-olah individu itu tidak memiliki kekuatan apa-apa untuk menentukan perbuatannya sendiri. Pandangan yang berpusat pada masyarakat akan cenderung memposisikan pendidikan sebagai proses transmisi budaya yang lebih menekankan pada proses  penanaman harapan dan aturan masyarakat. Dapat dikatakan juga bahwa pandangan ini lebih bersifat pasif-reaktif.
                 Atas dasar kelemahan yang melekat pada pandangan yang berpusat pada masyarakat itu, maka kemandirian perlu dihampiri dengan menggunakan perspektif lain yang bersifat aktif-progresif. Dalam konteks ini, Sunaryo Kartadinata (1988) mengajukan konsep bahwa proses perkembangan manusia  harus di pandang sebagai “proses interaksional dinamis”. Dikatakannya bahwa proses ini mengimplikasikan bahwa manusia berhak memberikan makna terhadap dunianya atas dasar “proses mengalami” sebagai konsekuensi dari perkembangan berpikir dan penyesuaian kehendaknya. Dalam perspektif ini, kemandirian menjadi berpusat pada “ego” atau “diri” sebagai dimensi pemersatu organisasi kepribadian.
                 Kemandirian yang sehat adalah yang sesuai dengan hakikat manusia yang paling dasar. Perilaku mandiri adalah perilaku memelihara hakikat eksistensi diri. Oleh karena itu, kemandirian bukanlah hasil dari proses internalisasi aturan otoritas melainkan suatu proses perkembangan diri sesuai dengan hakikat eksistensi manusia. Dlam konteks ini, Erick Fromm menyebut perilaku ini sebagai hakikat humanistik.
                 Pada pembahasan terdahulu telah dikatakan bahwa proses perkembangan manusia harus dipandang sebagai “proses interaksional dinamis”. Interaksional mengandung makna bahwa kemandirian berkembang melalui proses keragaman manusia dalam kesamaan dan kebersamaan; bukan dalam kevakuman. Dalam konteks kesamaan dan kebersamaan ini, Abrahaman H. Maslow (1971) membedakan kemandirian menjadi dua, yaitu :
       1.    Kemandirian aman
       2.    Kemandirian taka man.
                
                 Kemandirian aman adalah kekuatan untuk menumbuhkan cinta kasih pada dunia, kehidupan, dan orang lain, sadar akan tanggungjawab bersama, dan tumbuh rasa percaya terhadap kehidupan. Kekuatan ini digunakan untuk mencintai kehidupan dan membantu orang lain. Sedangkan kemandirian tak aman adalah kekuatan kepribadian yang dinyatakan dalam perilaku menentang dunia. Maslow menyebut kondisi seperti ini sebagai “selfish autonomy” atau kemandirian mementingkan diri sendiri.
                 Masih dalam konteks kemandirian ini, Maslow (1971) mengajukan suatu konsep yang disebut “self-transcendence” itu bukanlah “self-obliteration” atau peleburan-diri melainkan suatu proses perkembangan kekuatan kemandirian dan pencapaian identitas diri. Melalui proses transendensi ini juga ditegaskan bahwa antara “autonomy” dengan “homonomy” merupakan dua hal yang berhubungan dan tumbuh serta berkembang bersamaan, ini mengandung makna bahwa kemandirian sesungguhnya mengandung aspek keterkaitan, yakni pengakuan dan kesadaran akan ketergantungan dalam berbagai faset kehidupan. Dalam kaitannya dengan kesadaran akan ketergantungan ini, Stephen R. Covey (1989) melalui bukunya yang meraih Bestseller yang berjudul “The Seven Habits of Highly Effective People” memperkenalkan bahwa dalam paradigm manajemen modern dan kehidupan modern justru yang paling tinggi adalah interdependensi. Tahapannya adalah paling rendah ketergantungan (dependence), di pertengahan adalah kemandirian (independence). Kata saling ketergantungan atau “enterdependence” mengandung makna yang luas; bukan hanya saling ketergantungan antar manusia saja melainkan juga saling ketergantungan antar berbagai motif dan nilai yang melandasi perilaku yang muncul dalam interaksi antar manusia tersebut. Dengan demikian, keputusan dan tindakan tidak semata-mata didasarkan atas kebutuhan dalam dimensi ruang dan waktu, tetapi juga dimensi nilai.                
                 Perkembangan kemandirian adalah proses yang menyangkut unsur-unsur normative. Ini tergantung makna bahwa kemandirian merupakan suatu proses yang terarah. Karena perkembangan kemandirian sejalan dengan hakikat eksistensial manusia, maka arah perkembangan tersebut harus sejalan dengan dan berlandaskan pada tujuan hidup manusia.
                 Pada pembahasan terdahulu juga dikatakan bahwa “ego” juga merupakan inti perkembangan kemandirian. Konsep ini mengandung makna bahwa perkembangan manusia mengarah kepada penemuan makna diri dan dunianya. Cara individu memberikan makna terhadap diri dan dunianya sangat bervariasi tergantung pada persepsi individu itu terhadap diri dan dunianya. Konsep ini menyiratkan bahwa kegiatan memberikan makna itu merupakan suatu proses selektif. Oleh karena itu, bangun kehidupan yang terbentuk dalam setiap diri individu menjadi berbeda-beda. Dalam konsep transendensi lingkungan yang dikemukakan Maslow dikatakan bahwa individu dengan lingkungan tidak lagi bersifat interaksi antara subjek dengan objek melainkan hubungan antar subjektivitas atau dapat dikatakan sebagai proses dialog dalam diri.
                 Jika dikatakan bahwa proses memaknai diri dan dunianya itu bersifat selektif, maka sifat selektif itu menunjukkan bahwa apa yang dipersepsi dan dimaknai oleh manusia itu ditentukan melalui proses memilih. Proses memilihitu tidak terlepas dari proses kognitif dalam menimbang berbagai alternative yang selalu terkait dengan system nilai; bukan proses yang bersifat reaktif atau implusif. Mekanisme proses kognitif dan penyesuaian kehendak terhadap berbagai dimensi kehidupan akan mewarnai cara individu memaknai dunianya.
                 Pada hakikatnya, manusia ketika lahir kedunia berada dalam ketidak tahuan tentang diri dan dunianya. Dalam kondisi seperti itu, individu menyatu dengan dunianya; dalam pengertian belum memahami hubungan sebjek dengan objek. Berbekal perkembangan kemampuan berpikir, kreativitas dan imajinasi, individu mampu membedakan diri dari individu lain dan lingkungannya serta keterpautan  dirinya dengan orang lain atau dengan lingkungannya. Proses seperti ini, oleh Sunaryo Kartadinata (1988) dinamakan dengan proses peragaman. Dalam proses ini, sedikit demi sedikit individu berupaya melepaskan diri dari otoritas dan menuju hubungan mutualistik, mengembangkan kemampuan menuju spesialisasi tertentu, mengembangkan kemampuan instrumental agar mampu memenuhi sendiri kegiatan hidupnya. Proses semacam ini oleh Chikering (1971) disebut dengan independensi emosional dan instrumental yang merupakan dua komponen penting dalam perkembangan kemandirian. Dalam perkembangannya yang secara bertahap mengarah kepada pengakuan dan penerimaan akan saling-ketergantungan individu, keduanya bersifat komplementer.
                 Meskipun dalam proses peragaman manusia sudah memiliki kemampuan instrumental, tetapi belum sampai kepada kemandirian karena pemunculannya baru pada aspek-aspek kehidupan tertentu. Proses peragaman ini sesungguhnya baru sampai pada suatu titik antara yang disebut dengan proses pemilikan pengetahuan, keterampilan, teknologi. Padahal, suatu titik dimensi kehidupan yang lebih penting dan harus dicapai oleh manusia.
              Proses peragaman harus berkembang terus sampai pada suatu tingkat integrasi atau tingkat mendunia. Perkembangan individu sudah sampai pada tingkat mendekatkan diri pada dunia yang dihadapi dan dihidupinya. Interaksi dan dinamika perkembangankemandirian manusia menujutahapan intergrasi dapat digambarkan dengan lima karakteristik inheren dan isensial yang saling berinteraksi dalam kehidupan, yaitu:
1.      Kendirian
2.      Komunikasi
3.      Keterarahan
4.      Dinamika
5.      Sistem nilai
C. Tingkatan dan Karakteristik Kemandirian
       Sebagai suatu dimensi psikologis yang kompleks, dalam perkembangannya memiliki tingkatan-tingkatan. Lovinger mengemukaka tingkatan kemandirian beserta ciri-cirinya sebagai berikut:
              1. Tingkatan pertama, adalah tingkat implusif dan melindungi diri
              2. Tingkatan kedua, adalah tingkat konformistik
              3. Tingkatan ketiga, adalah tingkat sadar diri
              4. Tingkat keempat, adalah tingkat seksama (conscientious)
              5. Tingkatan kelima, adalah tingkat individualistic
              6. Tingkat keenam, adalah tingkat mandiri
              Ciri-ciri tingkatan ini adalah:
a)      Memiliki pandangan hidup sebagai suatu keseluruhan.
b)      Cenderung bersikap realistik dan objektikal terhadap diri sendiri maupun orang lain.
c)      Peduli terhadap faham-faham absrak, seperti keadilan social.
d)     Mampu mengintergrasikan nilai-nilai yang bertentangan.
e)      Toleran terhadap ambiguistas.
f)       Peduli akan pemenuhan diri (self-fulfilment).
g)      Ada keberanian untuk menyelesaikan konflik internal.
h)      Respek terhadap kemandirian orang lain.
i)Sadar akan adanya saling ketergantungan dengan orang lain.
j)Mampu mengekspresikan perasaan dengan penuh keyakinan dan keceriaan.
       Dengan menggunakan perspektif tingkatan-tingkatan diatas menunjukan bahwa tingkat kemandirian remaja pada umumnya bervariasi dan menyebar pada tingkatan sadar diri, seksama, individualistik, dan mandiri. Proses penyesuaian diri terhadap situasi dan peranan yang dihadapi tidak dilakukan secara mekanis belaka karena dalam diri remaja telah tumbuh dan berkembang tentang hubungan dirinya dengan kelompok.
       Remaja ada juga yang kemandiriannya berada pada tingkat seksama menunjukan bahwa proses pengambilan keputusan yang dilakukan bukan saja didasarkan pada kemampuan berpikir alternative melainkan didasarkan pada patokan atau prinsip sendiri dan disertai kesadaran akan tanggungjawab atas keputusan yang diambil meskipun keputusan yang dilakukan berbeda dengan yang dilakukan oleh orang lain.
       Jika temuan penelitian pada umumnya menunjukan bahwa tingkat kemandirian remaja menyebar pada tingkatan sadar diri, seksama, individualistik, dan mandiri, dapat ditafsirkan secara rinci masing-masing tingkatan sebagai berikut.
1.      Tingkat sadar diri
2.      Tingkat seksama
3.      Tingkat individualistik
4.      Tingkat mandiri
D. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemandirian Remaja
       Kemandirian bukanlah semata-mata merupakan pembawaan yang melekat pada diri individu sejak lahir. Perkembangannya dipengaruhi oleh berbagai stimulasi yang datang dari lingkungannya, selain potensi yang telah dimiliki sejak lahir sebagai keturunan dari orang tuanya.
       Faktor yang mempengaruhi kemandirian yaitu:
1.      Gene atau keturunan orang tua,
2.      Pola asuh orang tua
3.      Sistem pendidikan di sekolah
4.      Sistem kehidupan di masyarakat
E. Upaya Pengembangan Kemandirian Remaja dan Implikasinya bagi Pendidikan
       Dengan asumsi  bahwa kemandirian sebagai aspek psikologis itu berkembang tidak dalam kevakuman atau diturunkan oleh orang tuanya, maka intervensi-intervensi positif melalui ikhtiar pengembangan atau pendidikan  sangat diperlukan bagi kelancaran perkembagan kemandirian remaja.
Sejumlah intervensi dapat dilakukan antara lain sebagai berikut:
1.      Penciptaan partisipasi dan keterlibatan remaja dalam keluarga.
2.      Penciptaan keterbukaan.
3.      Penciptaan kebebasan untuk mengeksplorasikan lingkungan.
4.      Penerimaan positif tanpa syarat.
5.      Empati terhadap remaja.
6.      Penciptaan kehangatan hubungan dengan remaja.



BAB 3
PENUTUP
A.    Kesimpulan
            Situasi kehidupan dewasa ini sudah semakin kompleks, Kompleksitas kehidupan itu, yang pada saat sekarang seolah-olah telah menjadi bagian yang mapan dari kehidupan masyarakat, sebagian demi sebagian akan bergeser atau bahkan mungkin hilang sama sekali karena digantikan oleh pola kehidupan baru pada masa mendatang yang diprakirakan akan semakin lebih kompleks.
            Kecenderungan yang muncul di permukaan dewasa ini, ditunjang oleh laju perkembangan  teknologi dan arus gelombang kehidupan global yang sulit atau tidak mungkin untuk dibendung, mengisyaratkan bahwa kehidupan masa mendatang akan menjadi sarat pilihan yang rumit. Ini mengisyaratkan pula bahwa manusia akan semakin didesak kearah kehidupan yang amat kompetitif. Andersen (1993:718) memprediksikan si-tua-si-kehidupan semacam itu dapat menyebabkan manusia menjadi serba bingung atau bahkan larut ke dalam situasi baru itu tanpa dapat menyeleksi lagi jika tidak memiliki ketahanan hidup yang memadai karena tata-nilai lama yang telah mapan ditantang oleh nilai-nilai yang belum banyak dipahami.
            Kata “kemandirian “ berasal dari kata dasar “diri” yang mendapatkan awalan “ke” dan akhiran “an” yang kemudian membentuk suatu kata keadaan atau kata benda. Karena kemandirian berasal dari kata dasar “diri”, maka pembahasan mengenai kemandirian tidak dapat dilepaskan dari pembahasan mengenai perkembangan “diri” itu sendiri, yang dalam konsep Carl Rogers disebut dengan istilah “self” karena “diri” itu merupakan inti dari kemandirian. Kalau menelusuri berbagai literature, sesungguhnya banyak sekali istilah  yang berkenaan dengan “diri” ini.
            Pada hakikatnya, manusia ketika lahir kedunia berada dalam ketidak tahuan tentang diri dan dunianya. Dalam kondisi seperti itu, individu menyatu dengan dunianya; dalam pengertian belum memahami hubungan sebjek dengan objek. Berbekal perkembangan kemampuan berpikir, kreativitas dan imajinasi, individu mampu membedakan diri dari individu lain dan lingkungannya serta keterpautan  dirinya dengan orang lain atau dengan lingkungannya. Proses seperti ini, oleh Sunaryo Kartadinata (1988) dinamakan dengan proses peragaman.






















DAFTAR ISI
Sunaryo Kartadinata (1988). Profil kemandirian dan orientasi timbangan sosial mahasiswa serta kaitannya dengan perilaku Empatik dan Orientasi Nilai Rujukan. Bandung : disertakan Doktor pada Fakultas Pascasarjana IKIP Bandung.
Fawzia Aswin Hadis (1991) perilaku menyimpang remaja di tinjau dari Psikologi Perkembangan. Jakarta : Makalah Disampaikan pada seminar tentang Problematika Remaja Kita dan Tantangan Masa Depannya, 5 Nopember 1991.
Soemadi Soerjabarta (1975). Psikologi Perkembangan. Yogyakarta ; Rake Press.
Dedi Supriadi (1989). Kreativitas, Kebudayaan, & Perkembangan Iptek. Bandung : Alfabeta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar