BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Berbicara
masalah adat merupakan hal yang sangat menarik karena di dalamnya terdapat
aturan-aturan yang merupakan cerminan kepribadian asli bangsa Indonesia. Sekalipun aturan-aturannya
bersifat tidak tertulis tidak berarti mengurangi kepatuhan warga masyarakat
untuk melaksanakan aturan-aturan hukum yang terdapat di dalamnya.
Hukum Adat
merupakan hukum asli bangsa Indonesia yang telah ada sejak beratus-ratus
tahun yang lalu dan tetap terpelihara sampai sekarang. Hal ini dikarenakan
Hukum Adat telah berurat akar dalam kehidupan masyarakat dan menjadi pedoman
dalam pergaulan hidup masyarakat.
Secara kodrati
manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa manusia lain.
Oleh karena itulah manusia selalu hidup bersama dengan manusia lainnya. Hidup
bersama tersebut dalam kenyataannya dimulai dari kelompok yang terkecil yang
disebut dengan keluarga. Keluarga terbentuk dari hidup bersamanya laki-laki dan
perempuan dalam suatu ikatan yang disebut dengan perkawinan. Hidup bersama yang
terikat dalam perkawinan mempunyai akibat-akibat yang sangat penting dalam
suatu masyarakat yang mempunyai peradaban.
Sehubungan
dengan adanya akibat-akibat perkawinan yang sangat penting itu, maka masyarakat
membutuhkan suatu norma atau kaidah yang mengatur tentang syarat-syarat untuk
peresmiannya, pelaksanaan, kelanjutan serta berakhirnya perkawinan tersebut.
Di Indonesia
masalah perkawinan terutama menyangkut penyelenggaraan dari upacara perkawinan
yang pada umumnya didasarkan pada Hukum Adat. Di samping itu perkawinan
didasarkan pula pada hukum agama dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan
terbentuknya Undang-undang Perkawinan UU No. 1 Th. 1974, setiap perkawinan yang
dilangsungkan harus tunduk pada peraturan-peraturan yang diatur dalam
Undang-undang Perkawinan dan Peraturan Pelaksanaannya.
Dengan lahirnya
Undang-undang Perkawinan ini, maka di Indonesia telah ada satu unifikasi hukum
yang mengatur mengenai perkawinan, yakni berlakunya satu Undang-undang bagi
seluruh warga negara Indonesia dalam hal mereka melangsungkan perkawinan.
Maksud tersebut terlihat dalam konsideran Undang-undang Perkawinan yang antara
lain berbunyi “Bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk
membina hukum Nasional, perlu adanya Undang-undang tentang Perkawinan yang
berlaku bagi setiap warga negara”, sehingga secara yuridis tidak ada lagi hukum
perkawinan selain yang tertuang dalam UU No. 1 Th. 1974. Akan tetapi dalam
kenyataannya masyarakat masih memegang teguh dan mentaati ketentuan Hukum Adat
terutama dalam hal perkawinan adat.
Dengan
berlakunya UU No. 1 Th. 1974 yang mengikat seluruh warga negara untuk
melaksanakannya, maka sekarang ini perkawinan tidak saja harus sah menurut
Hukum Adat tetapi juga harus sah menurut UU No. 1 Th. 1974, dimana di dalam
Pasal 2 UU No. 1 Th. 1974 ditentukan bahwa “Perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Dari
ketentuan ini dapat dilihat bahwa pada dasarnya UU No. 1 Th. 1974 tidak
membatasi bagaimana suatu perkawinan harus dilaksanakan, tetapi hanya
mengatakan bahwa perkawinan itu harus sah menurut agama dan kepercayaan yang
dianut oleh pihak yang melaksanakan perkawinan. Dengan adanya ketentuan ini
berarti pelaksanaan perkawinan menurut Hukum Adat tetap diperbolehkan sepanjang
tidak bertentangan dengan UU No. 1 Th. 1974. Hal ini juga berlaku bagi
perkawinan Adat suku Dayak Kebahant Penyelopat di Desa Engkurai Kecamatan Pinoh
Utara Kabupaten Melawi, Kalimatan Barat.
Perkawinan merupakan salah satu
jalan atau suratan hidup yang dialami oleh hampir semua manusia dimuka bumi ini
walaupun ada beberapa diantaranya yang tidak terikat dengan perkawinan sampai
ajal menjemput. Semua agama resmi di Indonesia memangdang perkawinan sebagai
sesuatu yang sakral, harus dihormati, dan harus dijaga kelanggengannya. Oleh
karena itu, setiap orang tua merasa tugasnya sebagai orang tua telah selesai
bila anaknya telah memasuki jenjang perkawinan.
Hukum perkawinan yang berlaku saat ini adalah Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Hukum perkawinan ini menggantikan hukum
perkawinan yang terdapat didalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Burgelijk Wetboek (Statsblad 1917 Nomor 129). Menurut UU
Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria
dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan untuk membentuk keluarga
atau rumah rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa. Dan menurut undang-undang perkawinan juga dikatakan, bahwa suatu
perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum dan kepercayaannya
masing-masing.
Pengertian hukum adat secara umum
pada dasarnya dapat ditelaah dari pencerminan daripada kepribadian sesuatu
bangsa, merupakan salah satu penjelmaan daripada jiwa bangsa yang bersangkutan
dari abad ke abad. Sehingga dapat dikatakan bahwa adat merupakan pola tingkah
laku kebiasaan suatu suku bangsa.
Sedangkan menurut Prof. Kusumadi
Pudjosewojo yang sependapat dengan Ter Haar bahwa hukum adat adalah adat yang
telah mendapatkan sifat (maupun bentuk) hukum melalui penetapan (existential
moment) yang dikeluarkan oleh para petugas hukum baik di dalam maupun di
luar sengketa, meskipun tidak sepenuhnya sama, karena menurut Kusumadi meskipun
tidak mendapatkan sifat (dan bentuk hukum) hukum melalui penetapan yang
dikeluarkan oleh para fungsionaris hukum, hukum adat tetaplah ada dan hidup di
masyarakat.
Hukum
adat pada dasarnya ialah keseluruhan peraturan hukum yang berisi ketentuan
adat-istiadat seluruh bangsa Indonesia yang sebagian besarnya merupakan hukum
yang tidak tertulis, dalam keadaannya yang ber-bhineka mengingat bangsa
Indonesia terdiri dari ratusan suku bangsa yang masing-masing suku bangsa
tersebut memiliki adat-istiadat berdasarkan pandangan hidup masing-masing.
Oleh karena itu, berdasarkan uraian
latar belakang diatas, untuk membantu para Mahasiswa dalam belajar, Penulis
tertarik untuk menulis sebuah makalah yang penulis beri judul “Hubungan
Hukum Adat Dayak Kebahant Penyelopat dengan UU Pernikahan”. Dibawah ini akan penulis
sampaikan pembahasannya.
B.
Rumusan Masalah
Adapun Rumusan masalahnya adalah
sebagai berikut :
1.
Apa yang dimaksud dengan Hukum Adat ?
2.
Apa yang dimaksud dengan Pernikahan adat ?
3.
Apakah Bentuk-bentuk Perkawinan Adat ?
4.
Bagaimanakah Pernikahan menurut UU formal di Indonesia ?
5. Bagaimanakah
hukum adat pernikahan Dayak Kebahant Penyelopat?
C.
Tujuan
Adapun
tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Agar kita mengetahui dimaksud dengan Hukum Adat.
2. Agar kita mengetahui dimaksud dengan
pernikahan adat.
3. Agar kita
mengetahui bentuk-bentuk perkawinan Adat
4. Agar kita mengetahui hukum atau UU
Pernikahan Indonesia.
5. Agar kita mengetahui hukum adat
pernikahan Dayak Kebahant Penyelopat.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Hukum Adat
Berbicara
masalah adat merupakan hal yang sangat menarik karena di dalamnya terdapat
aturan-aturan yang merupakan cerminan kepribadian asli bangsa Indonesia. Sekalipun aturan-aturannya
bersifat tidak tertulis tidak berarti mengurangi kepatuhan warga masyarakat
untuk melaksanakan aturan-aturan hukum yang terdapat di dalamnya.
Hukum
Adat merupakan hukum asli bangsa Indonesia yang telah ada sejak beratus-ratus
tahun yang lalu dan tetap terpelihara sampai sekarang. Hal ini dikarenakan
Hukum Adat telah berurat akar dalam kehidupan masyarakat dan menjadi pedoman
dalam pergaulan hidup masyarakat.
Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, adat
adalah aturan (perbuatan dsb) yg lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu
kala; cara (kelakuan dsb) yg sudah menjadi kebiasaan; wujud gagasan kebudayaan
yg terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturan yg satu dng
lainnya berkaitan menjadi suatu sistem. Karena istilah Adat yang telah diserap
kedalam Bahasa Indonesia menjadi kebiasaan maka istilah hukum adat dapat
disamakan dengan hukum kebiasaan.
Sedangkan
menurut Soejono Soekanto, hukum adat hakikatnya merupakan
hukum kebiasaan, namun kebiasaan yang mempunyai akhibat hukum (das sein das
sollen). Berbeda dengan kebiasaan (dalam arti biasa), kebiasaan yang
merupakan penerapan dari hukum adat adalah perbuatan-perbuatan yang dilakukan
berulang-ulang dalam bentuk yang sama menuju kepada Rechtsvaardige Ordening
Der Semenleving.
Menurut
Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven, hukum adat adalah keseluruhan
aturan tingkah laku positif yang disatu pihak mempunyai sanksi (hukum) dan
dipihak lain dalam keadaan tidak dikodifikasi (adat). Tingkah laku positif
memiliki makna hukum yang dinyatakan berlaku disini dan sekarang. Sedangkan
sanksi yang dimaksud adalah reaksi (konsekuensi) dari pihak lain atas suatu
pelanggaran terhadap norma (hukum). Sedang kodifikasi dapat berarti sebagai
berikut:
1. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kodifikasi berarti himpunan
berbagai peraturan menjadi undang-undang; atau hal penyusunan kitab
perundang-undangan; atau penggolongan hukum dan undang-undang berdasarkan
asas-asas tertentu dl buku undang-undang yg baku.
2. Menurut Prof. Djojodigoeno kodifikasi adalah pembukuan secara
sistematis suatu daerah / lapangan bidang hukum tertentu sebagai kesatuan secara bulat (semua bagian
diatur), lengkap (diatur segala unsurnya) dan tuntas (diatur semua soal yang
mungkin terjadi).
Menurut Ter Haar membuat dua perumusan yang menunjukkan perubahan
pendapatnya tentang apa yang dinamakan hukum adat. Hukum adat lahir dan
dipelihara oleh keputusan-keputusan warga masyarakat hukum adat, terutama
keputusan yang berwibawa dari kepala-kepala rakyat (kepala adat) yang membantu
pelaksanaan-pelaksanaan perbuatan-perbuatan hukum, atau dalam hal pertentangan
kepentingan keputusan para hakim yang bertugas mengadili sengketa, sepanjang
keputusan-keputusan tersebut karena kesewenangan atau kurang pengertian tidak
bertentangan dengan keyakinan hukum rakyat, melainkan senafas dan seirama
dengan kesadaran tersebut, diterima, diakui atau setidaknya tidak-tidaknya
ditoleransi.
Pelopor penggunaan istilah Hukum Adat
pada awal mulanya ialah Snouk Hurgronje yang mencetuskan istilah adatrecht
dalam karyanya De Atjehers, yang isinya membahas perihal adat istiadar suku
bangsa Aceh. Selanjutnya, penggunaan istilah Hukum Adat ini ditokohi pula oleh
Van Vollenhoven.
Hukum adat pada dasarnya ialah
keseluruhan peraturan hukum yang berisi ketentuan adat-istiadat seluruh bangsa
Indonesia yang sebagian besarnya merupakan hukum yang tidak tertulis, dalam
keadaannya yang ber-bhineka mengingat bangsa Indonesia terdiri dari ratusan
suku bangsa yang masing-masing suku bangsa tersebut memiliki adat-istiadat
berdasarkan pandangan hidup masing-masing.
Keberadaan
Bangsa Indonesia saat ini, tentu tidak dapat dipisahkan dari keberadaan Bangsa
Indonesia pada masa lampau. Kebesaran bangsa Indonesia saat ini sebenarnya
telah dapat terlihat sejak masa lampau. Dimulai dari masuknya agama Hindhu ke
Bumi Nusantara, menjadikan agama Hindhu adalah agama yang pertama kali dianut
oleh bumiputra. Hingga saat ini, kebudayaan Hindhu sedikit banyak masih
mempengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia, sekalipun dia bukan beragama
Hindhu. Misalnya, dalam agama Hindhu, cara beribadahnya pada umumnya dengan
membakar dupa yang konon baunya dupa tersebut dapat mengantarkan doa yang di
panjatkan kepada Shang Yang Jagad Dewa Batara. Saat ini kita melihat bagaimana
seorang muslim, di daerah Jawa khususnya, dalam berdoa terkadang juga dengan
membakar dupa atau menyan. Sehingga dikenal dengan istilah Islam Kejawen.
Masa-masa kerajaan yang pernah berkuasa di Bumi Nusantara yaitu Zaman Hindu, Zaman Sriwijaya, Zaman Mataram I, Zaman Majapahit, Zaman Islam,
Zaman Demak, Zaman Mataram II, Zaman Cirebon & Banten,
Zaman Kolonial Belanda, Zaman Kemerdekaan.
Prof. Mr. Cornelis
Van Vollenhoven
membagi Indonesia menjadi 19 lingkungan hukum adat (rechtsringen).
Satu daerah yang garis-garis besar, corak dan sifat hukum adatnya seragam
disebutnya sebagai rechtskring. Setiap lingkungan hukum adat tersebut
dibagi lagi dalam beberapa bagian yang disebut Kukuban Hukum (Rechtsgouw). Lingkungan
hukum adat tersebut adalah sebagai berikut :
1. Aceh (Aceh Besar, Pantai Barat,
Singkel, Semeuleu)
2. Tanah Gayo, Alas dan Batak
a. Tanah Gayo (Gayo lueus)
b. Tanah Alas
c. Tanah Batak (Tapanuli)
1) Tapanuli Utara; Batak Pakpak
(Barus), Batak karo, Batak Simelungun, Batak Toba (Samosir, Balige, Laguboti,
Lumbun Julu)
2) Tapanuli Selatan; Padang Lawas (Tano
Sepanjang), Angkola, Mandailing (Sayurmatinggi)
3) Nias (Nias Selatan)
3. Tanah Minangkabau (Padang, Agam,
Tanah Datar, Limapuluh Kota, tanah Kampar, Kerinci)
4. Mentawai (Orang Pagai)
5. Sumatera Selatan
a. Bengkulu (Renjang)
b. Lampung (Abung, Paminggir, Pubian,
Rebang, Gedingtataan, Tulang Bawang)
c. Palembang (Anak lakitan, Jelma Daya,
Kubu, Pasemah, Semendo)
d. Jambi (Orang Rimba, Batin, dan
Penghulu)
e. Enggano
6. Tanah Melayu (Lingga-Riau,
Indragiri, Sumatera Timur, Orang Banjar)
7. Bangka dan Belitung
8. Kalimantan (Dayak Kalimantan Barat,
Kapuas, Hulu, Pasir, Dayak, Kenya, Dayak Klemanten, Dayak Landak, Dayak Tayan,
Dayak Lawangan, Lepo Alim, Lepo Timei, Long Glatt, Dayat Maanyan, Dayak Maanyan
Siung, Dayak Ngaju, Dayak Ot Danum, Dayak Penyambung Punan, Dayak Kebahant,
dll)
9. Gorontalo (Bolaang Mongondow,
Boalemo)
10. Tanah Toraja (Sulawesi Tengah,
Toraja, Toraja Baree, Toraja Barat, Sigi, Kaili, Tawali, Toraja Sadan, To Mori,
To Lainang, Kep. Banggai)
11. Sulawesi Selatan (Orang Bugis, Bone,
Goa, Laikang, Ponre, Mandar, Makasar, Selayar, Muna).
12. Kepulauan Ternate (Ternate, Tidore,
Halmahera, Tobelo, Kep. Sula)
13. Maluku Ambon (Ambon, Hitu, Banda,
Kep. Uliasar, Saparua, Buru, Seram, Kep. Kei, Kep. Aru, Kisar)
14. Irian
15. Kep. Timor (Kepulauan Timor, Timor,
Timor Tengah, Mollo, Sumba, Sumba Tengah, Sumba Timur, Kodi, Flores, Ngada,
Roti, Sayu Bima)
16. Bali dan Lombok (Bali
Tanganan-Pagrisingan, Kastala, Karrang Asem, Buleleng, Jembrana, Lombok,
Sumbawa).
17. Jawa Pusat, Jawa Timur serta Madura
(Jawa Pusat, Kedu, Purworejo, Tulungagung, Jawa Timur, Surabaya, Madura).
18. Daerah Kerajaan suku jawa
(Surakarta, Yogyakarta).
19. Jawa Barat (Priangan, Sunda,
Jakarta, Banten).
B.
Pernikahan Adat
Berkenan dengan adanya hubungan yang tepat dari topik
ini, maka menurut Hukum Adat pada umumnya di Indonesia perkawinan itu bukan
saja berarti sebagai perikatan Perdata tetapi juga merupakan “Perikatan Adat”
dan sekaligus merupakan perikatan kekerabatan dan kekeluargaan. Jadi terjadinya
suatu ikatan perkawinan bukan semata-mata membawa akibat terhadap
hubungan-hubungan keperdataan, seperti hak dan kewajiban suami isteri, harta
bersama kedudukan anak, hak dan kewajiban orang tua, tetapi juga menyangkut hubungan-hubungan
adat istiadat, kewarisan kekeluargaan, dan kekerabatan dan ketetanggaan serta
menyangkut upacara-upacara adat dan keagamaan.
Oleh karenanya, Imam Sudiyat dalam bukunya Hukum Adat mengatakan : Menurut
Hukum Adat perkawinan biasa merupakan urusan kerabat, keluarga, persekutuan,
martabak, bisa merupakan urusan pribadi bergantung pada susunan masyarakat”
(Imam Sudiyati : 1991:17)
Demikian pula diketengahkan oleh Teer Haar menyatakan
bahwa :
Perkawinan
adalah urusan kerabat, urusan keluarga, urusan masyarakat, urusan martabak dan
urusan pribadi” (Hilman
Hadikusuma : 2003 : 8).
Dan begitu pula menyangkut urusan keagamaan sebagaimana
dikemukakan oleh: Van Vollenhoven bahwa : Dalam hukum
adat banyak lembaga-lembaga hukum dan kaidah-kaidah hukum yang berhubungan
dengan tatanan dunia diluar dan diatas kemampuan manusia” (Hilman hadikusuma,
2003: 9 ).
Perkawinan dalam arti “Perikatan Adat” ialah perkawinan
yang mempunyai akibat hukum terhadap hukum adat yang berlaku dalam masyarakat
yang bersangkutan. Akibat hukum ini telah ada sejak sebelum perkawinan terjadi,
yaitu misalnya dengan adanya hubungan pelamaran yang merupakan “ Rasa senak “
(hubungan anak-anak, bujang gadis) dan “rasa Tuha” (hubungan orang tua keluarga
dari pada calon suami istri). Setelah terjadinya ikatan perkawinan maka timbul
hak-hak dan kewajiban orang tua termaksud anggota keluarga , kerabat menurut
hukum adat setempat yaitu dengan pelaksanaan upacara adat dan selanjutnya dalam
peran serta membina dan memelihara kerukunan, keutuhan dan kelenggengan dari
kehidupan anak-anak mereka yang terlibat dalam perkawinan.
Sejauh mana ikatan perkawinan itu membawa akibat hukum
“Perikatan Adat‘ seperti tentang kedudukan suami atau kedudukan istri, begitu
pula tentang kedudukan anak dan pengangkatan anak, kedudukan anak tertua anak
anak penerus keturunan, anak adat, anak asuh dan lain-lain ; dan harta
perkawinan tergantung pada bentuk dan sistim perkawinan adat setempat.
Menurut Hukum Adat di Indonesia perkawinan itu dapat
berbentuk dan bersistim perkawinan jujur dimana pelamaran dilakukan pihak pria
kepada pihak wanita dan setelah perkawinan, isteri mengikuti tempat kedudukan
dan kediaman suami hal ini biasa dijumpai di (Bantul, Lampung, Bali) kemudian “
Perkawinan Semanda “ dimana pelamar dilakukan oleh pihak wanita kepada pihak
pria dan setelah perkawinan suami mengikuti tempat kedudukan dan kediaman istri
hal ini bisa dijumpai didaerah (Minangkabau, Semendo Sumatera Selatan) dan
perkawinan bebas yaitu di (Jawa, Mencur, Mentas) dimana pelamaran dilakukan
oleh pihak pria dan setelah perkawinan kedua suami istri bebas menentukan
tempat kedudukan dan kediaman mereka, menurut kehendak mereka, yang terakhir
ini banyak berlaku dikalangan masyarakat keluarga yang telah maju (Modern).
Secara kodrati manusia merupakan makhluk
sosial yang tidak dapat hidup tanpa manusia lain. Oleh karena itulah manusia
selalu hidup bersama dengan manusia lainnya. Hidup bersama tersebut dalam
kenyataannya dimulai dari kelompok yang terkecil yang disebut dengan keluarga.
Keluarga terbentuk dari hidup bersamanya laki-laki dan perempuan dalam suatu
ikatan yang disebut dengan perkawinan. Hidup bersama yang terikat dalam
perkawinan mempunyai akibat-akibat yang sangat penting dalam suatu masyarakat
yang mempunyai peradaban.
Sehubungan dengan adanya akibat-akibat
perkawinan yang sangat penting itu, maka masyarakat membutuhkan suatu norma
atau kaidah yang mengatur tentang syarat-syarat untuk peresmiannya,
pelaksanaan, kelanjutan serta berakhirnya perkawinan tersebut.
Di Indonesia masalah perkawinan terutama
menyangkut penyelenggaraan dari upacara perkawinan yang pada umumnya didasarkan
pada Hukum Adat. Di samping itu perkawinan didasarkan pula pada hukum agama dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan terbentuknya Undang-undang
Perkawinan UU No. 1 Th. 1974, setiap perkawinan yang dilangsungkan harus tunduk
pada peraturan-peraturan yang diatur dalam Undang-undang Perkawinan dan
Peraturan Pelaksanaannya.
Dengan lahirnya Undang-undang Perkawinan
ini, maka di Indonesia telah ada satu unifikasi hukum yang mengatur mengenai
perkawinan, yakni berlakunya satu Undang-undang bagi seluruh warga negara
Indonesia dalam hal mereka melangsungkan perkawinan. Maksud tersebut terlihat
dalam konsideran Undang-undang Perkawinan yang antara lain berbunyi “Bahwa
sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk membina hukum Nasional,
perlu adanya Undang-undang tentang Perkawinan yang berlaku bagi setiap warga
negara”, sehingga secara yuridis tidak ada lagi hukum perkawinan selain yang tertuang
dalam UU No. 1 Th. 1974. Akan tetapi dalam kenyataannya masyarakat masih
memegang teguh dan mentaati ketentuan Hukum Adat terutama dalam hal perkawinan
adat.
Dengan berlakunya UU No. 1 Th. 1974 yang
mengikat seluruh warga negara untuk melaksanakannya, maka sekarang ini
perkawinan tidak saja harus sah menurut Hukum Adat tetapi juga harus sah
menurut UU No. 1 Th. 1974, dimana di dalam Pasal 2 UU No. 1 Th. 1974 ditentukan
bahwa “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu”. Dari ketentuan ini dapat dilihat bahwa pada
dasarnya UU No. 1 Th. 1974 tidak membatasi bagaimana suatu perkawinan harus
dilaksanakan, tetapi hanya mengatakan bahwa perkawinan itu harus sah menurut
agama dan kepercayaan yang dianut oleh pihak yang melaksanakan perkawinan.
Dengan adanya ketentuan ini berarti pelaksanaan perkawinan menurut Hukum Adat
tetap diperbolehkan sepanjang tidak bertentangan dengan UU No. 1 Th. 1974. Hal
ini juga berlaku bagi perkawinan Adat suku Dayak Kebahant Penyelopat di Desa
Engkurai Kecamatan Pinoh Utara Kabupaten Melawi, Kalimatan Barat.
Dari berbagai penjelasan diatas telah ditarik suatu
kesimpulan bahwa, bagaimanapun tata tertib adat yang harus dilakukan oleh
mereka yang akan melangsungkan perkawinan menurut bentuk dan sistim yang
berlaku dalam masyarakat, Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tidak mengaturnya,
hal mana berarti terserah kepada selera dan nilai-nilai budaya dari masyarakat
yang bersangkutan, asal saja segala sesuatunya tidak berkepentingan dengan
kepentingan umum, Pancasila dan Undang-Undang Dasar tahun 1945. dengan demikian
perkawinan dalam arti “ Perikatan Adat “ walaupun dilangsungkan antara adat yang
berbeda, tidak akan seberat penyelesaiannya dari pada berlangsungnya perkawinan
yang bersifat antar agama, oleh karena perbedaan adat yang hanya menyangkut
perbedaan masyarakat bukan perbedaan keyakinan.
1.
Sistem Perkawinan Adat
Sistem
perkawinan menurut hukum adat ada 3 macam :
a.
Sistim Endogami Yaitu suatu sistim perkawinan yang
hanya memperbolehkan seseorang melakukan perkawinan dengan seorang dari suku
keluarganya sendiri.
b.
Sistim Eksogami Yaitu suatu sistim perkawinan yang
mengharuskan seseorang melakukan perkawina dengan seorang dari luar suku
keluarganya.
c.
Sistim Eleutherpgami Yatu sistim perkawinan yang tidak
mengenal larangan atau keharusan seperti halnya dalam sistim endogami ataupun
exogami.
Laragan
yang terdapat dalam sistim ini adalah larangan yang bertalian dengan ikatan
kekeluargaan, yaitu larangan karena :
a.
Nasab ( =turunan dekat ), seperti kawin dengan ibu, nenek, anak
kandung, cucu (keturunan garis lurus keatas dan kebawah) juga dengan saudara
kandung, saudara bapak atau ibu.
b.
Musyaharah (=per iparan) seperti kawin dengan ibu tiri, menantu,
mertua anak tiri.
2.
Asas- asas Perkawinan Adat
Asas-asas perkawinan menurut hukum adat sebagai berikut :
a.
perkawinan bertujuan membentuk keluarga rumah tangga dan
hubungan kekerabatan yang rukun dan damai, bahagia dan kekal.
b.
Perkawinan tidak saja harus sah dilaksanakan menurut hukum
agama atau kepercayaan, tetapi juga harus mendapat pengakuan dari para anggota
kerabat.
c.
Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan anggota
keluarga dan anggota kerabat.Masyarakat adat dapat menolak kedudukan suami atau
istri yang tidak diakui masyarakat adat.
d.
Perkawinan dapat dilaksanakan oleh seseorang pria dengan
beberapa wanita, sebagai istri kedudukannya masing masing ditentukan menurut
hukum adat setempat.
e.
Perkawinan dapat dilakukan oleh pria dan wanita yang belum
cukup umur atau masih anak anak. Begitu pula walauoun sudah cukup umur
perkawinan harus berdasarkan ijin orang tua/ keluarga dan kerabat.
f.
Perceraian ada yang boleh dilakukan dan ada yang tidak
boleh. Perceraian antara suami istri dapat berakibat pecahnya kekerabatan
antara kedua belah pihak.
g.
Keseimbangan kedudukan antara suami dan istri berdasarkan
ketentuan hukum adat yang berlaku, ada istri yang berkedudkan sebagai ibu rumah
tangga dan ada istri yang bukan ibu rumah tangga.
C.
Bentuk-Bentuk Perkawinan Adat
Menurut
cara terjadinya atau persiapan perkawinan bentuk- bentuk perkawinan adat
dibedakan menjadi 4 macam, yaitu :
1. Perkawinan Pinang Yaitu bentuk perkawinan dimana
persiapan pelaksanaan perkawinan dilaksanakan dengan cara meminang atau
melamar. Pinangan pada umumnya dari pihak pria kepada wanita untuk menjalin
perkawinan.
2. Perkawinan Lari Bersama Yaitu perkawinan dimana calon suami
dan istri berdasarkan atas persetujuan kedua belah pihak untuk enghindarkan
diri berbagai keharusan sebagai akibat perkawinan mereka berdua lari kesuatu
tempat untuk melangsungkan perkawinan.
3. Kawin Bawa Lari Yaitu bentuk perkawinan dimana
seorang laki- laki melarikan seorang wanita secara paksa.
Berdasarkan
atas tata susunan kekerabatan perkawinan dibedakan menjadi 3 bentuk, yaitu:
a. Bentuk perkawinan pada
masyarakat Patrilineal dibedakan menjadi :
1.
Perkawinan Jujur, Suatu bentuk perkawinan yang
dilakukan dengan memberikan jujur. Oleh pihak laki- laki kepada pihak
perempuan, sebagai lambang diputuskannya kekeluargaan sang istri dengan orang
tua, kerabat, dan persekutuannya.
2.
Perkawinan Mengabdi Yaitu perkawinan yang disebabkan
karena pihak pria tidak dapat memenuhi syarat- syarat dari pihak wanita. Perkawinan dilaksanakan dengan
pembayaran perkawinan dihutang atau ditunda. Dengan perkawinan mengabdi maka
pihak pria tidak usah melunasi uang jujur. Pria mengabdi pada kerabat mertuanya
sampai utangnya lunas.
3.
Perkawinan Mengganti/ Levirat Yaitu perkawinan antara seorang
janda engan saudara laki-laki almarhum suaminya. Bentuk perkawinan ini adalah sebagai
akibat adanya anggapan bahwa seorang istri telah dibeli oleh pihak suami dengan
telah membayar uang jujur. Perkawinan mengganti di Batak disebut “paraekhon”,
di Palembang dan Bengkulu disebut dengan “ganti tikar” dan di Jawa
dikenal dengan “medun ranjang”.
4.
Perkawinan Meneruskan/ Sorotan Yaitu bentuk perkawinan seorang balu
(duda) dengan saudara perempuan almarhum istrinya. Perkawinan ini tanpa
pembayaran yang jujur yang baru, karena istri kedua dianggap meneruskan fungsi
dari istri pertama. Tujuan perkawinan ini supaya terjalinnya keutuhan keluarga
(hubungan kekeluargaan) agar kehidupan anak-anak yang lahir dari perkawinan
yang lalu tetap terpelihara juga untuk menjaga keutuhan harga kekayaan (harta
perkawinan). Di Jawa disebut dengan perkawinan “Ngarang wulu”
5.
Perkawinan Bertukar Bentuk perkawinan dimana
memperbolehkan sistem perkawinan timbal balik (symetris connubium). Sehingga pembayaran jujur yang
terhutang secara timbal balik seakan-akan dikompensikan, pembayaran jujuar
bertimbal balik diperhitungkan satu dengan yang lain, sehingga keduanya menjadi
hapus. Dalam masyarakat Patrilineal dikenal perkawinan yang
dilakukan “tanpa pembayaran perkawinan (uang jujur)”
6.
Perkawinan Ambil Anak Yaitu perkawinan yang dilakukan
tanpa pembayaran jujur, yaitu dengan menganggkat si suami sebagai anak
laki-laki mereka, sehingga si istri tetap menjadi anggota clan semula. Si suami
telah menjadi anak laki-laki dari ayah si istri, sehingga anak-anak yang lahir
kelak akan menarik garis keturunan ayahnya. Alasan dilakukannya perkawinan Ambil
Anak karena dalam masyarakat Patrilineal tidak mempunyai anak laki-laki,
sehingga hubungan patrilinealnya akan punah.
D.
Pernikahan
menurut Hukum formal/UU di Indonesia
Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974, memberikan
devinisi perkawinan sebagai berikut:
“Perkawinan adalah Ikatan lahir bathin antara seorang
Pria dan seorang wanita sebagai Suami-Isteri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa “
(2002 : 38).
Apabila devinisi diatas kita telaah, maka terdapatlah
Lima unsur didalamnya:
1. Ikatan lahir bathin.
2. Antara seorang
Pria seorang wanita.
3. Sebagai suami-istri.
4. Membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal.
5. Berdasarkan
KeTuhanan Yang Maha Esa.
Didalam Lima Unsur diatas ini penulis Akan mencoba
memberikan penjelasan khusus yaitu unsur pertama dan yang kedua sehingga Akan
jelas pemahamannya.
Ad.1. Ikatan lahir bathin.
Yang dimaksud dengan ikatan lahir bathin adalah, bahwa
ikatan itu tidak hanya cukup dengan ikatan lahir saja atau bathin saja, Akan
tetapi kedua-duanya harus terpadu erat. Suatu ikatan lahir merupakan ikatan
yang dapat dilihat dan mengungkapkan adanya hubungan hukum antara seorang pria
dan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami-isteri, dengan kata lain
hal itu disebut dengan hubungan formal, hubungan formal ini nyata baik bagi
prihal mengikatkan dirinya maupun bagi pihak ketiga, sebaliknya suatu ikatan
bathin merupakan hubungan yang tidak formal, suatu ikatan yang tidak nampak,
tidak nyata yang hanya dirasakan oleh pihak-pihak yang bersangkutan, ikatan
bathin ini merupakan dasar ikatan lahir. Ikatan bathin ini yang dapat dijadikan
dasar pundasi dalam membentuk dan membina keluarga yang bahagia.
Dalam membina keluarga yang bahagia sangatlah perlu usaha
yang sungguh-sungguh untuk meletakkan perkawinan sebagai ikatan Suami- Istri
atau calon Suami- Istri dalam kedudukan mereka yang semestinya dan suci seperti
yang disejajarkan oleh Agama yang kita anut masing dalam Negara yang
berdasarkan Pancasila. Perkawinan bukan hanya menyangkut unsur lahir akan
tetapi juga menyangkut unsur bathiniah.
Ad. 2. Antara seorang pria dan seorang wanita.
Ikatan perkawinan hanya boleh terjadi antara seorang pria
dan seorang wanita dengan demikian, maka kesimpulan yang dapat ditarik
pertama-tama bahwa hubungan perkawinan selain antara pria dan wanita tidaklah
mungkin terjadi misalnya antara seorang pria dengan seorang pria atau seorang
wanita dengan wanita ataupun antara seorang wadam dan wadam lainnya. Disamping
itu kesimpulan yang dapat ditarik ialah bahwa dalam unsur kedua ini terkandung
Asas monogamy.
Dari penjelasan diatas dapatlah disimpulkan bahwa
perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir atau jasmani, Akan tetapi juga
mempunyai unsur bathin atau rohani mempunyai peranan yang sangat penting dalam
membentuk keluarga yang bahagia dan sejahtera.
Pasal
2:
1. Perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaanya itu.
2. Tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal
3 :
1. Pada dasarnya dalam suatu perkawinan
seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh
mempunyai seorang suami.
2. Pengadilan dapat memberikan ijin
kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh
pihak-pihak yang bersangkutan.
Pasal
4 :
1. Dalam hal Seorang suami, akan
beristri, lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat 2
undang-undang ini maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di
Daerah tempat tinggalnya.
2. Pengadilan yang dimaksud dalam ayat
1 pasal ini hanya memberikan ijin kepada seorang suami yang akan bertistri
lebih dari seorang apabila :
a. Isteri tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai seorang Isteri.
b. Isteri mendapat cacat badan atau
penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c. Isteri tidak dapat melahirkan
keturunan.
Undang-undang
Nomor 1 tahun 1974 menentukan bahwa untuk dapat melangsungkan perkawinan harus
memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 yang berbunyi :
1. Perkawinan
harus didasarkan persetujuan kedua mempelai
2. Untuk
melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus lah
mendapat ijin kedua orang tuanya.
3. Dalam hal salah
seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak
mampu menyatakan kehendaknya, maka ijin yang dimaksud ayat 2 pasal ini cukup
diperoleh dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
4. Dalam hal
kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk
menyatakan kehendaknya, maka ijin diperoleh dari wali, orang yang memelihara
atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan keatas selama
mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
5. Dalam hal
perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat 2, 3 dan 4 pasal
ini atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya,
maka Pengadilan dalam Daerah hukumnya tempat tinggal orang yang akan
melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberri ijin
setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat 2, 3 dan 4 pasal
ini.
6. Ketentuan
tersebut ayat 1 sampai dengan ayat 5 pasal ini berlaku sepanjang hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaan itu dari yang bersangkutan tidak
menentukan yang lainya.
Pasal
7 :
1. Perkawinan hanya dijinkan jika Pria
sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak Wanita sudah mencapai umur 16 tahun.
2. Dalam hal penyimpangan terhadap ayat
1 pasal ini dapat memberikan dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat Lain
yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.
3. Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan
salah seorang atau kedua orang tua tersebut dalam pasal 6 ayat 3 dan 4
undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat 2
pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam pasal 6 ayat 6.
Oleh
karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan istri dapat membentuk
keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai pula dengan hak Asasi manusia, maka
perkawinan harus disetujui oleh kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan
tersebut, tanpa adanya paksaan dari pihak manapun. Undang-undang
Nomor 1 tahun 1974 menganut beberapa prinsip dalam perkawinan yaitu:
1. Tujuan
perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal untuk itu
suami-istri perlu saling membantu, melengkapi agar masing-masing dapat
mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan material dan
spiritual.
2. Bahwa suatu
perkawinan adalah sah bila mana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu dan perkawinan itu harus dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
3. Undang-undang
nomor 1 tahun 1974 menganut asas monogami hanya apabila dikehendaki oleh orang
yang bersangkutan karena hukum dan agama dan yang bersangkutan yang mengijinkan
seorang suami dapat beristri lebih dari seorang meskipun dikehendaki oleh
pihak-pihak yang bersangkutan hanya dapat dilakukan apabila memenuhi
syarat-syarat tertentu dan diputuskan oleh pengadilan.
4. Bahwa calon
Suami-istri harus betul-betul siap jiwa dan raganya untuk dapat melakukan dan
melangsungkan perkawinan agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara
tanpa berakhir dengan perceraian dan mendapatkan keturunan yang baik dan sehat.
5. Karena
tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal serta
sejahtera, maka undang-undang ini menganut prinsip mempersatukan terjadinya
perceraian untuk dapat memungkinkan perceraian harus ada alasan-alasan tertentu
dan harus dilakukan didepan Sidang Pengadilan.
6. Hak dan
kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kewajiban suami baik dalam
kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan rumah masyarakat sehingga dengan
demikian segala sesuatu diputuskan bersama.
E.
Hukum Adat
Pernikahan Dayak Kebahant Penyelopat
1.
Sejarah Suku
Dayak Kebahant Penyelopat
Suku
dayak Kebahant Penyelopat adalah salah satu Suku Dayak yang ada di Kalimantan
Barat khususnya bertempat tinggal di kabupaten Melawi khususnya sepanjang
sungai Man. Suku dayak Kebahant Penyelopat asal mula nya berasal dari Suku
dayak Kebahant yang berada di Kabupaten Melawi dan Kabupaten Sintang yang
tersebar dibeberapa daerah, yaitu :
a. Sungai melawi
b. Sungai kayan
c. Sungai
belimbing
d. Sungai menunuk
e. Sungai pinoh
f. Sungai iban
g. Sungai kebebu,
dan
h. Sungai Man.
Asal
mula Suku dayak Kebahant bertempat tinggal di sungai kayan tepatnya di daerah
ngklangan dan bongkal serta sungai
kebahan. Di daerah tersebut hiduplah seorang tokoh Suku dayak Kebahant yang
sangat di segani oleh masyarakat setempat karena kearipannya yaitu Bolit Pati
Angga Tumpang yang memiliki beberapa orang putra putri salah satunya yaitu
Kanana Intan kemudian kawin dengan seorang pemuda yang berasal dari suku Payak
yakni suku yang ada di sepanjang sungai Payak Kayan. Seorang pemuda tersebut
bernama Mota bakong yang yang gagah perkasa dari perkawinan tersebut lahirlah
beberapa orang putra/putri dan menjadi sebuah suku dan sub-sub suku sampai
sekarang.
Suku
dayak Kebahant terdiri dari beberapa sub-sub kebahant seperti Kebahant Kayan,
Kebahant Belimbing, Kebahant Menunuk, Kebahant Katab, Kebahant Pinoh, Dan Suku
Dayak Kebahant Penyelopat.
Suku
dayak Kebahant Penyelopat masyarakat aslinya bermukim disepanjang sungai Man.
Dulunya Suku dayak Kebahant Penyelopat berasal dari suku dayak kebahan yang
bermukin di sepanjang sungai kebahan yang sekarang berada di daerah Desa
Manding Kecamatan Pinoh Utara Kebupaten Melawi
Pada
jaman dahulu sekitar tahun 1700 yang lalu di daerah Kab. Melawi. Tepatnya di
kec. Pinoh utara, yang sekarang desa Engkurai atau di Laman Botongk, lumut,
Laman Balok yang identik dengan sungai ma’an nya, yang sehingga sering juga di
sebut sebagai orang tanah Ma’an (yang sekarang Desa Engkurai),jaba, Kompas,
Penawant, dan Laman Buok Entengen yang dihuni oleh suku kebahan penyelopat yang
merupakan sub suku dayak Kebahan yang ada di Kab. Melawi.
Dulunya
pada masa penjajahan nama suku ini masih Suku Dayak Kebahan yang berdiam di
daerah manding, natai panjang, utai, merah arai, dan sekitar nya yang di huni
oleh Suku Dayak Barai maka di daerah tersebut sekarang masih ada namanya sungai
Kebahan dan Laman Buok yang merupakan peninggalan Suku dayak kebahan
Penyelopat.
Sedangkan
di daerah yang di diami oleh Suku dayak Kebahan penyelopat pada saat ini,
dahulunya merupakan tanah yang diami Suku Iban (Gupongk Same, Gupongk Koli,
Gupongk Pacangk, Gupongk Laman Buok Ibangk, dan sekitar nya). Yang sekarang
tanah tersebut banyak telah menjadi tanah adat yang juga bekas rumah jaman
dulu. Kemudian di daerah yang sekarang Dusun pisang dua sampai ke tebidah
merupakan tanah yang di huni oleh suku Undau dan dayak iban menghuni tanah yang
didiami oleh Suku kebahan penyelopat seperti Gupongk Same, Pacangk, Koli. Namun
sekarang keberadaan suku iban telah berpindah ke daerah porau, pengijau, kama,
dan tersebar di daerah kecamatan Ella Hilir, Kab. Melawi.
Di
antara suku Iban dan undau merupakan suku yang tidak pernah damai yang selalu
Bebunuh dan ngayau (membunuh dengan memotong kepala) pada jaman itu. Dan selalu
suku Iban yang di serang dan kalah. Dulu suku iban menghuni daerah natai
(bukit) yang hampir menyerupai bukit. Karena melihat kondisi tersebut yang
selalu terjadi pertumpahan darah antara kedua suku tersebut maka dari pihak
pemerintah berunding mencari solusi untuk masalah itu. Untuk memecahkan masalah
tersebut maka pemerintah meminta kepada Suku dayak kebahan untuk pindah di
antara kedua suku yang berselisih tersebut tepat nya di sepanjang sungai Ma’an
sebagai Penyelopat (di antara) kedua
suku Iban dan Undau karena mengingat suku Undau segan kepada suku Kebahan.
Kemudian sampai pada hari ini di daerah tanah Ma’an dan menyebut dirinya
sebagai orang tanah ma’an merupakan daerah dan Orang atau suku Dayak Kebahan Penyelopat.
Maka
pindahlah suku kebahan tersebut kedaerah tanah ma’an, sebagiannya juga pindah
ke daerah suku Iban seperti laman balok, Kompas, dan penawant. Pindah suku
kebahan tersebut sebagai penyelopat antara kedua suku yang bertikai, hidup lah
antara kedua suku yang damai dan tentram. Baik antara suku kebahan dan Undau
atau pun suku kebahan dan Iban sampai saat ini.
Seiring
berjalan nya waktu, sebagian dari suku kebahan penyelopat yang dulu masih
menghuni laman buok natai dan laman buok bakah, pindah kedaerah seberang sungai
melawi tepatnya ada yang Tahlot, Pemuar, Buil, Poring, Kayu Bunga, lintah.
Sedang kan suku Kebahan penyelopat yang masih asli tempat tinggalnya yaitu :
Jaba, Engkurai, Lumut, Laman Ntengen dan Laman balok sekarang sudah menyatu ke
Engkurai, serta kompas dan penawant.
Keberadaan
suku dayak kebahant penyelopat sama dengan suku dayak lainnya yang ada di
sekitar Kabupaten Melawi dan kabupaten Sintang. Baik tempat tinggal, tata cara
kehidupan sehari-hari.
Sebagian
besar Suku dayak Kebahant Penyelopat bermata pencarian petani karet dan petani
padi gunung untuk memenuhi kebutuhan kehidupan sehari-hari.
2.
Adat Pernikahan
Dayak Kebahant Penyelopat
Berdasarkan
Surat Keputusan No. 001/SK-MUSDAT/SSDKP/2010 tentang Ketetapan Adat Hasil
Musyawarah Adat II Sub Suku Dayak Kebahan Penyelopat.
Musyawarah
Adat II Sub Suku Dayak Kebahan Penyelopat menimbang, mengingat dan
memperhatikan bahwa :
1. Menimbang Keberadaan
Hukum Adat pada situasi dan kondisi saat ini sangat membantu Hukum positif yang
berlaku.
2. Menimbang Hukum
adat sub suku dayak kebahant penyelopat perlu dikembangkan dan dilestarikan.
3. Mengingat asal
usul dan keberadaan Sub
Suku Dayak Kebahan Penyelopat sebagai penengah kedua suku yang bertikai pada jaman
pemerintah Belanda, yaitu suku Undau dan suku Iban.
4. Mengingat adat
yang telah ditetapkan oleh pendahulu sejak nenek moyang Sub Suku Dayak Kebahan Penyelopat yang tidak
dapat dihilangkan.
5. Memperhatikan
kepetusan hasil musyawarah adat 1 tahun 1999.
6. Memperhatikan
keputusan adat hasil musyawarah adat II Sub Suku Dayak Kebahan Penyelopat.
Hukum
adat pernikahan Sub Suku Dayak Kebahan Penyelopat yang diatur dalam Surat
Keputusan No. 001/SK-MUSDAT/SSDKP/2010 tentang Ketetapan Adat Hasil Musyawarah
Adat II Sub Suku Dayak Kebahan Penyelopat pasal 4 dan 5 yang mengatur tentang
adat nikah kawin.
Adapun
yang dibahas sebelumnya adat pernikahan Sub Suku Dayak Kebahan Penyelopat
berikut penjelasannya secara jelas :
1. Adat Batang
Tubuh
a. 10 gram Mas
b. 3 lembar kain
pesalin
c. 1 lembar kain
tungkau uban
d. Seperangkat
alat tidur
e. Padi pemaik 100
gantang
f. 20 kg daging
babi
2. Adat
ngamik/narik
a. Batu pengamik
yaitu tawak/gong keliling tujuh 1 buah, gong keliling enam 1 buah, gong/tawak
keliling lima 1 buah.
b. Paten daun
yaitu tempayan belanga/tajau 1 buah, tempayan monu 2 buah, talam pawa 4 buah.
3. Adat Omai
a. 2 real pomas
b. Tangga naik 7
gigi
c. Bangku naik
tempayan Monu
d. Bilit naik 1
batang tombak sangkoh
e. Babi sengkolan
1 ekor
f. Tungkau naik 1
lembar kain
g. Jujut naik 1
lembar kain
h. Sabo beras naik
18 gantang
i.
Sabo duduk 3 gantang beras
j.
3 buah mangkok
k. 3 buah piring
4. Adat
penongah/penoit
a. 2 real pomas
b. 1 ekor babi
c. 1 helai baju
penongah langkau uma
5. Adat popat asam
a. 1 real pomas
b. 1 ekor babi
c. 1 mangkok, 1
piring, 1 sendok, 1 ekor ayam.
Diatas
merupakan adat pernikahan yang sifat secara materi, adat tersebut dapat di
uangkan atau barang yang disebutkan diatas dapat bayar dengan uang dengan
ketentuan yang telah ditentukan oleh ketua adat atau masyarakat setempat.
Adat
pernikahan ini secara turun-temurun dilaksanakan oleh masyarakat Sub Suku Dayak
Kebahan Penyelopat dalam upacara adat pernikahan dan ngatur adat kedua belah
mempelai yang melaksanakan pernikahan. Adat ini berlaku bagi siapa pun yang
melangsungkan pernikahan adat maupun secara hukum formal yang batas wilayah dan
garis keturunan Sub Suku Dayak Kebahan Penyelopat.
Apabila
dari pihak lelaki tidak dapat membayar secara tunai adat pernikahan yang telah
ditentukan diatas, pihak mempelai bisa menangguhkan ;pembayaran secara tunai
dalam jangka waktu tertentu. Kemudian apabila telah sekian lama adat pernikahan
tersebut belum dibayar, keluarga dari pihak mempelai perempuan beserta ketua
adat berhak menaggih adat tersebut kepada pihak mempelai laki-laki. Adat
pernikahan tersebut diusahakan dibayar sebelum anak lahir karena akan
menyebabkan Tulah (berdosa).
Kemudian
setelah pernikahan adat dalam waktu tertentu belum juga dibayar namun kedua
mempelai tersebut menyepakati untuk bercerai. Maka akan diadakan adat cerai
serta dilihat pihak laki-laki atau perempuan yang menggugat cerai tersebut.
Apabila dari pihak laki-laki yang menggugat cerai, pihak laki-laki membayar 2
kali lipat adat pernikahan dan 80 real pomas (sekitar 8 juta) serta
ditambah uang adat yang belum dibayar dan bentuk pembayaran tersebut harus
kontan atau cash.
Jika
perceraian digugat oleh pihak perempuan maka pihak perempuan wajib membayar 80
real pomas (sekitar 8 juta) dan ditambah adat bolai ongai.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpilan
Hukum Adat merupakan hukum asli bangsa Indonesia yang telah ada sejak beratus-ratus
tahun yang lalu dan tetap terpelihara sampai sekarang. Hal ini dikarenakan
Hukum Adat telah berurat akar dalam kehidupan masyarakat dan menjadi pedoman
dalam pergaulan hidup masyarakat.
Di Indonesia
masalah perkawinan terutama menyangkut penyelenggaraan dari upacara perkawinan
yang pada umumnya didasarkan pada Hukum Adat. Di samping itu perkawinan
didasarkan pula pada hukum agama dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan
terbentuknya Undang-undang Perkawinan UU No. 1 Th. 1974, setiap perkawinan yang
dilangsungkan harus tunduk pada peraturan-peraturan yang diatur dalam
Undang-undang Perkawinan dan Peraturan Pelaksanaannya.
Dengan berlakunya UU No. 1 Th. 1974 yang
mengikat seluruh warga negara untuk melaksanakannya, maka sekarang ini
perkawinan tidak saja harus sah menurut Hukum Adat tetapi juga harus sah
menurut UU No. 1 Th. 1974, dimana di dalam Pasal 2 UU No. 1 Th. 1974 ditentukan
bahwa “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu”. Dari ketentuan ini dapat dilihat bahwa pada
dasarnya UU No. 1 Th. 1974 tidak membatasi bagaimana suatu perkawinan harus
dilaksanakan, tetapi hanya mengatakan bahwa perkawinan itu harus sah menurut
agama dan kepercayaan yang dianut oleh pihak yang melaksanakan perkawinan.
Dengan adanya ketentuan ini berarti pelaksanaan perkawinan menurut Hukum Adat
tetap diperbolehkan sepanjang tidak bertentangan dengan UU No. 1 Th. 1974. Hal
ini juga berlaku bagi perkawinan Adat suku Dayak Kebahant Penyelopat di Desa
Engkurai Kecamatan Pinoh Utara Kabupaten Melawi, Kalimatan Barat.
Berdasarkan
Surat Keputusan No. 001/SK-MUSDAT/SSDKP/2010 tentang Ketetapan Adat Hasil
Musyawarah Adat II Sub Suku Dayak Kebahan Penyelopat.
Musyawarah
Adat II Sub Suku Dayak Kebahan Penyelopat menimbang, mengingat dan memperhatikan
bahwa :
7. Menimbang
Keberadaan Hukum Adat pada situasi dan kondisi saat ini sangat membantu Hukum
positif yang berlaku.
8. Menimbang Hukum
adat sub suku dayak kebahant penyelopat perlu dikembangkan dan dilestarikan.
9. Mengingat asal
usul dan keberadaan Sub
Suku Dayak Kebahan Penyelopat sebagai penengah kedua suku yang bertikai pada jaman
pemerintah Belanda, yaitu suku Undau dan suku Iban.
10. Mengingat adat
yang telah ditetapkan oleh pendahulu sejak nenek moyang Sub Suku Dayak Kebahan Penyelopat yang tidak
dapat dihilangkan.
11. Memperhatikan
kepetusan hasil musyawarah adat 1 tahun 1999.
12. Memperhatikan
keputusan adat hasil musyawarah adat II Sub Suku Dayak Kebahan Penyelopat.
Hukum
adat pernikahan Sub Suku Dayak Kebahan Penyelopat yang diatur dalam Surat
Keputusan No. 001/SK-MUSDAT/SSDKP/2010 tentang Ketetapan Adat Hasil Musyawarah
Adat II Sub Suku Dayak Kebahan Penyelopat pasal 4 dan 5 yang mengatur tentang
adat nikah kawin.
B. Saran
Dalam
kesempatan ini, penulis sangat mengharapkan saran, kritik atas kekurangan
maupun kesalahan baik dari segi bahasa maupun pembahasannya. Maka dari itu
penulis mengharapkan sekali kritik dan saran dari teman-teman maupun dan para
pembaca agar dalam penukisan makalah selanjutnya dapat lebih baik.
Penulis
mengucapkan terima kasih kepada Ibu Armayatinida, SH. MH selaku dosen pengampu
Mata Kuliah Hukum Adat serta teman-teman dan semua pihak yang telah membantu
penulisan makalah ini atas saran dan kritiknya.
DAFTAR ISI
Bahrun.
(2010). Adat Sub Suku Dayak Kebahant Penyelopat. Dewan Adat Dayak (DAD) Desa
Engkurai, Dewan Sub Suku Dayak Kebahant Penyelopat serta masyarakat adat di
Desa Engkurai tahun 2010
Djamali
Abdoel R, SH, Pengantar hukum Indonesia, Raja Grafindo Persada PT, Jakarta
1993.
Hilman
H, 1992, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju,Bandung.
Mahadi,
1991, Uraian Singkat Tentang Hukum Adat, Alumni, Bandung.
Soekamto
Soerjono, Prof, SH, MA, Purbocaroko Purnadi, Perihal Kaedah Hukum, Citra Aditya
Bakti PT, Bandung 1993
Ter
Haar. Hukum Adat Hindia Belanda didalam Ilmu, praktek dan
pengajaran Hukum Adat itu dengan mengabaikan bagian-bagiannya yang tertulis dan
keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keputusan-keputusan fungsionaris
hukum yang mempunyai wibawa serta pengaruh dan dalam pelaksanaannya berlaku
serta merta dan dipatuhi sepenuh hati. Dalam orasi. 1937.
Teer Haar, B.,
Bzn., Prof., Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat (terjemahan K. Ng. Soebakti
Poesponoto), Pradnya Paramita, Jakarta, 1981.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar