Selasa, 14 Mei 2013

Hukum Pernikahan Indonesia da Hukum Pernikahan Dayak Kebahan


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Berbicara masalah adat merupakan hal yang sangat menarik karena di dalamnya terdapat aturan-aturan yang merupakan cerminan kepribadian asli bangsa Indonesia. Sekalipun aturan-aturannya bersifat tidak tertulis tidak berarti mengurangi kepatuhan warga masyarakat untuk melaksanakan aturan-aturan hukum yang terdapat di dalamnya.
Hukum Adat merupakan hukum asli bangsa Indonesia yang telah ada sejak beratus-ratus tahun yang lalu dan tetap terpelihara sampai sekarang. Hal ini dikarenakan Hukum Adat telah berurat akar dalam kehidupan masyarakat dan menjadi pedoman dalam pergaulan hidup masyarakat.
Secara kodrati manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa manusia lain. Oleh karena itulah manusia selalu hidup bersama dengan manusia lainnya. Hidup bersama tersebut dalam kenyataannya dimulai dari kelompok yang terkecil yang disebut dengan keluarga. Keluarga terbentuk dari hidup bersamanya laki-laki dan perempuan dalam suatu ikatan yang disebut dengan perkawinan. Hidup bersama yang terikat dalam perkawinan mempunyai akibat-akibat yang sangat penting dalam suatu masyarakat yang mempunyai peradaban.
Sehubungan dengan adanya akibat-akibat perkawinan yang sangat penting itu, maka masyarakat membutuhkan suatu norma atau kaidah yang mengatur tentang syarat-syarat untuk peresmiannya, pelaksanaan, kelanjutan serta berakhirnya perkawinan tersebut.
Di Indonesia masalah perkawinan terutama menyangkut penyelenggaraan dari upacara perkawinan yang pada umumnya didasarkan pada Hukum Adat. Di samping itu perkawinan didasarkan pula pada hukum agama dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan terbentuknya Undang-undang Perkawinan UU No. 1 Th. 1974, setiap perkawinan yang dilangsungkan harus tunduk pada peraturan-peraturan yang diatur dalam Undang-undang Perkawinan dan Peraturan Pelaksanaannya.
Dengan lahirnya Undang-undang Perkawinan ini, maka di Indonesia telah ada satu unifikasi hukum yang mengatur mengenai perkawinan, yakni berlakunya satu Undang-undang bagi seluruh warga negara Indonesia dalam hal mereka melangsungkan perkawinan. Maksud tersebut terlihat dalam konsideran Undang-undang Perkawinan yang antara lain berbunyi “Bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk membina hukum Nasional, perlu adanya Undang-undang tentang Perkawinan yang berlaku bagi setiap warga negara”, sehingga secara yuridis tidak ada lagi hukum perkawinan selain yang tertuang dalam UU No. 1 Th. 1974. Akan tetapi dalam kenyataannya masyarakat masih memegang teguh dan mentaati ketentuan Hukum Adat terutama dalam hal perkawinan adat.
Dengan berlakunya UU No. 1 Th. 1974 yang mengikat seluruh warga negara untuk melaksanakannya, maka sekarang ini perkawinan tidak saja harus sah menurut Hukum Adat tetapi juga harus sah menurut UU No. 1 Th. 1974, dimana di dalam Pasal 2 UU No. 1 Th. 1974 ditentukan bahwa “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Dari ketentuan ini dapat dilihat bahwa pada dasarnya UU No. 1 Th. 1974 tidak membatasi bagaimana suatu perkawinan harus dilaksanakan, tetapi hanya mengatakan bahwa perkawinan itu harus sah menurut agama dan kepercayaan yang dianut oleh pihak yang melaksanakan perkawinan. Dengan adanya ketentuan ini berarti pelaksanaan perkawinan menurut Hukum Adat tetap diperbolehkan sepanjang tidak bertentangan dengan UU No. 1 Th. 1974. Hal ini juga berlaku bagi perkawinan Adat suku Dayak Kebahant Penyelopat di Desa Engkurai Kecamatan Pinoh Utara Kabupaten Melawi, Kalimatan Barat.
Perkawinan merupakan salah satu jalan atau suratan hidup yang dialami oleh hampir semua manusia dimuka bumi ini walaupun ada beberapa diantaranya yang tidak terikat dengan perkawinan sampai ajal menjemput. Semua agama resmi di Indonesia memangdang perkawinan sebagai sesuatu yang sakral, harus dihormati, dan harus dijaga kelanggengannya. Oleh karena itu, setiap orang tua merasa tugasnya sebagai orang tua telah selesai bila anaknya telah memasuki jenjang perkawinan.
Hukum perkawinan yang berlaku saat ini adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Hukum perkawinan ini menggantikan hukum perkawinan yang terdapat didalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Burgelijk Wetboek (Statsblad 1917 Nomor 129). Menurut UU Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan untuk membentuk keluarga atau rumah rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dan menurut undang-undang perkawinan juga dikatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum dan kepercayaannya masing-masing.
Pengertian hukum adat secara umum pada dasarnya dapat ditelaah dari pencerminan daripada kepribadian sesuatu bangsa, merupakan salah satu penjelmaan daripada jiwa bangsa yang bersangkutan dari abad ke abad. Sehingga dapat dikatakan bahwa adat merupakan pola tingkah laku kebiasaan suatu suku bangsa.
Sedangkan menurut Prof. Kusumadi Pudjosewojo yang sependapat dengan Ter Haar bahwa hukum adat adalah adat yang telah mendapatkan sifat (maupun bentuk) hukum melalui penetapan (existential moment) yang dikeluarkan oleh para petugas hukum baik di dalam maupun di luar sengketa, meskipun tidak sepenuhnya sama, karena menurut Kusumadi meskipun tidak mendapatkan sifat (dan bentuk hukum) hukum melalui penetapan yang dikeluarkan oleh para fungsionaris hukum, hukum adat tetaplah ada dan hidup di masyarakat.
Hukum adat pada dasarnya ialah keseluruhan peraturan hukum yang berisi ketentuan adat-istiadat seluruh bangsa Indonesia yang sebagian besarnya merupakan hukum yang tidak tertulis, dalam keadaannya yang ber-bhineka mengingat bangsa Indonesia terdiri dari ratusan suku bangsa yang masing-masing suku bangsa tersebut memiliki adat-istiadat berdasarkan pandangan hidup masing-masing.
Oleh karena itu, berdasarkan uraian latar belakang diatas, untuk membantu para Mahasiswa dalam belajar, Penulis tertarik untuk menulis sebuah makalah yang penulis beri judul “Hubungan Hukum Adat Dayak Kebahant Penyelopat dengan UU Pernikahan”. Dibawah ini akan penulis sampaikan pembahasannya.
B.     Rumusan Masalah
Adapun Rumusan masalahnya adalah sebagai berikut :
1.      Apa yang dimaksud dengan Hukum Adat ?
2.      Apa yang dimaksud dengan Pernikahan adat ?
3.      Apakah Bentuk-bentuk Perkawinan Adat ?
4.      Bagaimanakah Pernikahan menurut UU formal di Indonesia ?
5.      Bagaimanakah hukum adat pernikahan Dayak Kebahant Penyelopat?
C.    Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Agar kita mengetahui dimaksud dengan Hukum Adat.
2.      Agar kita mengetahui dimaksud dengan pernikahan adat.
3.      Agar kita mengetahui bentuk-bentuk perkawinan Adat
4.      Agar kita mengetahui hukum atau UU Pernikahan Indonesia.
5.      Agar kita mengetahui hukum adat pernikahan Dayak Kebahant Penyelopat.














BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Hukum Adat
Berbicara masalah adat merupakan hal yang sangat menarik karena di dalamnya terdapat aturan-aturan yang merupakan cerminan kepribadian asli bangsa Indonesia. Sekalipun aturan-aturannya bersifat tidak tertulis tidak berarti mengurangi kepatuhan warga masyarakat untuk melaksanakan aturan-aturan hukum yang terdapat di dalamnya.
Hukum Adat merupakan hukum asli bangsa Indonesia yang telah ada sejak beratus-ratus tahun yang lalu dan tetap terpelihara sampai sekarang. Hal ini dikarenakan Hukum Adat telah berurat akar dalam kehidupan masyarakat dan menjadi pedoman dalam pergaulan hidup masyarakat.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adat adalah aturan (perbuatan dsb) yg lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala; cara (kelakuan dsb) yg sudah menjadi kebiasaan; wujud gagasan kebudayaan yg terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturan yg satu dng lainnya berkaitan menjadi suatu sistem. Karena istilah Adat yang telah diserap kedalam Bahasa Indonesia menjadi kebiasaan maka istilah hukum adat dapat disamakan dengan hukum kebiasaan.
Sedangkan menurut Soejono Soekanto, hukum adat hakikatnya merupakan hukum kebiasaan, namun kebiasaan yang mempunyai akhibat hukum (das sein das sollen). Berbeda dengan kebiasaan (dalam arti biasa), kebiasaan yang merupakan penerapan dari hukum adat adalah perbuatan-perbuatan yang dilakukan berulang-ulang dalam bentuk yang sama menuju kepada Rechtsvaardige Ordening Der Semenleving.
Menurut Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven, hukum adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku positif yang disatu pihak mempunyai sanksi (hukum) dan dipihak lain dalam keadaan tidak dikodifikasi (adat). Tingkah laku positif memiliki makna hukum yang dinyatakan berlaku disini dan sekarang. Sedangkan sanksi yang dimaksud adalah reaksi (konsekuensi) dari pihak lain atas suatu pelanggaran terhadap norma (hukum). Sedang kodifikasi dapat berarti sebagai berikut:
1.   Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kodifikasi berarti himpunan berbagai peraturan menjadi undang-undang; atau hal penyusunan kitab perundang-undangan; atau penggolongan hukum dan undang-undang berdasarkan asas-asas tertentu dl buku undang-undang yg baku.
2.   Menurut Prof. Djojodigoeno kodifikasi adalah pembukuan secara sistematis suatu daerah / lapangan bidang hukum tertentu sebagai kesatuan secara bulat (semua bagian diatur), lengkap (diatur segala unsurnya) dan tuntas (diatur semua soal yang mungkin terjadi).
Menurut Ter Haar membuat dua perumusan yang menunjukkan perubahan pendapatnya tentang apa yang dinamakan hukum adat. Hukum adat lahir dan dipelihara oleh keputusan-keputusan warga masyarakat hukum adat, terutama keputusan yang berwibawa dari kepala-kepala rakyat (kepala adat) yang membantu pelaksanaan-pelaksanaan perbuatan-perbuatan hukum, atau dalam hal pertentangan kepentingan keputusan para hakim yang bertugas mengadili sengketa, sepanjang keputusan-keputusan tersebut karena kesewenangan atau kurang pengertian tidak bertentangan dengan keyakinan hukum rakyat, melainkan senafas dan seirama dengan kesadaran tersebut, diterima, diakui atau setidaknya tidak-tidaknya ditoleransi.
Pelopor penggunaan istilah Hukum Adat pada awal mulanya ialah Snouk Hurgronje yang mencetuskan istilah adatrecht dalam karyanya De Atjehers, yang isinya membahas perihal adat istiadar suku bangsa Aceh. Selanjutnya, penggunaan istilah Hukum Adat ini ditokohi pula oleh Van Vollenhoven.
Hukum adat pada dasarnya ialah keseluruhan peraturan hukum yang berisi ketentuan adat-istiadat seluruh bangsa Indonesia yang sebagian besarnya merupakan hukum yang tidak tertulis, dalam keadaannya yang ber-bhineka mengingat bangsa Indonesia terdiri dari ratusan suku bangsa yang masing-masing suku bangsa tersebut memiliki adat-istiadat berdasarkan pandangan hidup masing-masing.
Keberadaan Bangsa Indonesia saat ini, tentu tidak dapat dipisahkan dari keberadaan Bangsa Indonesia pada masa lampau. Kebesaran bangsa Indonesia saat ini sebenarnya telah dapat terlihat sejak masa lampau. Dimulai dari masuknya agama Hindhu ke Bumi Nusantara, menjadikan agama Hindhu adalah agama yang pertama kali dianut oleh bumiputra. Hingga saat ini, kebudayaan Hindhu sedikit banyak masih mempengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia, sekalipun dia bukan beragama Hindhu. Misalnya, dalam agama Hindhu, cara beribadahnya pada umumnya dengan membakar dupa yang konon baunya dupa tersebut dapat mengantarkan doa yang di panjatkan kepada Shang Yang Jagad Dewa Batara. Saat ini kita melihat bagaimana seorang muslim, di daerah Jawa khususnya, dalam berdoa terkadang juga dengan membakar dupa atau menyan. Sehingga dikenal dengan istilah Islam Kejawen. Masa-masa kerajaan yang pernah berkuasa di Bumi Nusantara yaitu Zaman Hindu, Zaman Sriwijaya, Zaman  Mataram  I, Zaman  Majapahit, Zaman  Islam, Zaman Demak, Zaman Mataram II, Zaman Cirebon & Banten, Zaman Kolonial Belanda, Zaman Kemerdekaan.
Prof. Mr. Cornelis Van Vollenhoven membagi Indonesia menjadi 19 lingkungan hukum adat (rechtsringen). Satu daerah yang garis-garis besar, corak dan sifat hukum adatnya seragam disebutnya sebagai rechtskring. Setiap lingkungan hukum adat tersebut dibagi lagi dalam beberapa bagian yang disebut Kukuban Hukum (Rechtsgouw). Lingkungan hukum adat tersebut adalah sebagai berikut :
1.      Aceh (Aceh Besar, Pantai Barat, Singkel, Semeuleu)
2.      Tanah Gayo, Alas dan Batak
a.       Tanah Gayo (Gayo lueus)
b.      Tanah Alas
c.       Tanah Batak (Tapanuli)
1)      Tapanuli Utara; Batak Pakpak (Barus), Batak karo, Batak Simelungun, Batak Toba (Samosir, Balige, Laguboti, Lumbun Julu)
2)      Tapanuli Selatan; Padang Lawas (Tano Sepanjang), Angkola, Mandailing (Sayurmatinggi)
3)      Nias (Nias Selatan)
3.      Tanah Minangkabau (Padang, Agam, Tanah Datar, Limapuluh Kota, tanah Kampar, Kerinci)
4.      Mentawai (Orang Pagai)
5.      Sumatera Selatan
a.       Bengkulu (Renjang)
b.      Lampung (Abung, Paminggir, Pubian, Rebang, Gedingtataan, Tulang Bawang)
c.       Palembang (Anak lakitan, Jelma Daya, Kubu, Pasemah, Semendo)
d.      Jambi (Orang Rimba, Batin, dan Penghulu)
e.       Enggano
6.      Tanah Melayu (Lingga-Riau, Indragiri, Sumatera Timur, Orang Banjar)
7.      Bangka dan Belitung
8.      Kalimantan (Dayak Kalimantan Barat, Kapuas, Hulu, Pasir, Dayak, Kenya, Dayak Klemanten, Dayak Landak, Dayak Tayan, Dayak Lawangan, Lepo Alim, Lepo Timei, Long Glatt, Dayat Maanyan, Dayak Maanyan Siung, Dayak Ngaju, Dayak Ot Danum, Dayak Penyambung Punan, Dayak Kebahant, dll)
9.      Gorontalo (Bolaang Mongondow, Boalemo)
10.  Tanah Toraja (Sulawesi Tengah, Toraja, Toraja Baree, Toraja Barat, Sigi, Kaili, Tawali, Toraja Sadan, To Mori, To Lainang, Kep. Banggai)
11.  Sulawesi Selatan (Orang Bugis, Bone, Goa, Laikang, Ponre, Mandar, Makasar, Selayar, Muna).
12.  Kepulauan Ternate (Ternate, Tidore, Halmahera, Tobelo, Kep. Sula)
13.  Maluku Ambon (Ambon, Hitu, Banda, Kep. Uliasar, Saparua, Buru, Seram, Kep. Kei, Kep. Aru, Kisar)
14.  Irian
15.  Kep. Timor (Kepulauan Timor, Timor, Timor Tengah, Mollo, Sumba, Sumba Tengah, Sumba Timur, Kodi, Flores, Ngada, Roti, Sayu Bima)
16.  Bali dan Lombok (Bali Tanganan-Pagrisingan, Kastala, Karrang Asem, Buleleng, Jembrana, Lombok, Sumbawa).
17.  Jawa Pusat, Jawa Timur serta Madura (Jawa Pusat, Kedu, Purworejo, Tulungagung, Jawa Timur, Surabaya, Madura).
18.  Daerah Kerajaan suku jawa (Surakarta, Yogyakarta).
19.  Jawa Barat (Priangan, Sunda, Jakarta, Banten).
B.     Pernikahan Adat
Berkenan dengan adanya hubungan yang tepat dari topik ini, maka menurut Hukum Adat pada umumnya di Indonesia perkawinan itu bukan saja berarti sebagai perikatan Perdata tetapi juga merupakan “Perikatan Adat” dan sekaligus merupakan perikatan kekerabatan dan kekeluargaan. Jadi terjadinya suatu ikatan perkawinan bukan semata-mata membawa akibat terhadap hubungan-hubungan keperdataan, seperti hak dan kewajiban suami isteri, harta bersama kedudukan anak, hak dan kewajiban orang tua, tetapi juga menyangkut hubungan-hubungan adat istiadat, kewarisan kekeluargaan, dan kekerabatan dan ketetanggaan serta menyangkut upacara-upacara adat dan keagamaan.
Oleh karenanyaImam Sudiyat dalam bukunya Hukum Adat mengatakan : Menurut Hukum Adat perkawinan biasa merupakan urusan kerabat, keluarga, persekutuan, martabak, bisa merupakan urusan pribadi bergantung pada susunan masyarakat” (Imam Sudiyati : 1991:17)
Demikian pula diketengahkan oleh Teer Haar menyatakan bahwa : Perkawinan adalah urusan kerabat, urusan keluarga, urusan masyarakat, urusan martabak dan urusan pribadi (Hilman Hadikusuma : 2003 : 8).
Dan begitu pula menyangkut urusan keagamaan sebagaimana dikemukakan oleh: Van Vollenhoven bahwa : Dalam hukum adat banyak lembaga-lembaga hukum dan kaidah-kaidah hukum yang berhubungan dengan tatanan dunia diluar dan diatas kemampuan manusia” (Hilman hadikusuma, 2003: 9 ).
Perkawinan dalam arti “Perikatan Adat” ialah perkawinan yang mempunyai akibat hukum terhadap hukum adat yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Akibat hukum ini telah ada sejak sebelum perkawinan terjadi, yaitu misalnya dengan adanya hubungan pelamaran yang merupakan “ Rasa senak “ (hubungan anak-anak, bujang gadis) dan “rasa Tuha” (hubungan orang tua keluarga dari pada calon suami istri). Setelah terjadinya ikatan perkawinan maka timbul hak-hak dan kewajiban orang tua termaksud anggota keluarga , kerabat menurut hukum adat setempat yaitu dengan pelaksanaan upacara adat dan selanjutnya dalam peran serta membina dan memelihara kerukunan, keutuhan dan kelenggengan dari kehidupan anak-anak mereka yang terlibat dalam perkawinan.
Sejauh mana ikatan perkawinan itu membawa akibat hukum “Perikatan Adat‘ seperti tentang kedudukan suami atau kedudukan istri, begitu pula tentang kedudukan anak dan pengangkatan anak, kedudukan anak tertua anak anak penerus keturunan, anak adat, anak asuh dan lain-lain ; dan harta perkawinan tergantung pada bentuk dan sistim perkawinan adat setempat.
Menurut Hukum Adat di Indonesia perkawinan itu dapat berbentuk dan bersistim perkawinan jujur dimana pelamaran dilakukan pihak pria kepada pihak wanita dan setelah perkawinan, isteri mengikuti tempat kedudukan dan kediaman suami hal ini biasa dijumpai di (Bantul, Lampung, Bali) kemudian “ Perkawinan Semanda “ dimana pelamar dilakukan oleh pihak wanita kepada pihak pria dan setelah perkawinan suami mengikuti tempat kedudukan dan kediaman istri hal ini bisa dijumpai didaerah (Minangkabau, Semendo Sumatera Selatan) dan perkawinan bebas yaitu di (Jawa, Mencur, Mentas) dimana pelamaran dilakukan oleh pihak pria dan setelah perkawinan kedua suami istri bebas menentukan tempat kedudukan dan kediaman mereka, menurut kehendak mereka, yang terakhir ini banyak berlaku dikalangan masyarakat keluarga yang telah maju (Modern).
Secara kodrati manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa manusia lain. Oleh karena itulah manusia selalu hidup bersama dengan manusia lainnya. Hidup bersama tersebut dalam kenyataannya dimulai dari kelompok yang terkecil yang disebut dengan keluarga. Keluarga terbentuk dari hidup bersamanya laki-laki dan perempuan dalam suatu ikatan yang disebut dengan perkawinan. Hidup bersama yang terikat dalam perkawinan mempunyai akibat-akibat yang sangat penting dalam suatu masyarakat yang mempunyai peradaban.
Sehubungan dengan adanya akibat-akibat perkawinan yang sangat penting itu, maka masyarakat membutuhkan suatu norma atau kaidah yang mengatur tentang syarat-syarat untuk peresmiannya, pelaksanaan, kelanjutan serta berakhirnya perkawinan tersebut.
Di Indonesia masalah perkawinan terutama menyangkut penyelenggaraan dari upacara perkawinan yang pada umumnya didasarkan pada Hukum Adat. Di samping itu perkawinan didasarkan pula pada hukum agama dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan terbentuknya Undang-undang Perkawinan UU No. 1 Th. 1974, setiap perkawinan yang dilangsungkan harus tunduk pada peraturan-peraturan yang diatur dalam Undang-undang Perkawinan dan Peraturan Pelaksanaannya.
Dengan lahirnya Undang-undang Perkawinan ini, maka di Indonesia telah ada satu unifikasi hukum yang mengatur mengenai perkawinan, yakni berlakunya satu Undang-undang bagi seluruh warga negara Indonesia dalam hal mereka melangsungkan perkawinan. Maksud tersebut terlihat dalam konsideran Undang-undang Perkawinan yang antara lain berbunyi “Bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk membina hukum Nasional, perlu adanya Undang-undang tentang Perkawinan yang berlaku bagi setiap warga negara”, sehingga secara yuridis tidak ada lagi hukum perkawinan selain yang tertuang dalam UU No. 1 Th. 1974. Akan tetapi dalam kenyataannya masyarakat masih memegang teguh dan mentaati ketentuan Hukum Adat terutama dalam hal perkawinan adat.
Dengan berlakunya UU No. 1 Th. 1974 yang mengikat seluruh warga negara untuk melaksanakannya, maka sekarang ini perkawinan tidak saja harus sah menurut Hukum Adat tetapi juga harus sah menurut UU No. 1 Th. 1974, dimana di dalam Pasal 2 UU No. 1 Th. 1974 ditentukan bahwa “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Dari ketentuan ini dapat dilihat bahwa pada dasarnya UU No. 1 Th. 1974 tidak membatasi bagaimana suatu perkawinan harus dilaksanakan, tetapi hanya mengatakan bahwa perkawinan itu harus sah menurut agama dan kepercayaan yang dianut oleh pihak yang melaksanakan perkawinan. Dengan adanya ketentuan ini berarti pelaksanaan perkawinan menurut Hukum Adat tetap diperbolehkan sepanjang tidak bertentangan dengan UU No. 1 Th. 1974. Hal ini juga berlaku bagi perkawinan Adat suku Dayak Kebahant Penyelopat di Desa Engkurai Kecamatan Pinoh Utara Kabupaten Melawi, Kalimatan Barat.
Dari berbagai penjelasan diatas telah ditarik suatu kesimpulan bahwa, bagaimanapun tata tertib adat yang harus dilakukan oleh mereka yang akan melangsungkan perkawinan menurut bentuk dan sistim yang berlaku dalam masyarakat, Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tidak mengaturnya, hal mana berarti terserah kepada selera dan nilai-nilai budaya dari masyarakat yang bersangkutan, asal saja segala sesuatunya tidak berkepentingan dengan kepentingan umum, Pancasila dan Undang-Undang Dasar tahun 1945. dengan demikian perkawinan dalam arti “ Perikatan Adat “ walaupun dilangsungkan antara adat yang berbeda, tidak akan seberat penyelesaiannya dari pada berlangsungnya perkawinan yang bersifat antar agama, oleh karena perbedaan adat yang hanya menyangkut perbedaan masyarakat bukan perbedaan keyakinan.
1.      Sistem Perkawinan Adat
Sistem perkawinan menurut hukum adat ada 3 macam :
a.       Sistim Endogami Yaitu suatu sistim perkawinan yang hanya memperbolehkan seseorang melakukan perkawinan dengan seorang dari suku keluarganya sendiri.
b.      Sistim Eksogami Yaitu suatu sistim perkawinan yang mengharuskan seseorang melakukan perkawina dengan seorang dari luar suku keluarganya.
c.       Sistim Eleutherpgami Yatu sistim perkawinan yang tidak mengenal larangan atau keharusan seperti halnya dalam sistim endogami ataupun exogami.
Laragan yang terdapat dalam sistim ini adalah larangan yang bertalian dengan ikatan kekeluargaan, yaitu larangan karena :
a.       Nasab ( =turunan dekat ), seperti kawin dengan ibu, nenek, anak kandung, cucu (keturunan garis lurus keatas dan kebawah) juga dengan saudara kandung, saudara bapak atau ibu.
b.      Musyaharah (=per iparan) seperti kawin dengan ibu tiri, menantu, mertua anak tiri.
2.      Asas- asas Perkawinan Adat
Asas-asas perkawinan menurut hukum adat sebagai berikut :
a.       perkawinan bertujuan membentuk keluarga rumah tangga dan hubungan kekerabatan yang rukun dan damai, bahagia dan kekal.
b.      Perkawinan tidak saja harus sah dilaksanakan menurut hukum agama atau kepercayaan, tetapi juga harus mendapat pengakuan dari para anggota kerabat.
c.       Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan anggota keluarga dan anggota kerabat.Masyarakat adat dapat menolak kedudukan suami atau istri yang tidak diakui masyarakat adat.
d.      Perkawinan dapat dilaksanakan oleh seseorang pria dengan beberapa wanita, sebagai istri kedudukannya masing masing ditentukan menurut hukum adat setempat.
e.       Perkawinan dapat dilakukan oleh pria dan wanita yang belum cukup umur atau masih anak anak. Begitu pula walauoun sudah cukup umur perkawinan harus berdasarkan ijin orang tua/ keluarga dan kerabat.
f.       Perceraian ada yang boleh dilakukan dan ada yang tidak boleh. Perceraian antara suami istri dapat berakibat pecahnya kekerabatan antara kedua belah pihak.
g.      Keseimbangan kedudukan antara suami dan istri berdasarkan ketentuan hukum adat yang berlaku, ada istri yang berkedudkan sebagai ibu rumah tangga dan ada istri yang bukan ibu rumah tangga.

C.    Bentuk-Bentuk Perkawinan Adat
Menurut cara terjadinya atau persiapan perkawinan bentuk- bentuk perkawinan adat dibedakan menjadi 4 macam, yaitu :
1.      Perkawinan Pinang Yaitu bentuk perkawinan dimana persiapan pelaksanaan perkawinan dilaksanakan dengan cara meminang atau melamar. Pinangan pada umumnya dari pihak pria kepada wanita untuk menjalin perkawinan.
2.      Perkawinan Lari Bersama Yaitu perkawinan dimana calon suami dan istri berdasarkan atas persetujuan kedua belah pihak untuk enghindarkan diri berbagai keharusan sebagai akibat perkawinan mereka berdua lari kesuatu tempat untuk melangsungkan perkawinan.
3.      Kawin Bawa Lari Yaitu bentuk perkawinan dimana seorang laki- laki melarikan seorang wanita secara paksa.
Berdasarkan atas tata susunan kekerabatan perkawinan dibedakan menjadi 3 bentuk, yaitu:
a.       Bentuk perkawinan pada masyarakat Patrilineal dibedakan menjadi :
1.      Perkawinan Jujur, Suatu bentuk perkawinan yang dilakukan dengan memberikan jujur. Oleh pihak laki- laki kepada pihak perempuan, sebagai lambang diputuskannya kekeluargaan sang istri dengan orang tua, kerabat, dan persekutuannya.
2.      Perkawinan Mengabdi Yaitu perkawinan yang disebabkan karena pihak pria tidak dapat memenuhi syarat- syarat dari pihak wanita. Perkawinan dilaksanakan dengan pembayaran perkawinan dihutang atau ditunda. Dengan perkawinan mengabdi maka pihak pria tidak usah melunasi uang jujur. Pria mengabdi pada kerabat mertuanya sampai utangnya lunas.
3.      Perkawinan Mengganti/ Levirat Yaitu perkawinan antara seorang janda engan saudara laki-laki almarhum suaminya. Bentuk perkawinan ini adalah sebagai akibat adanya anggapan bahwa seorang istri telah dibeli oleh pihak suami dengan telah membayar uang jujur. Perkawinan mengganti di Batak disebut “paraekhon”, di Palembang dan Bengkulu disebut dengan “ganti tikar” dan di Jawa dikenal dengan “medun ranjang”.
4.      Perkawinan Meneruskan/ Sorotan Yaitu bentuk perkawinan seorang balu (duda) dengan saudara perempuan almarhum istrinya. Perkawinan ini tanpa pembayaran yang jujur yang baru, karena istri kedua dianggap meneruskan fungsi dari istri pertama. Tujuan perkawinan ini supaya terjalinnya keutuhan keluarga (hubungan kekeluargaan) agar kehidupan anak-anak yang lahir dari perkawinan yang lalu tetap terpelihara juga untuk menjaga keutuhan harga kekayaan (harta perkawinan). Di Jawa disebut dengan perkawinan “Ngarang wulu
5.      Perkawinan Bertukar Bentuk perkawinan dimana memperbolehkan sistem perkawinan timbal balik (symetris connubium). Sehingga pembayaran jujur yang terhutang secara timbal balik seakan-akan dikompensikan, pembayaran jujuar bertimbal balik diperhitungkan satu dengan yang lain, sehingga keduanya menjadi hapus. Dalam masyarakat Patrilineal dikenal perkawinan yang dilakukan “tanpa pembayaran perkawinan (uang jujur)”
6.      Perkawinan Ambil Anak Yaitu perkawinan yang dilakukan tanpa pembayaran jujur, yaitu dengan menganggkat si suami sebagai anak laki-laki mereka, sehingga si istri tetap menjadi anggota clan semula. Si suami telah menjadi anak laki-laki dari ayah si istri, sehingga anak-anak yang lahir kelak akan menarik garis keturunan ayahnya. Alasan dilakukannya perkawinan Ambil Anak karena dalam masyarakat Patrilineal tidak mempunyai anak laki-laki, sehingga hubungan patrilinealnya akan punah.
D.    Pernikahan menurut Hukum formal/UU di Indonesia
Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974, memberikan devinisi perkawinan sebagai berikut:
“Perkawinan adalah Ikatan lahir bathin antara seorang Pria dan seorang wanita sebagai Suami-Isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa “ (2002 : 38).
Apabila devinisi diatas kita telaah, maka terdapatlah Lima unsur didalamnya:
1.      Ikatan lahir bathin.
2.      Antara seorang Pria seorang wanita.
3.      Sebagai suami-istri.
4.      Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal.
5.      Berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa.
Didalam Lima Unsur diatas ini penulis Akan mencoba memberikan penjelasan khusus yaitu unsur pertama dan yang kedua sehingga Akan jelas pemahamannya.
Ad.1.  Ikatan lahir bathin.
Yang dimaksud dengan ikatan lahir bathin adalah, bahwa ikatan itu tidak hanya cukup dengan ikatan lahir saja atau bathin saja, Akan tetapi kedua-duanya harus terpadu erat. Suatu ikatan lahir merupakan ikatan yang dapat dilihat dan mengungkapkan adanya hubungan hukum antara seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami-isteri, dengan kata lain hal itu disebut dengan hubungan formal, hubungan formal ini nyata baik bagi prihal mengikatkan dirinya maupun bagi pihak ketiga, sebaliknya suatu ikatan bathin merupakan hubungan yang tidak formal, suatu ikatan yang tidak nampak, tidak nyata yang hanya dirasakan oleh pihak-pihak yang bersangkutan, ikatan bathin ini merupakan dasar ikatan lahir. Ikatan bathin ini yang dapat dijadikan dasar pundasi dalam membentuk dan membina keluarga yang bahagia.
Dalam membina keluarga yang bahagia sangatlah perlu usaha yang sungguh-sungguh untuk meletakkan perkawinan sebagai ikatan Suami- Istri atau calon Suami- Istri dalam kedudukan mereka yang semestinya dan suci seperti yang disejajarkan oleh Agama yang kita anut masing dalam Negara yang berdasarkan Pancasila. Perkawinan bukan hanya menyangkut unsur lahir akan tetapi juga menyangkut unsur bathiniah.
Ad. 2.  Antara seorang pria dan seorang wanita.
Ikatan perkawinan hanya boleh terjadi antara seorang pria dan seorang wanita dengan demikian, maka kesimpulan yang dapat ditarik pertama-tama bahwa hubungan perkawinan selain antara pria dan wanita tidaklah mungkin terjadi misalnya antara seorang pria dengan seorang pria atau seorang wanita dengan wanita ataupun antara seorang wadam dan wadam lainnya. Disamping itu kesimpulan yang dapat ditarik ialah bahwa dalam unsur kedua ini terkandung Asas monogamy.
Dari penjelasan diatas dapatlah disimpulkan bahwa perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir atau jasmani, Akan tetapi juga mempunyai unsur bathin atau rohani mempunyai peranan yang sangat penting dalam membentuk keluarga yang bahagia dan sejahtera.
Pasal 2:
1.      Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaanya itu.
2.      Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 3 :
1.      Pada dasarnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
2.      Pengadilan dapat memberikan ijin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Pasal 4 :
1.      Dalam hal Seorang suami, akan beristri, lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat 2 undang-undang ini maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di Daerah tempat tinggalnya.
2.      Pengadilan yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini hanya memberikan ijin kepada seorang suami yang akan bertistri lebih dari seorang apabila :
a.       Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang Isteri.
b.      Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c.       Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 menentukan bahwa untuk dapat melangsungkan perkawinan harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 yang berbunyi :
1.      Perkawinan harus didasarkan persetujuan kedua mempelai
2.      Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus lah mendapat ijin kedua orang tuanya.
3.      Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka ijin yang dimaksud ayat 2 pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
4.       Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka ijin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
5.      Dalam hal perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat 2, 3 dan 4 pasal ini atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam Daerah hukumnya tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberri ijin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat 2, 3 dan 4 pasal ini.
6.      Ketentuan tersebut ayat 1 sampai dengan ayat 5 pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu dari yang bersangkutan tidak menentukan yang lainya.
Pasal 7 :
1.      Perkawinan hanya dijinkan jika Pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak Wanita sudah mencapai umur 16 tahun.
2.      Dalam hal penyimpangan terhadap ayat 1 pasal ini dapat memberikan dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat Lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.
3.      Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut dalam pasal 6 ayat 3 dan 4 undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat 2 pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam pasal 6 ayat 6.
Oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan istri dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai pula dengan hak Asasi manusia, maka perkawinan harus disetujui oleh kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut, tanpa adanya paksaan dari pihak manapun. Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 menganut beberapa prinsip dalam perkawinan yaitu:
1.      Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal untuk itu suami-istri perlu saling membantu, melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan material dan spiritual.
2.      Bahwa suatu perkawinan adalah sah bila mana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dan perkawinan itu harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3.      Undang-undang nomor 1 tahun 1974 menganut asas monogami hanya apabila dikehendaki oleh orang yang bersangkutan karena hukum dan agama dan yang bersangkutan yang mengijinkan seorang suami dapat beristri lebih dari seorang meskipun dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan hanya dapat dilakukan apabila memenuhi syarat-syarat tertentu dan diputuskan oleh pengadilan.
4.      Bahwa calon Suami-istri harus betul-betul siap jiwa dan raganya untuk dapat melakukan dan melangsungkan perkawinan agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara tanpa berakhir dengan perceraian dan mendapatkan keturunan yang baik dan sehat.
5.      Karena tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal serta sejahtera, maka undang-undang ini menganut prinsip mempersatukan terjadinya perceraian untuk dapat memungkinkan perceraian harus ada alasan-alasan tertentu dan harus dilakukan didepan Sidang Pengadilan.
6.      Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kewajiban suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan rumah masyarakat sehingga dengan demikian segala sesuatu diputuskan bersama.
E.     Hukum Adat Pernikahan Dayak Kebahant Penyelopat
1.      Sejarah Suku Dayak Kebahant Penyelopat
Suku dayak Kebahant Penyelopat adalah salah satu Suku Dayak yang ada di Kalimantan Barat khususnya bertempat tinggal di kabupaten Melawi khususnya sepanjang sungai Man. Suku dayak Kebahant Penyelopat asal mula nya berasal dari Suku dayak Kebahant yang berada di Kabupaten Melawi dan Kabupaten Sintang yang tersebar dibeberapa daerah, yaitu :
a.       Sungai melawi
b.      Sungai kayan
c.       Sungai belimbing
d.      Sungai menunuk
e.       Sungai pinoh
f.       Sungai iban
g.      Sungai kebebu, dan
h.      Sungai Man.
Asal mula Suku dayak Kebahant bertempat tinggal di sungai kayan tepatnya di daerah ngklangan  dan bongkal serta sungai kebahan. Di daerah tersebut hiduplah seorang tokoh Suku dayak Kebahant yang sangat di segani oleh masyarakat setempat karena kearipannya yaitu Bolit Pati Angga Tumpang yang memiliki beberapa orang putra putri salah satunya yaitu Kanana Intan kemudian kawin dengan seorang pemuda yang berasal dari suku Payak yakni suku yang ada di sepanjang sungai Payak Kayan. Seorang pemuda tersebut bernama Mota bakong yang yang gagah perkasa dari perkawinan tersebut lahirlah beberapa orang putra/putri dan menjadi sebuah suku dan sub-sub suku sampai sekarang.
Suku dayak Kebahant terdiri dari beberapa sub-sub kebahant seperti Kebahant Kayan, Kebahant Belimbing, Kebahant Menunuk, Kebahant Katab, Kebahant Pinoh, Dan Suku Dayak Kebahant Penyelopat.
Suku dayak Kebahant Penyelopat masyarakat aslinya bermukim disepanjang sungai Man. Dulunya Suku dayak Kebahant Penyelopat berasal dari suku dayak kebahan yang bermukin di sepanjang sungai kebahan yang sekarang berada di daerah Desa Manding Kecamatan Pinoh Utara Kebupaten Melawi
Pada jaman dahulu sekitar tahun 1700 yang lalu di daerah Kab. Melawi. Tepatnya di kec. Pinoh utara, yang sekarang desa Engkurai atau di Laman Botongk, lumut, Laman Balok yang identik dengan sungai ma’an nya, yang sehingga sering juga di sebut sebagai orang tanah Ma’an (yang sekarang Desa Engkurai),jaba, Kompas, Penawant, dan Laman Buok Entengen yang dihuni oleh suku kebahan penyelopat yang merupakan sub suku dayak Kebahan yang ada di Kab. Melawi.
Dulunya pada masa penjajahan nama suku ini masih Suku Dayak Kebahan yang berdiam di daerah manding, natai panjang, utai, merah arai, dan sekitar nya yang di huni oleh Suku Dayak Barai maka di daerah tersebut sekarang masih ada namanya sungai Kebahan dan Laman Buok yang merupakan peninggalan Suku dayak kebahan Penyelopat.
Sedangkan di daerah yang di diami oleh Suku dayak Kebahan penyelopat pada saat ini, dahulunya merupakan tanah yang diami Suku Iban (Gupongk Same, Gupongk Koli, Gupongk Pacangk, Gupongk Laman Buok Ibangk, dan sekitar nya). Yang sekarang tanah tersebut banyak telah menjadi tanah adat yang juga bekas rumah jaman dulu. Kemudian di daerah yang sekarang Dusun pisang dua sampai ke tebidah merupakan tanah yang di huni oleh suku Undau dan dayak iban menghuni tanah yang didiami oleh Suku kebahan penyelopat seperti Gupongk Same, Pacangk, Koli. Namun sekarang keberadaan suku iban telah berpindah ke daerah porau, pengijau, kama, dan tersebar di daerah kecamatan Ella Hilir, Kab. Melawi.
Di antara suku Iban dan undau merupakan suku yang tidak pernah damai yang selalu Bebunuh dan ngayau (membunuh dengan memotong kepala) pada jaman itu. Dan selalu suku Iban yang di serang dan kalah. Dulu suku iban menghuni daerah natai (bukit) yang hampir menyerupai bukit. Karena melihat kondisi tersebut yang selalu terjadi pertumpahan darah antara kedua suku tersebut maka dari pihak pemerintah berunding mencari solusi untuk masalah itu. Untuk memecahkan masalah tersebut maka pemerintah meminta kepada Suku dayak kebahan untuk pindah di antara kedua suku yang berselisih tersebut tepat nya di sepanjang sungai Ma’an sebagai Penyelopat (di antara) kedua suku Iban dan Undau karena mengingat suku Undau segan kepada suku Kebahan. Kemudian sampai pada hari ini di daerah tanah Ma’an dan menyebut dirinya sebagai orang tanah ma’an merupakan daerah dan Orang atau suku Dayak Kebahan Penyelopat.
Maka pindahlah suku kebahan tersebut kedaerah tanah ma’an, sebagiannya juga pindah ke daerah suku Iban seperti laman balok, Kompas, dan penawant. Pindah suku kebahan tersebut sebagai penyelopat antara kedua suku yang bertikai, hidup lah antara kedua suku yang damai dan tentram. Baik antara suku kebahan dan Undau atau pun suku kebahan dan Iban sampai saat ini.
Seiring berjalan nya waktu, sebagian dari suku kebahan penyelopat yang dulu masih menghuni laman buok natai dan laman buok bakah, pindah kedaerah seberang sungai melawi tepatnya ada yang Tahlot, Pemuar, Buil, Poring, Kayu Bunga, lintah. Sedang kan suku Kebahan penyelopat yang masih asli tempat tinggalnya yaitu : Jaba, Engkurai, Lumut, Laman Ntengen dan Laman balok sekarang sudah menyatu ke Engkurai, serta kompas dan penawant.
Keberadaan suku dayak kebahant penyelopat sama dengan suku dayak lainnya yang ada di sekitar Kabupaten Melawi dan kabupaten Sintang. Baik tempat tinggal, tata cara kehidupan sehari-hari.
Sebagian besar Suku dayak Kebahant Penyelopat bermata pencarian petani karet dan petani padi gunung untuk memenuhi kebutuhan kehidupan sehari-hari.
2.      Adat Pernikahan Dayak Kebahant Penyelopat
Berdasarkan Surat Keputusan No. 001/SK-MUSDAT/SSDKP/2010 tentang Ketetapan Adat Hasil Musyawarah Adat II Sub Suku Dayak Kebahan Penyelopat.
Musyawarah Adat II Sub Suku Dayak Kebahan Penyelopat menimbang, mengingat dan memperhatikan bahwa :
1.      Menimbang Keberadaan Hukum Adat pada situasi dan kondisi saat ini sangat membantu Hukum positif yang berlaku.
2.      Menimbang Hukum adat sub suku dayak kebahant penyelopat perlu dikembangkan dan dilestarikan.
3.      Mengingat asal usul dan keberadaan Sub Suku Dayak Kebahan Penyelopat sebagai penengah kedua suku yang bertikai pada jaman pemerintah Belanda, yaitu suku Undau dan suku Iban.
4.      Mengingat adat yang telah ditetapkan oleh pendahulu sejak nenek moyang Sub Suku Dayak Kebahan Penyelopat yang tidak dapat dihilangkan.
5.      Memperhatikan kepetusan hasil musyawarah adat 1 tahun 1999.
6.      Memperhatikan keputusan adat hasil musyawarah adat II Sub Suku Dayak Kebahan Penyelopat.
Hukum adat pernikahan Sub Suku Dayak Kebahan Penyelopat yang diatur dalam Surat Keputusan No. 001/SK-MUSDAT/SSDKP/2010 tentang Ketetapan Adat Hasil Musyawarah Adat II Sub Suku Dayak Kebahan Penyelopat pasal 4 dan 5 yang mengatur tentang adat nikah kawin.
Adapun yang dibahas sebelumnya adat pernikahan Sub Suku Dayak Kebahan Penyelopat berikut penjelasannya secara jelas :
1.      Adat Batang Tubuh
a.       10 gram Mas
b.      3 lembar kain pesalin
c.       1 lembar kain tungkau uban
d.      Seperangkat alat tidur
e.       Padi pemaik 100 gantang
f.       20 kg daging babi
2.      Adat ngamik/narik
a.       Batu pengamik yaitu tawak/gong keliling tujuh 1 buah, gong keliling enam 1 buah, gong/tawak keliling lima 1 buah.
b.      Paten daun yaitu tempayan belanga/tajau 1 buah, tempayan monu 2 buah, talam pawa 4 buah.
3.      Adat Omai
a.       2 real pomas
b.      Tangga naik 7 gigi
c.       Bangku naik tempayan Monu
d.      Bilit naik 1 batang tombak sangkoh
e.       Babi sengkolan 1 ekor
f.       Tungkau naik 1 lembar kain
g.      Jujut naik 1 lembar kain
h.      Sabo beras naik 18 gantang
i.        Sabo duduk 3 gantang beras
j.        3 buah mangkok
k.      3 buah piring
4.      Adat penongah/penoit
a.       2 real pomas
b.      1 ekor babi
c.       1 helai baju penongah langkau uma
5.      Adat popat asam
a.       1 real pomas
b.      1 ekor babi
c.       1 mangkok, 1 piring, 1 sendok, 1 ekor ayam.
Diatas merupakan adat pernikahan yang sifat secara materi, adat tersebut dapat di uangkan atau barang yang disebutkan diatas dapat bayar dengan uang dengan ketentuan yang telah ditentukan oleh ketua adat atau masyarakat setempat.
Adat pernikahan ini secara turun-temurun dilaksanakan oleh masyarakat Sub Suku Dayak Kebahan Penyelopat dalam upacara adat pernikahan dan ngatur adat kedua belah mempelai yang melaksanakan pernikahan. Adat ini berlaku bagi siapa pun yang melangsungkan pernikahan adat maupun secara hukum formal yang batas wilayah dan garis keturunan Sub Suku Dayak Kebahan Penyelopat.
Apabila dari pihak lelaki tidak dapat membayar secara tunai adat pernikahan yang telah ditentukan diatas, pihak mempelai bisa menangguhkan ;pembayaran secara tunai dalam jangka waktu tertentu. Kemudian apabila telah sekian lama adat pernikahan tersebut belum dibayar, keluarga dari pihak mempelai perempuan beserta ketua adat berhak menaggih adat tersebut kepada pihak mempelai laki-laki. Adat pernikahan tersebut diusahakan dibayar sebelum anak lahir karena akan menyebabkan Tulah (berdosa).
Kemudian setelah pernikahan adat dalam waktu tertentu belum juga dibayar namun kedua mempelai tersebut menyepakati untuk bercerai. Maka akan diadakan adat cerai serta dilihat pihak laki-laki atau perempuan yang menggugat cerai tersebut. Apabila dari pihak laki-laki yang menggugat cerai, pihak laki-laki membayar 2 kali lipat adat pernikahan dan 80 real pomas (sekitar 8 juta) serta ditambah uang adat yang belum dibayar dan bentuk pembayaran tersebut harus kontan atau cash.
Jika perceraian digugat oleh pihak perempuan maka pihak perempuan wajib membayar 80 real pomas (sekitar 8 juta) dan ditambah adat bolai ongai.



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpilan
Hukum Adat merupakan hukum asli bangsa Indonesia yang telah ada sejak beratus-ratus tahun yang lalu dan tetap terpelihara sampai sekarang. Hal ini dikarenakan Hukum Adat telah berurat akar dalam kehidupan masyarakat dan menjadi pedoman dalam pergaulan hidup masyarakat.
Di Indonesia masalah perkawinan terutama menyangkut penyelenggaraan dari upacara perkawinan yang pada umumnya didasarkan pada Hukum Adat. Di samping itu perkawinan didasarkan pula pada hukum agama dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan terbentuknya Undang-undang Perkawinan UU No. 1 Th. 1974, setiap perkawinan yang dilangsungkan harus tunduk pada peraturan-peraturan yang diatur dalam Undang-undang Perkawinan dan Peraturan Pelaksanaannya.
Dengan berlakunya UU No. 1 Th. 1974 yang mengikat seluruh warga negara untuk melaksanakannya, maka sekarang ini perkawinan tidak saja harus sah menurut Hukum Adat tetapi juga harus sah menurut UU No. 1 Th. 1974, dimana di dalam Pasal 2 UU No. 1 Th. 1974 ditentukan bahwa “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Dari ketentuan ini dapat dilihat bahwa pada dasarnya UU No. 1 Th. 1974 tidak membatasi bagaimana suatu perkawinan harus dilaksanakan, tetapi hanya mengatakan bahwa perkawinan itu harus sah menurut agama dan kepercayaan yang dianut oleh pihak yang melaksanakan perkawinan. Dengan adanya ketentuan ini berarti pelaksanaan perkawinan menurut Hukum Adat tetap diperbolehkan sepanjang tidak bertentangan dengan UU No. 1 Th. 1974. Hal ini juga berlaku bagi perkawinan Adat suku Dayak Kebahant Penyelopat di Desa Engkurai Kecamatan Pinoh Utara Kabupaten Melawi, Kalimatan Barat.
Berdasarkan Surat Keputusan No. 001/SK-MUSDAT/SSDKP/2010 tentang Ketetapan Adat Hasil Musyawarah Adat II Sub Suku Dayak Kebahan Penyelopat.
Musyawarah Adat II Sub Suku Dayak Kebahan Penyelopat menimbang, mengingat dan memperhatikan bahwa :
7.      Menimbang Keberadaan Hukum Adat pada situasi dan kondisi saat ini sangat membantu Hukum positif yang berlaku.
8.      Menimbang Hukum adat sub suku dayak kebahant penyelopat perlu dikembangkan dan dilestarikan.
9.      Mengingat asal usul dan keberadaan Sub Suku Dayak Kebahan Penyelopat sebagai penengah kedua suku yang bertikai pada jaman pemerintah Belanda, yaitu suku Undau dan suku Iban.
10.  Mengingat adat yang telah ditetapkan oleh pendahulu sejak nenek moyang Sub Suku Dayak Kebahan Penyelopat yang tidak dapat dihilangkan.
11.  Memperhatikan kepetusan hasil musyawarah adat 1 tahun 1999.
12.  Memperhatikan keputusan adat hasil musyawarah adat II Sub Suku Dayak Kebahan Penyelopat.
Hukum adat pernikahan Sub Suku Dayak Kebahan Penyelopat yang diatur dalam Surat Keputusan No. 001/SK-MUSDAT/SSDKP/2010 tentang Ketetapan Adat Hasil Musyawarah Adat II Sub Suku Dayak Kebahan Penyelopat pasal 4 dan 5 yang mengatur tentang adat nikah kawin.
B.     Saran
Dalam kesempatan ini, penulis sangat mengharapkan saran, kritik atas kekurangan maupun kesalahan baik dari segi bahasa maupun pembahasannya. Maka dari itu penulis mengharapkan sekali kritik dan saran dari teman-teman maupun dan para pembaca agar dalam penukisan makalah selanjutnya dapat lebih baik.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Armayatinida, SH. MH selaku dosen pengampu Mata Kuliah Hukum Adat serta teman-teman dan semua pihak yang telah membantu penulisan makalah ini atas saran dan kritiknya.

DAFTAR ISI
Bahrun. (2010). Adat Sub Suku Dayak Kebahant Penyelopat. Dewan Adat Dayak (DAD) Desa Engkurai, Dewan Sub Suku Dayak Kebahant Penyelopat serta masyarakat adat di Desa Engkurai tahun 2010
Djamali Abdoel R, SH, Pengantar hukum Indonesia, Raja Grafindo Persada PT, Jakarta 1993.
Hilman H, 1992, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju,Bandung.
Mahadi, 1991, Uraian Singkat Tentang Hukum Adat, Alumni, Bandung.
Soekamto Soerjono, Prof, SH, MA, Purbocaroko Purnadi, Perihal Kaedah Hukum, Citra Aditya Bakti PT, Bandung 1993
Ter Haar. Hukum Adat Hindia Belanda didalam Ilmu, praktek dan pengajaran Hukum Adat itu dengan mengabaikan bagian-bagiannya yang tertulis dan keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keputusan-keputusan fungsionaris hukum yang mempunyai wibawa serta pengaruh dan dalam pelaksanaannya berlaku serta merta dan dipatuhi sepenuh hati. Dalam orasi. 1937.
Teer Haar, B., Bzn., Prof., Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat (terjemahan K. Ng. Soebakti Poesponoto), Pradnya Paramita, Jakarta, 1981.

1 komentar:

  1. artikel yang sangat membantu dalam saya membuat suatu karya tulis/skripsi,mohon adat peceraian nya tentang dayak kebahan lagi yang dibahas .thank

    BalasHapus